Nama Buku: ISLAM, PANCASILA DAN ASAS TUNGGAL Pengarang: Deliar Noer Penerbit: Yayasan Perkhidmatan, 1983, 149 halaman SOAL asas tunggal Pancasila, agaknya, merupakan perdebatan paling hangat yang pernah terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Perdebatan itu, belakangan, tak ubahnya sebuah "diskusi nasional". Hampir semua tokoh pemerintah, politik, masyarakat, bahkan pengamat ikut membicarakan asas tunggal. Toh dalam silang pendapat itu ada yang positif. Hampir semua pihak menegaskan sikap mereka: menerima Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Seperti yang dikatakan tokoh-tokoh pemerintah, gagasan asas tunggal sebenarnya mempunyai tujuan mulia. Dengan satu asas, pemerintah mengharapkan soal dasar negara Pancasila bisa diselesaikan tuntas, sekarang juga. Jika hal itu tercapai, berarti generasi penerus nanti tidak perlu lagi membuang tenaga dan pikiran untuk memperdebatkan dasar negara yang pada hakikatnya sudah sama-sama disepakati sejak awal kemerdekaan dulu. Tujuan yang lebih penting, dengan asas tunggal, kesatuan dan persatuan nasional tidak lagi terganggu karena masalah ideologi. Sebab itu, semua organisasi politik ditetapkan menggunakan landasan yang sama: Pancasila untuk mencapai cita-cita politiknya. Semua asas lain, seperti yang sampai saat ini masih melekat pada PPP dan PDI, sudah harus ditanggalkan. Dengan demikian, perbedaan antara berbagai organisasi politik, tidak terkecuali Golkar, hanyalah pada program masing-masing. Soal itu, sebenarnya, telah tuntas pada Sidang Umum MPR yang lalu. Ketetapan MPR tentang itu merupakan hukum yang sah dan harus dilaksanakan. Hanya saja, pengasastunggalan organisasi kemasyarakatan (ormas), yang belum ditetapkan dalam Sidang Umum MPR, memunculkan silang pendapat baru. Tahun lalu debat soal pengasastunggalan ormas itu merembet pula pada pengasastunggalan organisasi politik (orpol). Dalam suasana seperti itu, munculnya buku Deliar Noer ini sangat relevan. Apalagi pemerintah, dalam hal ini menteri dalam negeri, membuka pintu untuk berbagai pemikiran, menjelang diajukannya RUU Organisasi Kemasyarakatan, pertengahan tahun ini. Dalam RUU baru itu, konon, semua asas yang masih melekat pada ormas termasuk organisasi agama harus digeser dan diganti dengan asas Pancasila. Penggeseran semacam itu diperdebatkan pula oleh berbagai pihak, termasuk Deliar Noer, penulis buku ini. Menurut dia, setiap golongan, bahkan setiap individu, mempunyai pandangan hidup yang berbeda, walaupun kepentingan mereka sama. Ini memungkinkan adanya identitas bersama di samping dentitas pribadi. Ada persamaan, ada keragaman. Dalam persamaan terdapat keragaman, begitu pula sebaliknya. Dalam hidup bermasyarakat diperlukan keseimbangan antara keduanya. "Dengan kata lain, identitas perseorangan, kelompok ataupun golongan senantiasa dijumpai dalam hidup masyarakat sebaliknya identitas tersebut tidak perlu menumpas identitas orang, kelompok atau golongan lain." (hlm. 39). Bagi Deliar, pengasastunggalan organisasi sosial dan politik berarti menghapuskan identitas organisasi politik dan kemasyarakatan yang ada. Sebab, menurut bekas guru besar IKlP Jakarta itu, program, bagaimanapun, bersumber dari asas atau ideologi organisasi itu. Dan jika program PPP dibuat sesuai dengan tuntutan ajaran Islam, maka kaitannya dengan asas tunggal bisa menjadi tidak jelas. Akibatnya, menurut Penulis, tafsiran tentang asas tunggal menjadi kabur. Jika pun asas tunggal, yang dalam pelaksanaannya bisa berarti pemisahan antara agama dan politik, diterima oleh pihak Islam, maka penerimaan itu, menurut Deliar, menjadi beban bagi hati nurani mereka. Sebab, ditegaskan oleh Penulis, dalam Islam tidak ada pemisahan agama dengan politik. Konsekuensinya, menurut bekas rektor IKIP itu, penerimaan Pancasila hanyalah akan menumbuhkan kemunafikan. Sebab itu, Deliar tidak setuju asas tunggal Kesimpulan Deliar, asas tunggal partai politik menafikan kebhinekaan masyarakat yang berkembang sesuai dengan keyakinannya. Gagasan itu, menurut Deliar, juga menghalangi orang-orang sekeyakinan untuk berkelompok sesamanya. Lebih jauh lagi, katanya, "Gagasan itu mengandung kecenderungan ke arah sistem partai tunggal." Kendati demikian, Deliar bukan tidak setuju Pancasila. Ia pun sependapat bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama, khususnya Islam. Hanya saja, ia berpendapat perlu ada kebebasan bagi setiap orang dan golongan untuk menafsirkan sendiri asas Pancasila. Sejalan dengan itu, Deliar menolak pemikiran yang meletakkan agama sebagai subordinasi dari falsafah negara. Ia berpendapat, agama tidak bisa dikesampingkan dalam menegakkan Pancasila. Menurut Penulis, seseorang otomatis telah mengamalkan Pancasila bila ia benar-benar menjalankan ajaran agamanya. Hanya, mungkin saja, ia tidak paham Pancasila karena tidak memakai referensi itu. Tapi, "Apakah klta akan mengutamakan nama dan isi, ataukah perbuatan dan sikap?" tanyanya. Cara terbaik menegakkan Pancasila seperti yang disarankan Deliar adalah dengan membangkitkan kesadaran dan menciptakan lingkungan untuk tumbuhnya kesadaran itu. Jika falsafah bangsa diterapkan dengan paksaan, menurut pemikir politik ini, dalam jangka pendek memang akan berhasil. Tapi dalam jangka panjang cara itu akan berbahaya, karena bisa membuat orang berbalik dan mungkin saja menghancurkannya. Sebagai sumbangan pikiran, buku ini tentulah berharga. Sayang, Deliar tidak membahas segi-segi positif dari gagasan asas tunggal, dan tidak pula ingin menunjukkan trauma serta pengalaman pahit bentrokan kelompok ideologis yang pernah terjadi di negeri ini. Mahaguru yang kini bermukim di Brisbane, Australia, itu tidak pula memberikan alasan mengapa cap Islam harus dipertahankan. Padahal, dalam mengamalkan Pancasila ia menekankan pentingnya sikap dan perbuatan, daripada nama dan isi. Bukankah ia mengecam Kartosuwirjo, yang menurut penilaiannya hanya memperjuangkan cap, bukan konsep. Yang patut dicatat adalah sikap Penulis yang kritis terhadap kebijaksanaan politik pemerintah Orde Baru, khususnya dalam hal penyederhanaan kehidupan partai politik. Pemikirannya yang dituangkan dalam buku ini berkesinambungan dengan buku sebelumnya Ideologi, Politik dan Pembangunan. Hanya saja, karena buku baru ini merupakan himpunan artikelnya yang pernah di muat di Kompas dan Panji Masyarakat, bobotnya terasa tidak mengimbangi judul Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Sebelas buah subjudul yang terdapat dalam buku ini pun ternyata tidaklah sekuat kesatuan yang dicerminkan judul. Bahkan beberapa tulisan, seperti Nasionalisme, Resesi Politik dan Tantangan terhadap Pendidikan Islam, melenceng dari fokus. Akhirnya, dimintakan perhatian pihak penerbit untuk penjilidan yang terlalu sembrono sehingga halaman buku mudah terlepas. Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini