Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada pemandangan yang tak biasa dalam pameran karya F.X. Harsono di Jogja National Museum, Sabtu dua pekan lalu. Puluhan orang menyimak ucapan kurator Hendro Wiyanto yang bak seorang pemandu museum menjelaskan karya-karya F.X. Harsono.
"Ada 28 ribu huruf dari terakota yang bertumpuk di depan kita," ujar Hendro Wiyanto. Judul pameran ini juga tak biasa: "What we have here perceived as truth we shall some day encounter as beauty". Dalam pameran ini Harsono memamerkan tujuh "kebenaran" dengan medium video dan instalasi.
Ketika Soeharto jatuh pada 1998, Harsono, yang dikenal kerap mengolah isu sosial dan politik dalam karya-karyanya, merasa tak mampu lagi menandingi euforia politik. "Tiap orang bebas berbicara tentang politik," katanya. Dia merasa kehilangan diri. Pada titik itulah Harsono menoleh pada diri-dan sejarah ketionghoaannya.
Perupa Cina peranakan yang lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 1949 itu menemukan lembaran foto usang hasil jepretan ayahnya di Blitar pada 1951. Foto tersebut menggambarkan penggalian belulang etnis Tionghoa yang menjadi target kemarahan warga pribumi setelah berlangsung agresi militer Belanda kedua pada 1947: pembantaian. Tapi tragedi itu tak tertulis dalam sejarah nasional Indonesia.
"Ayahku selalu bercerita tentang peristiwa pembunuhan orang-orang Tionghoa di desa-desa sekitar Blitar pada 1947 hingga 1949, yang dikenal sebagai masa clash kedua," tulis Harsono dalam katalog pameran.
Harsono pun kembali "berpolitik". Lahirlah karya yang separuh beraroma kemanusiaan, separuh lagi berbau gugatan politik. Bagi dia, sejarah etnis Tionghoa di Indonesia tak ditulis secara benar. Pada saat yang sama, Harsono mengaku mengalami krisis identitas. Dia Cina tapi bukan Cina. Dalam darahnya mengalir darah Cina dan darah Jawa. Dia dibesarkan orang tuanya di pecinan Gang Tjoe Tien di Blitar, tapi hingga usia 10 tahun dia juga pernah ikut neneknya seorang Jawa kejawen yang mewariskan agama Katolik pada dirinya, bukan Konghucu atau Buddha yang dianut leluhurnya. Meski menyandang nama Oh Hong Boen, nama itu tenggelam oleh nama yang tertera di KTP: F.X. Harsono.
Lewat riset di lapangan, Harsono melahirkan karya dengan teknik yang sangat sederhana. Di sebuah karya, ia misalnya mencetak nama korban pembantaian pada 1947-an di kuburan massal di Blitar, Tulungagung, Kediri, Muntilan, dan Yogyakarta dalam huruf Cina langsung dengan goresan tangannya memakai pastel merah di atas kain panjang putih (Menulis Ulang pada Makam-2013). Pada karya lain dia menggunakan medium video dan instalasi yang melibatkan keterampilan orang lain.
Harsono memulai kisahnya dengan karya berjudul Perjalanan ke Masa Lalu/ Migrasi (Journey to The Past/ Migration), ketika Faxian yang dipercaya sebagai orang Cina pertama mendarat di Jawa pada 414 Masehi. Sebagaimana judulnya, lewat teks yang muncul pada visualisasi karya ini Harsono ingin menggambarkan perjalanan migrasi etnis Tionghoa dari Cina daratan ke Indonesia.
Dia menggunakan idiom perahu dari kayu yang berisi tumpukan lilin elektronik merah, yang biasa dipakai warga Tionghoa, bak menembus ombak berupa tumpukan huruf Latin dari bahan terakota. Di ujung tumpukan huruf itu berdiri kursi kanjengan sebagai simbol penguasa tradisional di Indonesia, dan di atasnya ada kipas berhias aksara Cina. Kursi itu berdiri di atas bentuk ornamen dari bahan terakota yang biasanya menghiasi kapal Cina.
Sebagaimana karya Harsono selama ini, karya ini tak butuh kening berkerut untuk dibaca. Harsono menggunakan simbol lugas, perahu berisi bekal lilin elektronik yang mengingatkan orang pada dunia dagang, gunungan ombak berupa 26 ribu huruf Latin sebagai dunia lain di luar kebudayaan Cina daratan, dan kursi sebagai simbol kekuasaan. Kipas dan ornamen itu seperti menggambarkan peran politik etnis Cina di perantauan: sebagai bagian dari kekuasaan penguasa lokal.
Dalam pameran ini Harsono secara maksimal mengeksplorasi teks dalam pengertian harfiah. Dalam karya Sisi-sisi dalam Kehidupan, Harsono sepenuhnya menampilkan teks tulisan tangan dari sumber lawas tentang kehidupan warga Tionghoa di atas kain putih yang sudah dibentuk menjadi kemeja, celana, dan rok. Karya ini masih teras aroma pamflet.
Dalam karya Perjalanan Waktu (2013) dia bahkan hanya menggunakan teks tertulis dengan teknik teks berjalan (running text) merah di dalam ruang berwarna hitam. Harsono memilih teks yang menggambarkan kedatangan Faxian, orang Cina yang dipercaya pertama kali menginjak tanah Jawa hanya karena salah arah: "Jawa: Tahun 400 M Faxian Mengunjungi India. Dalam Perjalanan Pulang Mereka Salah Arah Dan Mendarat di Jawa pada Tahun 414".
Karya berjudul Menulis dalam Hujan (2011) dan Ranjang Hujan (2013) terasa liris. Pada karya Ranjang Hujan air menetes dari atas tempat tidur kayu berukir naga di sudut bagian atap. Titik-titik air itu menggenangi rangkaian kalimat puitis dari keramik:
Dalam tidur kuurai masa lalu
Di ujung pena sejarah direka
Di ujung senapan sejarah ditipu
Di ujung pancuran sejarah tersapu.
Kalimat puitis itu juga ditayangkan lewat teks bergerak dalam warna merah yang kontras dengan dinding hitam. Terasa kuat nuansa Cina. Tapi rangkaian huruf dari materi keramik itu terlalu keras untuk diluluhkan tetesan air, sehingga abadi menjadi teks sejarah.
Dalam karya video instalasi Menulis dalam Hujan, terlihat Harsono terus-menerus menorehkan namanya, Oh Hong Boen, dalam aksara Cina dengan tinta hitam meski terus diguyur air. Tinta segera pupus begitu menyentuh kaca yang basah. Toh, masih tersisa garis-garis hitam yang sempat mengering sebelum disapu air.
Karya ini lebih menyentuh dibanding karya senada dalam pameran sebelumnya di Langgeng Art Space Yogyakarta pada akhir 2011. Saat itu Harsono menampilkan karya di mana dirinya berulang-ulang menorehkan namanya dengan tinta di atas ribuan kertas.
Raihul Fadjri Faniska
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo