Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Diana Suhardiman: Perempuan Indonesia di Pucuk Lembaga Penelitian Belanda

Diana Suhardiman menjadi orang Indonesia pertama sebagai Direktur KITLV. Ia juga guru besar di Universitas Leiden.

17 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Diana Suhardiman di ruang kerjanya di KITLV, Leiden, Belanda, 12 Januari 2024. Linawati Sidarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM lintasan perjalanan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Diana Suhardiman menorehkan sejarah baru. Diana tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi direktur lembaga penelitian terkemuka Belanda yang berpusat di Leiden tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITLV yang berdiri pada 1851 itu berfokus meneliti kondisi masa kini dan lampau wilayah-wilayah bekas koloni Belanda dan daerah sekitarnya. Selain mengadakan proyek penelitian, KITLV mengayomi banyak arsip mengenai Indonesia yang menjadi bagian penting dari Asian Library di Leiden, pemilik koleksi arsip terbesar di dunia tentang Nusantara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya pikir sangat baik jika orang Indonesia menjadi Direktur KITLV,” kata Susan Legêne, guru besar sejarah politik dan mantan Dekan Fakultas Sosial Budaya Vrije Universiteit di Amsterdam, kepada Tempo. “Fokus tradisi penelitian KITLV adalah Indonesia dan banyak stafnya berlatar belakang internasional.”

Diana Suhardiman mulai menjadi Direktur KITLV pada 2022. Satu hal lain yang berbeda dari Diana dibanding para pendahulunya: perempuan yang lahir di Jakarta ini adalah lulusan S-3 dalam bidang pengelolaan air dengan perspektif sosial-budaya dari Wageningen University and Research, Belanda, institut pertanian yang tersohor di mancanegara. Sedangkan hampir semua Direktur KITLV sebelumnya berlatar pendidikan humaniora.

“Saya bercita-cita belajar tentang kehidupan petani sejak umur 11 tahun,” ucap Diana, yang ditemui Tempo di ruang kerjanya di kantor KITLV di kompleks Universiteit Leiden, pertengahan Januari 2024. “Betapa sedikitnya kita tahu tentang petani dan apa yang mereka kerjakan. Sedangkan berkat mereka, kita semua bisa makan.” 

Ini sebuah pilihan yang boleh dibilang tak lazim, mengingat Diana berasal dari keluarga pengusaha tanpa kaitan dengan pertanian. “Sejak kecil saya sangat tertarik melihat pemandangan alam yang menyatukan manusia dan alamnya. Dalam konteks pertanian, pemandangan ini juga menunjukkan aspek kemanusiaan, solidaritas, dan semangat kebersamaan yang sangat penting, tapi terkadang tidak mendapatkan perhatian,” tutur Diana, yang melewati masa kecilnya di Jakarta dan Cirebon, Jawa Barat.

Keinginan Diana belajar tentang pertanian membawanya ke kota kecil Wageningen di Belanda. Sebetulnya, Diana yang saat itu berusia 18 tahun juga diterima di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tapi dia akhirnya memilih Wageningen bukan semata karena alasan akademis. “Bila kita jauh dari rumah, kita belajar berdiri sendiri, dan itu mendorong kita untuk berpikir lebih terbuka.” 

Tahun pertama di Wageningen sempat membuat Diana kesulitan karena kuliah sepenuhnya disampaikan dalam bahasa Belanda. Beruntung, banyak teman kuliahnya yang asal Belanda membantunya. “Termasuk satu teman sekelas yang kemudian menjadi suami saya,” ujar Diana, yang hangat dan murah senyum.

Meski sudah sekitar 30 tahun tinggal di luar negeri, Diana tetap menjaga ikatan dengan Tanah Air sekaligus memperluas keahliannya di kawasan lain. Penelitiannya untuk meraih gelar sarjana hingga S-3 dari Wageningen berfokus pada reformasi birokrasi dalam konteks pengelolaan irigasi di Indonesia, khususnya di Jawa. 

Diana Suhardiman (belakang tengah) bersama tokoh-tokoh masyarakat Karen dan tim peneliti Karen Environmental and Social Action Network di Muangthai Utara, Februari 2024. Diana Suhardiman/KITLV

Diana juga pernah tinggal beberapa tahun di Kairo, Mesir, ketika suaminya ditugasi oleh Kementerian Luar Negeri Belanda. Di sana, ia sempat bekerja paruh waktu sebagai peneliti gender dalam kebijakan pengelolaan irigasi di Mesir. 

Setelah mengantongi gelar S-3, Diana ingin mencari pengalaman di luar Indonesia. Pada 2008, ia memboyong suami dan putri tunggalnya dari Washington, Amerika Serikat, tempat sang suami bekerja sebagai peneliti World Wildlife Fund, ke Vientiane, ibu kota Laos, untuk memulai kariernya di International Water Management Institute (IWMI). 

“Pekerjaan saya berfokus pada tata kelola air regional atau lintas negara di Sungai Mekong, yang mencakup Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, Cina, dan Myanmar,” katanya.

Diana Suhardiman. KITLV

Sebagai ilmuwan, Diana selalu menekankan pentingnya human factor dan perspektif yang majemuk. Banyak orang melihat pembangunan bendungan, misalnya, sebagai proyek teknis belaka. “Kenyataannya, berbagai faktor ekonomi, politik, dan sosial sama pentingnya untuk dipertimbangkan. Apa dampak pembangunan tersebut pada penduduk setempat? Para petani, nelayan?” ujarnya.

Di IWMI, Diana selalu menyempatkan diri melakukan penelitian lapangan, termasuk ke pelosok yang sulit dicapai. Kadang ia harus mendaki gunung selama berjam-jam untuk mencapai desa tertentu. Untungnya, salah satu hobi Diana adalah hiking. “Penting sekali mendatangi tempat-tempat itu dan menemui penduduk setempat jika kita mau menyampaikan suara akar rumput,” tuturnya. 

Kerja keras di lapangan dia imbangi dengan goresan penanya. Nama Diana tercantum dalam puluhan publikasi internasional, baik dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, maupun laporan organisasi internasional seperti Bank Dunia dan FAO, organisasi pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Saya memang senang menulis,” katanya, merendah. 

Dengan tulisannya, Diana berharap bisa berbagi tentang perspektif yang terus berkembang dalam bidangnya. “Sekaligus menyalurkan suara dan aspirasi akar rumput yang majemuk.”

•••

SETELAH lebih dari satu dasawarsa meneliti negara-negara tetangga di IWMI, Diana Suhardiman berniat kembali mengalihkan fokus kerjanya ke Indonesia. Di pengujung 2020, dia melihat lowongan Direktur KITLV. “Tentu saya tahu keberadaan KITLV, tapi saya tidak ada hubungan profesional dengan mereka ketika melamar untuk posisi tersebut,” tuturnya.

Menurut Gert Oostindie, yang menyerahkan jabatannya kepada Diana pada Januari 2022, seleksi Direktur KITLV sepenuhnya ditangani Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (KNAW), Lembaga Ilmu Pengetahuan Belanda yang mengayomi institusi-institusi ilmu pengetahuan di Belanda, termasuk KITLV. Kepada Tempo, Oostindie menekankan bahwa kehadiran staf peneliti dengan latar belakang beragam amat penting. 

“Sebagai Direktur KITLV, saya telah berupaya mewujudkan hal ini,” kata Oostindie, profesor emeritus sejarah kolonial Universiteit Leiden. “Bagaimanapun juga, kualitas akademis dan manajerial adalah faktor terpenting dalam menentukan seleksi direktur baru.”

KITLV sudah lama dikenal sebagai lembaga terkemuka dalam bidang penelitian sejarah, sosial, dan budaya. Namun, dalam uraian untuk lowongan posisi Direktur KITLV, digarisbawahi bahwa lembaga tersebut “pada saat ini sedang mengembangkan penelitian baru mengenai pengelolaan perubahan iklim”.

Gert Oostindie yakin Diana bisa memandu KITLV ke arah baru itu. “Bagi saya, masalah seputar perubahan iklim juga amat penting, tapi saya bukan ahli dalam bidang itu,” ucap Oostindie.

Diana sendiri berpendapat hal penting yang harus diingat dalam penelitian tentang perubahan iklim adalah beragamnya perspektif dan realitas dalam isu tersebut. Misalnya Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) memiliki visi yang jelas tentang curah hujan dan kenaikan suhu. 

Profil Diana Suhardiman dalam struktur manajemen KITLV. Tempo/Gunawan Wicaksono)

“Namun banyak komunitas petani dan nelayan sudah lama menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim on the ground. Kita harus mengakui pengetahuan mereka dan belajar dari mereka,” tutur Diana, yang juga lancar berbahasa Jawa, Inggris, dan Belanda serta punya pengetahuan dasar dalam bahasa Lao dan Arab. 

Menurut Diana, seorang aktivis lingkungan mungkin punya pandangan yang berbeda dengan nelayan yang harus menghidupi keluarganya. “Kita harus selalu mencoba menjembatani kesenjangan perspektif ini,” ujarnya.

Adapun dekolonisasi, Diana menjelaskan, bukan hanya istilah sejarah, tapi juga sebuah proses yang akan selalu relevan pada masa sekarang dan masa depan, sampai kesetaraan menjadi sebuah kenyataan. Dalam satu presentasi di Institute for Water Education di Delft, Belanda, pada Desember 2023, Diana berbicara tentang makna decolonization science atau ilmu dekolonisasi. 

“Perlu dipertanyakan apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan, siapa yang menentukan definisi tersebut, dan mengapa definisi itu penting dari aspek inclusion (penyertaan) dan exclusion (pengecualian),” katanya. Ilmu pengetahuan yang beragam bentuknya, Diana menekankan, “Adalah sarana untuk mempertanyakan status quo serta memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial.” 

Posisi Diana di KITLV memberinya peluang untuk kembali aktif dalam dunia penelitian tentang Indonesia. Pertengahan 2023, saat mengunjungi beberapa kota di Jawa, di antaranya Yogyakarta dan Malang, ia berdiskusi dengan peneliti muda dan mahasiswa. Dia optimistis generasi muda ingin tahu lebih banyak tentang sejarah negara mereka. 

“Bukan hanya sejarah dalam arti konvensional, tapi juga tema seperti oral history. Narasi besar sejarah penting, tapi juga yang dialami oleh orang awam dalam masa-masa tersebut. Pandangan dan pengalaman dari orang awamlah yang akan membuat sejarah selalu hidup di tengah-tengah masyarakat serta menjadikan kita lebih manusiawi dan rendah hati,” ucapnya.

Diana juga berharap KITLV bisa memperluas wilayah penelitiannya di Indonesia, yang sampai sekarang banyak terfokus di bagian barat Indonesia, terutama Jawa. Salah satu langkah menuju ke sana adalah kehadiran peneliti KITLV, Fridus Steijlen, yang juga profesor emeritus migrasi dan budaya Maluku di Vrije Universiteit Amsterdam, sebagai dosen tamu di Universitas Pattimura, Ambon.

Salah satu tantangan yang mungkin cukup berat bagi Diana sebagai pemimpin KITLV adalah penelitian di kawasan Karibia dan Suriname, yang juga bekas jajahan Belanda. “Memang saya belum pernah ke Suriname dan Curaçao, dan itu salah satu prioritas saya,” ujarnya. 

Diana merasa sangat terbantu oleh rekan-rekannya di KITLV. “Mulai bekerja di tempat yang baru selalu membutuhkan penyesuaian. Dan mereka, termasuk yang sudah pensiun, selalu siap mendukung saya dengan saran dan informasi.”

Di samping tanggung jawabnya memimpin sekitar 40 peneliti dan staf KITLV, Diana menyandang gelar professor of natural resource governance, climate, and equity (profesor pengelolaan sumber daya alam, iklim, dan kesetaraan) di Universiteit Leiden. “Tugas utama saya dalam posisi itu adalah membimbing kandidat S-3,” kata Diana, yang mengisi waktu senggangnya yang terbatas dengan membaca, mengunjungi museum dan bioskop arthouse, serta berkebun atau membuat origami di rumah ini.

Meski tugasnya sebagai guru besar di Universiteit Leiden dan pemimpin KITLV—dua lembaga ilmu pengetahuan terpandang di dalam dan luar Belanda—menyita banyak waktunya, Diana tidak pernah berhenti melakukan riset lapangan. Awal 2024, Diana berada di pedalaman Thailand selama sebulan untuk meneliti kearifan lokal dan aspek budaya dari kebakaran hutan serta bagaimana hal ini membantu pemahaman akan perubahan iklim.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perempuan Indonesia di Pucuk Lembaga Penelitian Belanda"

Linawati Sidarto

Linawati Sidarto

Kontributor Tempo di Eropa

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus