Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I Made Djirna tampak cekatan mengais uang kepeng di tengah kepulan debu dan asap sisa pembakaran yang menyengat. Karya video The Power of Memories #1 berdurasi empat menit itu memperlihatkan bagaimana Djirna seakan-akan melakukan ritual baru di atas ritual sebelumnya. Sebuah "ritual kepeng".
Di pameran tunggalnya, "The Logic of Ritual", Djirna, 57 tahun, memang menawarkan soal kepeng ini sebagai pokok yang hendak ia kritik dan pertanyakan. Ia ingin memahami absennya logika dalam setiap ritual di Bali. Kepeng-kepeng itu pun ia susun sesuka hatinya membangun berbagai nuansa menarik. Apakah ada logika atau rasionalitas dalam sebuah ritual? Ataukah mungkin puncak dari rasionalitas adalah irasionalitas itu sendiri?
Dalam catatannya, kurator Wayan Kun Adnyana mengemukakan sikap kritis Djirna atas tradisi Bali tak hanya bertalian dengan berjangkitnya komodifikasi yang menyebabkan suatu yang sakral menjadi profan, tapi juga menyangkut segala tabiat yang kepalang dianggap logis.
Djirna, seperti dikutip Kun, mengatakan, "Orang Bali membeli uang kepeng palsu-uang koin bolong Cina yang dikerjakan industri rumah tangga di Bali-semata untuk melengkapi properti dan sesaji ritual. Belum ada orang yang mempertanyakan kenyataan ini. Barangkali meniadakan hadirnya uang kepeng dalam sesaji jauh diyakini lebih bersalah daripada sekadar mengeluarkan banyak uang untuk membeli kepeng palsu tersebut."
Pameran yang digelar di Sangkring Art Space, Yogyakarta, bekerja sama dengan Gadjah Gallery Singapore ini turut menampilkan instalasi terbaru Djirna dan puluhan lukisan yang sarat dengan imaji kepeng. Lihatlah bagaimana sehelai baju hasil rajutan karung goni dan kepeng yang menggantung di tengah ruangan berikut artefak-artefak di bawahnya, misalnya, mampu membangun kesan sesajian-seakan-akan seseorang bersiap melakukan ritual.
Sedangkan lukisan dengan media campur, Piggy Bank (2013), menawarkan kekuatan simbolis sekaligus jenaka. Kita boleh teringat lukisan celengnya Djoko Pekik, yang menjadi ikon era Reformasi 1998. Tapi, dalam Piggy Bank, Djirna mengunci konteks hewan babi ke dalam tamsil okultisme. Tubuh hewan itu terbuat dari kepeng-kepengan dan segera berkoresponden dengan judulnya. Tubuhnya sebagai bank-tempat uang berputar dan diputar. Sosok-sosok di sekitarnya dikesankan melayang mengitari hewan gemuk ini seperti hendak digiring ke satu arah tertentu. Piggy Bank satu di antara sejumlah lukisan simbolis.
Kepeng-kepeng itu pun ikut mengomentari fenomena buah impor di Indonesia. Dalam lukisan Buah Impor (2013), Djirna menyusun kepeng-kepeng sedemikian sehingga membentuk buah bersayap. Di sebelah kanan, seorang wanita bergincu tebal seperti meniupkan sesuatu. Dari mulutnya, kepeng-kepeng itu seolah-olah bertebaran dan mendorong bobot buah tersebut menjauh.
Lukisan Membuka Lembaran (2013) menggiring kita ke permasalahan sosial. Kepeng-kepeng itu membentuk gulungan tikar (atau layar) yang terbuka. Di baliknya, orang-orang berdesakan dengan gestur yang ganjil tidak beraturan. Di sekitarnya tampak angka-angka dalam kotak samar-mengingatkan kita pada ramalan kode judi buntut di emperan jalan. Lukisan ini meÂrefleksikan masyarakat yang tengah menjalani hidup dalam ketidakmenentuan. Sedangkan uang telah menjadi hal yang determinan serta sanggup menggulung dan melumat umat.
Lukisan Bunga Uang (2013) bisa bermakna ganda: sebagai setangkai bunga yang memekarkan uang atau sebagai terma dalam perbankan. Djirna sepertinya sengaja membiarkan dualisme makna ini. Masih dengan teknik menempel kepeng di atas kanvas, lukisan bernuansa merah jambu ini menempatkan setangkai bunga yang ganjil-seperti mutan. Di atas, tampak capung-capung beterbangan; dua ekor ular bermahkota menjilati batang. Di belakang, sekerumunan manusia terpinggirkan. Kurator Kun Adnyana menuliskan lukisan ini sebagai kritik tanpa teriak yang menyindir perilaku uang menjadikan manusia teralienasi.
Kalau diperhatikan sekilas, lukisan-lukisan Djirna lainnya, seperti seri bunga, memang terkesan sederhana dan tidak memunculkan persoalan apa-apa. Namun kita masih bisa mencermati kesan kering pada ranting-ranting pohon ataupun penggunaan kepeng yang ambigu di sana-sini.
Kesan lain yang dominan di dalam ruangan adalah hadirnya nuansa totem. Dalam sebuah seri, Djirna memanfaatkan panel-panel vertikal yang menjulang di dinding galeri. Sentral panel itu terlihat pada bagian tengah yang digarap Djirna dengan memanfaatkan kepeng-kepeng padat. Dari kejauhan, panel-panel itu seperti memiliki rongga di tengah-dan turut membangun kesan tiang totem yang masif. Dalam serial ini, Djirna keluar dari sikap kritiknya. Ia menjemput jalan menuju sublimasi untuk dirinya. Kepeng di situ tak lagi suatu yang "profan", tapi dimantrakan sebagai material yang sakral.
Hal yang sama bisa kita rasakan pada serial karya Celah Kehidupan (2013). Dalam rangkaian ini, Djirna cenderung mengolah bidang kanvas dengan pendekatan formalistik tanpa meninggalkan "jalan ritual" sepenuhnya. Dua pendekatan ini, formalistik dan ritual, sering diduga orang sebagai jalan tengah guna mendamaikan "estetika Timur dan Barat". Lukisan-lukisan Ahmad Sadali, misalnya, juga memperlihatkan kecenderungan hal yang sama.
Itulah karya mutakhir I Made Djirna yang mencoba menjawab kelemahan-kelemahan dalam praktek seni rupa kontemporer kita yang kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis melalui ritual, jalan spiritual, dan aspek metafisis manusia. Bukan hanya itu, seniman di zaman sekarang kehilangan perangkat kritisnya. Seniman mudah terjebak menjadi seorang yang mengeksploitasi tradisi. Terasa kuat bagaimana Djirna terus-menerus menjaga kesadaran dan kepekaannya.
Terlepas dari itu, ke depan, Djirna harus bisa lebih efektif dan strategis dalam memilih materi pamerannya. Maka karya-karya yang kurang relevan tidak perlu melemahkan kekuatan karya lain.
Aminudin T.H. Siregar, Dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo