Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dicari penulis

Dewan film nasional (dfn) mencari naskah cerita berbobot. dfn menyediakan dana rp 1,8 milyar, hasil pengumpulan dana sertifikat produksi dari importir film. (fl)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak pengarang Indonesia memenuhi permintaan Dewan Film Nasional (DFN) yang mencari naskah cerita berbobot. Sejak Agustus lalu hanya 10 naskah yang masuk ke DFN. Tim penilai sudah memilih Titian Serambut Dibelah Tujuh (karya Asrul Sani), Perantaian di Sawahlunto (Mochtar Soemodimedjo) dan Lima Sahabat (C.M. Nas). Tiga naskah cerita itu saja yang dianggap berbobot. Ketiganya kelak berhak mendapatkan fasilitas dana DFN, jika hendak difilmkan. DFN menyediakan Rp 1,8 milyar -- hasil pengumpulan dana sertifikat produksi dari importir film. Dengan dana besar tersebut, DFN berusaha merangsang kelahiran film bermutu "dengan tema yang tidak digarap produser swasta (bebas)," kata Soemardjono, Wakil Sekjen DFN. Watak Kurang Produksi film dengan bantuan dan DFN tadi diharapkan akan mampu membentuk selera publik film Indonesia yang baik. Dan diharapkan kesan masyarakat terhadap film Indonesia akan berubah pula karenanya. Celakanya, menurut seorang anggota tim penilai, masih sedikit pengarang yang mampu menghasilkan naskah cerita yang baik. Dari ketiga naskah cerita terpilih itu sekalipun, katanya, perkembangan logika para pelakunya tidak terpelihara. "Kecermatan melukiskan watak pelaku sangat kurang." Pada lima naskah yang ditolak, menurut dia, alur dan logika ceritanya sering tidak masuk akal. Sebuah di antaranya, Biarkan Pintu-pintu Terbuka, karya Tatiek Maliatie, kemudian bisa diterima sesudah diperbaiki atas saran tim penilai. Anggota tim penilai itu juga menyebut bahwa penulis cerita sering dijumpai merangkap sebagai penulis skenario sekaligus sutradara. Tapi jarang sekali, menurut dia, seorang pengarang bisa berhasil dengan ingin unggul di berbagai bidang. Dan dari naskah cerita yang masuk tadi, sebagian besar mengambil setting cerita di kota. Kalau pun dimulai dari pedesaan, selalu berakhir di kota. Pelukisan manusia Indonesianya pun dinilainya tidak menuruti gambaran yang wajar. Sejumlah penulis cerita yang mungkin mampu menghasilkan cerita berbobot ternyata tidak memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan DFN itu. Ismail Subardjo, misalnya. Tokoh ini selain penulis cerita, juga dikenal sebagai penulis skenario sekaligus sutradara atas ceritanya -- mengatakan ia tidak terlalu optimistis dengan program DFN. Antara lain dana yang tersedia dari DFN dianggapnya kurang besar untuk menghasilkan film bermutu. Slamet Rahardjo, yang sedang menyutradarai Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (filmnya yang kedua) mengungkapkan bahwa ia belum mengenal baik program DFN. "Jika DFN punya magnit, saya pasti datang, tak perlu pakai diundang segala," ujarnya. Produser bebas pun dianggapnya mampu menghasilkan film bermutu. Juga produser Ronald Lolang dari PT Gemini Satria Fim belum ingin memanfaatkan fasilitas DFN. Ia menyatakan perusahaannya masih akan membuat film tanpa suatu ikatan finansial atau gagasan dari suatu lembaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus