TAK banyak pengarang Indonesia memenuhi permintaan Dewan Film
Nasional (DFN) yang mencari naskah cerita berbobot. Sejak
Agustus lalu hanya 10 naskah yang masuk ke DFN. Tim penilai
sudah memilih Titian Serambut Dibelah Tujuh (karya Asrul Sani),
Perantaian di Sawahlunto (Mochtar Soemodimedjo) dan Lima
Sahabat (C.M. Nas).
Tiga naskah cerita itu saja yang dianggap berbobot. Ketiganya
kelak berhak mendapatkan fasilitas dana DFN, jika hendak
difilmkan.
DFN menyediakan Rp 1,8 milyar -- hasil pengumpulan dana
sertifikat produksi dari importir film. Dengan dana besar
tersebut, DFN berusaha merangsang kelahiran film bermutu "dengan
tema yang tidak digarap produser swasta (bebas)," kata
Soemardjono, Wakil Sekjen DFN.
Watak Kurang
Produksi film dengan bantuan dan DFN tadi diharapkan akan mampu
membentuk selera publik film Indonesia yang baik. Dan diharapkan
kesan masyarakat terhadap film Indonesia akan berubah pula
karenanya.
Celakanya, menurut seorang anggota tim penilai, masih sedikit
pengarang yang mampu menghasilkan naskah cerita yang baik. Dari
ketiga naskah cerita terpilih itu sekalipun, katanya,
perkembangan logika para pelakunya tidak terpelihara.
"Kecermatan melukiskan watak pelaku sangat kurang."
Pada lima naskah yang ditolak, menurut dia, alur dan logika
ceritanya sering tidak masuk akal. Sebuah di antaranya, Biarkan
Pintu-pintu Terbuka, karya Tatiek Maliatie, kemudian bisa
diterima sesudah diperbaiki atas saran tim penilai.
Anggota tim penilai itu juga menyebut bahwa penulis cerita
sering dijumpai merangkap sebagai penulis skenario sekaligus
sutradara. Tapi jarang sekali, menurut dia, seorang pengarang
bisa berhasil dengan ingin unggul di berbagai bidang. Dan dari
naskah cerita yang masuk tadi, sebagian besar mengambil setting
cerita di kota. Kalau pun dimulai dari pedesaan, selalu berakhir
di kota. Pelukisan manusia Indonesianya pun dinilainya tidak
menuruti gambaran yang wajar.
Sejumlah penulis cerita yang mungkin mampu menghasilkan cerita
berbobot ternyata tidak memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan
DFN itu. Ismail Subardjo, misalnya. Tokoh ini selain penulis
cerita, juga dikenal sebagai penulis skenario sekaligus
sutradara atas ceritanya -- mengatakan ia tidak terlalu
optimistis dengan program DFN. Antara lain dana yang tersedia
dari DFN dianggapnya kurang besar untuk menghasilkan film
bermutu.
Slamet Rahardjo, yang sedang menyutradarai Seputih Hatinya
Semerah Bibirnya (filmnya yang kedua) mengungkapkan bahwa ia
belum mengenal baik program DFN. "Jika DFN punya magnit, saya
pasti datang, tak perlu pakai diundang segala," ujarnya.
Produser bebas pun dianggapnya mampu menghasilkan film bermutu.
Juga produser Ronald Lolang dari PT Gemini Satria Fim belum
ingin memanfaatkan fasilitas DFN. Ia menyatakan perusahaannya
masih akan membuat film tanpa suatu ikatan finansial atau
gagasan dari suatu lembaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini