SEBUAH LORONG Dl KOTAKU
Oleh: Nh. Dini
133 h., 16,5 x 11 cm
PELABUHAN HATI
Oleh: Titis Basino Purnomo Ismadi
131 h., 16,5x 11 cm,
Keduanya terbitan Pustaka Jaya
(Jakarta, Desember 1978)
KEDUA novel kecil ini -- menurut tebalnya buku -- mempunyai
suatu persamaan, yakni keduanya lugas dan spontan mengungkapkan
dua buah dunia wanita, tidak sophisticated. Selanjutnya ada
suatu persamaan lain, yakni keduanya bekas pramugari GIA.
Keduanya pun telah dewasa, tidak puber dan merengek cengeng.
Tapi ada pula perbedaan-perbedaannya tentu saja. Dini yang
merupakan pengamat bermata celi melukiskan dunia seorang anak
perempuan, bagian pertama sebuah trilogi. Kesan yang membekas
pada jiwa kanak-kanaknya merekam perasaan spontan dan intuitif.
Misalnya kesukaannya kepada kakek dan nenek (tiri) pihak ayahnya
di Tegalrejo, Madiun, dan kepada abangnya Teguh Asmar dan kakak
perempuannya Heratih dan Maryam, serta pamannya Sarosa, adik
ayahnya sebaliknya ketaksukaannya kepada kakek dan nenek pihak
ibunya di Ponorogo serta kepada abangnya Nugroho. Perasaan suka
dan sayang memang merupakan lalu-lintas dua urusan.
Dini berhasil melukiskan kemesraan keluarganya yang besar,
banyak anak, tapi penghasilan ayahnya terbatas, hingga ibunya
yang penuh perhatian kepada keperluan suami dan anak (gumati)
musti berhemat. Terasa suasana idyllic kehidupan kakek dan
neneknya di Tegalrejo serta hiruk-pikuk awal perang Pasifik di
rumah orangtuanya di Semarang. Penggunaan kata-kata Jawa di
sana-sini olehnya memang menandaskan suasana tempat (couleur
locale), tapi sebaiknya semuanya diberi not-kaki tentang
artinya, karena pembaca bukan-Jawa tak 'kan dengan sendirinya
paham.
***
Mungkin di dalam umur Titis Basino dan Dini kurang-lebih sebaya.
Tapi di dalam sastera ia lebih muda menurut munculnya. Bekas
mahasiswi Fakultas Sastra UI ini setelah selesai ujian sarjana
muda meninggalkan fakultas dan sengaja menjadi pramugari terbang
dengan maksud mencari pengalaman untuk menulis. Selang beberapa
tahun bekerja pada GIA ia memang keluar untuk menulis cerpen di
Majalah Satra dan Horison.
Tapi bukunya yang ini bukan tentang dunia penerbangan. Yang
dilukiskan adalah kehidupan rumah-tangga Rani, isteri seorang
insinyur muda, dengan suaminya ir. Ramelan dan anak-anaknya,
kebahagiaan dan kekecewaan, ketegaran hati dan dendam menulang
sungsum yang tak memberi ampun. Dendam itu membara sekam juga
pada saat si berdosa meninggalkan dunia yang fana dengan sia-sia
mengetuk-ngetuk pintu hati bekas isterinya, mengharap dapat
diterima kembali. Dari berbagai fakta -- antara lain perginya ia
menjenguk Ramelan ke rumah sakit Petamburan, hubungannya yang
tetap baik dengan keluarga Ramelan -- ternyata Rani masih
mencintai Ramelan. Tapi ia berwatak gurat batu sekali tergores
tak 'kan lekang, dan kompromi haram baginya. Ia mengkhianati
hatinya sendiri karena keangkuhannya.
Laksmi
Ini mungkin mengundang pertanyaan pada pembaca: mungkinkah hati
wanita yang lembut dapat menggranit sekeras itu? Tapi Rani punya
alasan ia merasa ialah yang membentuk ir. Ramelan yang dahulunya
seorang mahasiswa miskin. Bahkan untuk membayar penghulu (kadhi)
ketika kawin Ramelan pun tak mampu. Dengan hanya berbekal ijazah
SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas) Rani bergulat
mengantarkan mahasiswa Ramelan sampai ke akhir studinya yang
berhasil. Karena itu Ramelan punyanya, buah ciptaannya. Eh,
tahutahu kemudian ia berani bertingkah, diam-diam mengambil
isteri kedua, Laksmi. Rani jengkel terhadap Laksmi, tapi ia
sebenarnya tak membencinya. Ia lebih banyak iri: Laksmi muda dan
cantik, tak cerewet dan mau serba tahu soal-soal remeh. Tidakkah
itu yang tak ada padanya, yang mengikat ir. Ramelan padanya?
Memang Rani bukan Sofia, sahabatnya, yang rela menerima dimadu
oleh Mas Joko asal tetap bergelimang keserbamewahan kebendaan.
Dan Mas Joko memperoleh kebahagiaan di rumah kampung di pinggir
kota bersama isteri mudanya, seorang wanita tidak terpelajar
bernama Rokayah yang penuh pengabdian dan kesederhanaan dan
memberikan kesantaian inkonvensional kepada Mas Joko. Di rumah
Rokayah Mas Joko cukup berkaos kutang dan bercelana kolor makan
dengan sambal ulekan Rokayah sendiri. Padahal tangan Sofia
terlalu halus untuk masak dan hanya terlatih untuk main tunjuk
dan perintah kepada sepeleton pembantu rumahtangga.
Pelukisan kontras Rani-Laksmi, Sofia-Rokayah sebenarnya
menunjukkan kemampuan Rani untuk menilik dirinya sendiri dan
mengakui kenyataan, tapi ia ditenggelamkan oleh kepalsuan
keangkuhannya sendiri. Akhirnya tenggelamlah kapalnya di
pelabuhan hatinya sendiri!
Di dalam pelukisan-pelukisannya Titis kadang-kadang terasa sinik
(cynical) "Dan mukanya yang tidak cantik tapi berbedak tebal
seperti kapur putih tembok lapangan sepakbola, mencibir kc arah
ijazahku yang hanya tamatan Sekolah Kepandaian Wanita." (h. 15)
" 'Betul, Jeng? Ah, saya mau menimbangkan badan nanti di Blok
M," katanya genit sambil menggoyangkan badannya yang mirip
ubur-ubur.' (h. 26). Kalau itu dimaksudkan sebagai bunga
stilistik mungkin mengandung risiko hiperbolisme !
Pada halaman 86 Titis menulis "Yang paling menjijikkan adalah
kebiasaannya bersendawa setiap kali habis makan." Apakah yang
dimaksudnya bukan bersendawa (bertahak, Jkt. , gelegeken, Jawa)?
Sendawa adalah salpeter (KNO 3).
***
Bagaimana pun kedua novel kecil ini lebih berbicara sebagai
sastera tanpa pretensi ketimbang novel-novel atau romanroman
berdasarkan sophistikasi intelektuil yang tanpa emosi.
S. I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini