Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ngeng, bagi Gregorius Gending Djaduk Ferianto, adalah istilah yang tak terdefinisikan. Hanya kritikus dan pengamat musik yang mencoba mendefinisikan konsep ngeng yang ia lontarkan. Demi ngeng itulah Djaduk berkarya. Ngeng adalah suatu prasyarat sekaligus tujuan Djaduk bermusik. Suatu titik kulminasi yang terasa saat bermain-main dengan nada. Tanggapan hati atas apa yang ditangkap indra. "Ngeng itu muatannya pada rasa," kata Djaduk kepada Tempo, beberapa hari lalu.
Ngeng pula yang hendak dicapai dalam konser Djaduk dan Kua Etnika bertajuk "Gending Djaduk: 50 Tahun Djaduk Ferianto" yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 13 Agustus lalu. Repertoarnya berisi tembang-tembang anyar yang menunjukkan gaya terbaru Djaduk di Kua Etnika. Ada sembilan lagu yang dimainkan, yakni Picnik ke Cibulan, Jawa Dwipa, Bethari, Pesisir, Angop, Swarnadwipa, Barong, Molukken (Kole-kole), dan Ritma Khatulistiwa.
Dalam konser itu, bisa kita lihat bagaimana Djaduk membaurkan instrumen tradisional dengan alat yang bersifat kekinian. Rupa-rupa instrumen ditata di atas panggung, dari suling Bali, gamelan, bonang, renong, kendang Sunda, beduk, ceng-ceng, gong Cina, pamade, sampai klentongan sapi, dan dibaurkan dengan instrumen elektrik, seperti gitar, bas lima senar, dan keyboard, serta drum.
Djaduk cs konsisten mengeksplorasi bebunyian instrumen akustik Nusantara, menyampaikannya dengan bahasa kekinian menggunakan dialek yang berbeda-beda. Di pentas konser, Djaduk konsisten mempertahankan semangat komunal di antara para pemain. Tak satu pun terlihat lebih menonjol daripada yang lain. Djaduk bersama Purwanto (bonang, reog), Sukoco (kendang), Benny Fuad (drum), Dhanny Eriawan (bas), dan Indra Gunawan (keyboard) tampak seperti kawanan sedang riang bermain di atas panggung.
Dialek musik Djaduk di Kua Etnika bisa ditelaah dengan mengamati perkembangan album-albumnya. Perbedaan dialek dan warna dari satu album dengan yang lain menunjukkan Djaduk sebagai seorang seniman yang gelisah. Ia terus mencari cara baru membahasakan kegelisahannya itu. Musik dalam pergelaran "Gending Djaduk" amat berbeda jika dibandingkan dengan musik album pertama Djaduk dan Kua Etnika, Nang Ning Nong Orkes Sumpeg (1997).
Pada album itu, Djaduk cs memberi porsi amat banyak pada bebunyian perkusi tradisional Nusantara. Bahkan satu-satunya instrumen elektrik yang digunakan adalah keyboard. Semua lagu dibangun di atas fondasi nada yang dihasilkan perkusi akustik. Jarang ditemukan repetisi tema pada lagu-lagu Djaduk di album pertama. Lagu-lagu pada Nang Ning Nong umumnya berdurasi di atas lima menit.
Pendekatan lebih ekstrem dilakukan Djaduk dan Kua Etnika pada album ketiga, Many Skins One Rhythm (2003). Pada album ini, mereka bekerja sama dengan musikus asal Malaysia, M. Kamrulbahri Hussin, dan pemain perkusi dari India, Kirubakaran. Djaduk cs hanya mengandalkan alat tabuh pada album ini. Delapan lagu dalam Many Skins adalah rentetan dentang-dentum dan ketipak-ketipung bunyi perkusi tradisional. Djaduk, Hussin, dan Kirubakaran meracik tabuh-tabuhan itu menjadi musik yang megah, ibarat musik pengantar pasukan kuda Gengis Khan bertempur di medan perang.
Dalam "Gending Djaduk", Djaduk terlihat lebih konservatif. Mudah menemukan pengaruh fusion jazz pada lagu-lagu terbarunya. Barangkali kesibukan Djaduk mengorganisasi beberapa perhelatan jazz, seperti Ngayogjazz dan Jazz Bromo, berpengaruh dalam proses pembuatan karyanya kini.
Alat-alat elektrik, seperti bas, gitar, dan keyboard, diberi peran lebih besar daripada di album sebelum-sebelumnya. Lagu seperti Picnik ke Cibulan dan Jawa Dwipa menunjukkan musik yang bertumpu pada tema yang telah ditentukan. Dan tema itu mengalami pengulangan beberapa kali. Kendati ada repetisi, Djaduk tetap menghadirkan peralihan-peralihan yang mengejutkan pendengar, seperti yang terdengar dalam Pesisir dan Barong.
Tapi Djaduk dan Kua Etnika memang bukan semata-mata soal musiknya saja. Sebagaimana dikatakan Djaduk, apa yang mereka tampilkan adalah sebuah pertunjukan yang mencakup segala sesuatu yang terjadi dari mulai hingga habisnya acara. Melalui pertunjukan itulah ia berkomunikasi menyampaikan pesan kepada penonton.
Pada akhirnya, para pemainlah yang membuat sebuah komposisi menjadi hidup. Dan itu bisa dilakukan dengan cara apa saja. Bisa melalui musik, bisa juga melalui banyolan spontan yang disampaikan di sela-sela lagu. Dengan cara seperti itulah Djaduk membangun suasana yang cair antara penonton dan pemain.
"Djaduk bukan sekadar musikus. Salah kalau menilai dia hanya dari musiknya. Djaduk itu komunikator. Menilai Djaduk tak bisa sepotong-potong. Harus dilihat dari awal kariernya sampai kini," ujar pengamat musik Suka Hardjana kepada Tempo. Suka menambahkan bahwa kita tak bisa menilai Djaduk hanya dengan mengamati satu-dua albumnya. Musik Djaduk sudah tak lagi membedakan Barat-Timur. "Di dalam Djaduk, semua sudah melebur," kata Suka.
Dan pada pertunjukan malam itu, menjelang akhir pentas, kakak Djaduk, Butet Kartaredjasa, ikut naik ke atas panggung dan mulai berceloteh seenaknya. Di panggung "Gending Djaduk", Butet memberi selamat kepada adiknya yang ia sebut sebagai calon penyandang diabetes dan sebentar lagi tak bisa mak teng, sembari menyentilkan jari ke udara. Hal itu membuat tawa berderai di barisan penonton. "Pada intinya, yang kami lakukan adalah sebuah upaya berkomunikasi," ucap Djaduk.
Disiplin seni pertunjukan yang ditampilkan dalam setiap konser Djaduk tak lepas dari tradisi nyeni yang ia pelajari sejak lahir. Djaduk, yang lahir pada 19 Juli 1964, tumbuh dalam atmosfer kesenian. Ayahnya, Bagong Kussudiardja, adalah penari dan pelukis pendiri Padepokan Seni Bagong K. Di sanalah Djaduk kecil menjadi akrab dengan kesenian. Pada usia enam tahun, ia aktif menari di Pusat Latihan Tari Bagong K. Djaduk juga pernah menjadi cantrik (murid) dan pembina di padepokan ayahnya.
Dari padepokan Bagong K. itu pula Djaduk belajar soal disiplin. Di balik pertunjukan yang cair, ada proses latihan yang ketat dan berat. "Kami latihan berdarah-darah," ujar Djaduk. Pertunjukan "Gending Djaduk" yang berlangsung dua jam disiapkan selama delapan bulan. Tak ada kata terlambat kala Kua Etnika berlatih.
Setiap hari kerja, mereka berlatih mulai pukul 15.00 hingga 18.00. "Pukul setengah tiga, semua sudah harus hadir," tutur Djaduk. Pada sesi latihan itulah mereka menggarap komposisi hingga tuntas. Hingga terasa ngeng-nya. Disiplin latihan serupa diterapkan dalam grup-grup Djaduk yang lain di samping Kua Etnika. "Sudah sejak 1970-an kami berlatih seperti itu," katanya.
Jejak bermusik Djaduk bermula jauh sebelum Kua Etnika, yang dibentuk pada 1996. Kala duduk di sekolah menengah atas, Djaduk punya satu grup musik yang terdiri atas sembilan orang bernama RHEZE. Suatu kali pada 1978-an, setelah lolos penyaringan tingkat regional, RHEZE terpilih menjadi peserta Kejuaraan Musik Humor Nasional yang digelar di Taman Ismail Marzuki.
Berbondong-bondong menggunakan kereta, mereka memboyong instrumen yang digunakan RHEZE untuk mentas di Jakarta. Instrumennya antara lain tampah padi, butiran jagung, klakson angin towet-towet, dan beberapa gentong tanah liat yang ditutup kertas sak semen pada lubang-lubangnya.
Saat pentas, "instrumen-instrumen" itu dimainkan. "Ada polanya dan kami mainkan ritmik," kata Djaduk. Jagung di dalam tampah, misalnya, dilempar-lempar hingga menghasilkan bunyi esrek-esrek. Gentong ditabuh seumpama gendang. Klakson dipencet berkali-kali mengeluarkan bunyi klakson. Itulah musik yang dimainkan RHEZE dan membawa mereka menjadi juara Kejuaraan Musik Humor mengalahkan peserta lain, di antaranya Iwan Fals dan Tom Slepe. "Kebetulan hanya kami yang bermain dengan alat musik seperti itu," ucap Djaduk.
Tak berapa lama, setelah kemenangan itu, RHEZE bubar. Djaduk kemudian membuat grup bernama Wathathitha dan mementaskan Unen-unen pada 1980-1983. Pada 1985, ia bergabung dengan Teater Gandrik. Di sinilah Djaduk memperuncing ilmunya membangun sebuah pertunjukan. Dia belajar bahwa bermusik tak ubahnya pertunjukan teater, ketika seorang aktor mempunyai tugas menghidupkan naskah. "Dalam musik pun seperti itu. Pemain bertugas menghidupkan musik yang ia mainkan," katanya.
Djaduk juga mengeksplorasi musik keroncong melalui grup Orkes Ngamen Sinten Remen, yang dibentuk pada 1997. Di grup ini, ia memainkan keroncong dengan bahasa kekinian tanpa meninggalkan aspek teatrikal dan melawaknya yang khas.
Sepanjang 50 tahun, Djaduk, yang lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mengaku mempelajari banyak teori soal musik. Toh, ketika bermusik, teori-teori itu ia tinggalkan. "Teori membelenggu saya dalam berkarya," ujarnya. Sebagai gantinya, ia menetapkan ngeng sebagai patokan. "Opo jenis musik yang dimainkan saya ndak dhuong (enggak ngerti). Yang lebih penting adalah adanya ngeng itu," kata Djaduk.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo