Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pergulatan Visi Mata yang Hampir Buta

Lukisan-lukisan itu dibuat seorang pelukis yang mengalami kekacauan pencerapan visual.

25 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2008, seorang pelukis tiba-tiba mengalami gangguan pada penglihatannya. Gangguan itu makin lama makin akut, sehingga mengacaukan aktivitas melukisnya. Kendati sudah dilakukan operasi pada organ mata, risiko kebutaan tetap mengancam. Suatu kesalahan kecil dalam kegiatan seni pada 2012 tanpa dinyana malah membuat retinanya terlepas dari posisi normal.

Pupuk Daru Purnomo dilahirkan di Yogyakarta pada 1964. Ia belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1987-1994. Pameran tunggal Pupuk, "Me, My Self and Eye", di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 13-25 Agustus 2014, berhubungan dengan latar kisahnya sendiri tentang kekacauan pencerapan visual. Karya-karyanya yang bertarikh 2008-2014 berbeda dengan yang sudah dikerjakannya selama ini. Pokok yang berhubungan dengan diri, imajinasi, kebutaan, sampai kematian tampak membayangi karya-karya Pupuk pada periode itu.

Memasuki pintu masuk ruang pameran, kita disuguhi dua seri karya berukuran besar. Yang pertama adalah sebuah lukisan terdiri atas dua panel-masing-masing berukuran 230 x 167 sentimeter-bertajuk Harga Mati (2010), yang menyuguhkan potret seniman bersanding dengan gorila. Apa yang hendak digambarkan dengan karya itu? Kisah evolusionisme atau biologisme? Persis di hadapan citra dua makhluk itu terbentang pagar kawat yang rapat membatasi tatapan penonton. Seakan-akan hanya lewat celah dan batas kerangkeng itulah, bagian demi bagian, kita bisa melihat dengan cermat. Semakin kita giat menatap, menerobos pagar, semakin tatapan itu berbalik kepada kita yang menatap.

Kita teringat akan kisah terkenal mengenai subyek yang berada di sebuah taman dari Jean-Paul Sartre. Subyek yang tenang menikmati pemandangan di sekujur taman serta-merta berubah menjadi obyek tatapan ketika ada orang lain yang ikut memperhatikannya. Masuknya orang lain di taman merupakan intrusi atau gangguan yang menerobos sang subyek sebagai pusat yang memandang. Subyek yang memandang beralih menjadi obyek dan bulan-bulanan tatapan orang lain.

Dalam sebuah karya bertajuk tahun 2012, Pupuk mengerjakan tema itu lagi dengan medium yang berbeda. Ia menampilkan lagi dua makhluk yang menatap itu dengan bahan perunggu. Di balik pagar, pelat bordes dan gembok tatapan dua makhluk itu terasa lebih beku dan tajam.

Gangguan pada ranah retinal-lapisan atau sel yang peka terhadap cahaya-seperti yang dialami Pupuk beberapa tahun lalu terasa membuatnya ingin menemukan "visi lain" dalam melukis. Apakah ketakutan akan padamnya daya penglihatannya justru menjadi peluang bagi Pupuk untuk menciptakan bentuk visual baru?

Kita melihat kecemasan akan kebutaan oleh Pupuk pada karya-karya lain disajikan secara "angker". Misalnya Tegar (2008), yang menampilkan patung sedada sebuah wajah boyak yang kehilangan sebuah matanya. Lalu Potret Diri dan Gunting (2013), patung berbahan perunggu yang menampilkan sosok sang seniman yang mencederai matanya dengan sebuah gunting. Adapun Last Man Standing (2013) menampilkan sosok lelaki menggendong sekarung tengkorak, yang seakan-akan hendak menggambarkan visi-visi kematian seorang seniman yang didera kecemasan akan kebutaan. Atau patung Tujuh Pengorbanan (2012) dan lukisan Kambing (2012), yang seakan-akan menjadi citra bagi pudarnya harapan sang seniman.

Sejauh ditunjukkan oleh karya-karya itu, menurut saya, tak tampak terobosan Pupuk yang cukup berarti untuk menampilkan visi barunya. Potret para maestro seni rupa di belahan Barat yang dijejerkan di mana-mana pada pameran ini-dalam rupa gambar, lukisan, dan instalasi obyek kursi-menunjukkan keinginan kuat untuk tetap menampilkan warisan kanon yang tiada berhubungan dengan ancaman kematian daya pandang.

Yang justru menarik adalah munculnya seri obyek boneka berbahan karung goni yang dipajang seperti etalase (dikerjakan pada 2013-2014). Karya-karya ini merefleksikan suasana ketubuhan yang khas, yang menggugah imajinasi tentang nafsu, seksualitas, kebaikan, kejahatan, sampai kematian. Pada seri karya ini, Pupuk lebih berhasil menggugah kita dengan visualitas yang lumayan kaya, menyimbolkan dorongan-dorongan ragawi yang tertanam antara daya visual dan isi-sosial mengenai ketubuhan (sosok seniman, pecundang, dan vampir, misalnya). Pernik-pernik obyek yang merangsang intensitas ragawi itu-di dalam kotak lemari sempit -mengandung pesan bermakna tentang permainan. Bagaimana tokoh-tokoh lakon yang kita reka-reka telah meniru perilaku kita sendiri.

Hendro Wiyanto, Pengamat Seni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus