YOGYAKARTA akhirnya berdenyut kembali, 29 Juni 1949. "Bung Karno dan Bung Hatta kembali, juga pemerintahan sipil," ujar Roeslan Abdulgani menggambarkan betapa. pentingnya peristiwa Yogya Kembali. "Ini merupakan titik awal pulihnya pemerintahan pusat, lambang kekuasaan dan kedaulatan pemerintah." Belanda berusaha keras mengagresi jantung pemerintahan itu, dan berusaha keras pula membangun pemerintahan boneka "Tapi, kita tidak mau," ujar Bung Roeslan, tokoh yang akrab dengan sejarah itu, kepada Suharjo Hs. dari TEMPO. Denyut itu kini mau di abadikan, berwujud sebuah monumen. Pada 29 Juni lalu peletakan batu pertama pembangunan Monumer Yogya Kembali telah dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Bung Roeslan ikut mengantarkan pembangunan monumen itu. Dialah yang diminta memberikan ceramah di hadapan para perancang monumen, bahkan kemudian menjadi ketua dewan juri sayembara desain monumen yang diselenggarakan beberapa waktu lalu. Gagasan pembuatan monumen itu sendiri muncul dari wali kota Yogya, Soegiarto, dua tahun lalu. Karena itu, monumen lalu tampak sesuai dengan rencana pengembangan Kota Yogya. Ini terutama bila diperhatikan bahwa lokasinya di Desa Nandan dan Jangkan, Kelurahan Sariharjo, Kabupaten Sleman - di utara Yogya - yang terletak di jalur ring road Yogya. Perhitungan lain, menurut Soegiarto, lokasi itu terletak pada poros antara Tugu (yang terletak di jantung Yogya) dan Keraton. Dan lokasi itu mengikuti struktur letak Keraton: utaranya ditandai Gunung Merapi dan selatannya Laut Kidul. Dari sisi sejarah, Tugu dan Desa Jangkan, yang terletak di Kecamatan Ngangkil itu, dinilai banyak kalangan merupakan titik penting dalam Yogya Kembali. "Di tempat itulah Belanda berkumpul untuk meninggalkan Yogya, termasuk yang berada di Wonogiri," ujar Bung Roeslan tentang lokasi monumen itu. Alhasil, poros Monumen - Tugu - Keraton membentuk sebuah ruang besar yang beralasan, canggih, dan menarik. Dan ini pula yang menjadi salah satu dasar gagasan pemenang sayembara, Pematung Sunaryo dan Arsitek Slamet Wirosenjaya - grup dari Bandung. Rancangan para pemenang ini, sebuah monumen setinggi 29 m, berbentuk kerucut terpotong di bagian atasnya. Bagian muka monumen tersebut terbelah melebar di bagian atas. Rongga yang cukup lebar di tengah monumen inilah yang, secara konsepsional, membelah poros Tugu-Keraton. Pada belahan ini, beban peringatan monumen "ditorehkan". Sunaryo, dosen Fakultas Seni Rupa & Desain ITB, pemenang itu, merencanakan membuat relief di sisi-sisi belahan. Relief-relief itu mengisahkan dua sisi perjuangan: diplomasi dan perjuangan fisik. Masing-masing digambarkan di sisi kiri dan kanan dalam bahasa isyarat tangan. Sebuah simbolisasi yang menawan, yang kuat menyarankan dialog di antara keduanya - hati-hati dan rahasia. Sayang, simbolisasi ini masih dibayangi penerapan sejumlah tanda yang terlampau langsung: enam segmen pada monumen menandakan bulan Juni, tinggi 29 m menandakan tanggal 29, dan dasar monumen yang 49 m x 49 m menandakan tahun 1949. Permainan yang secara langsung mengagresi proporsi ini sangat mungkin mengganggu bentuk monumennya, misalnya mengganggu perbandingan monumen dengan dasarnya yang terasa terlalu sempit dan tipis. Padahal, catatan-catatan ini lebih efektif dan komunikatif bila ditempatkan formal, misalnya pada prasasti. Namun, ada kemungkinan para perancang sekadar mengikuti kebiasaan membuat monumen yang memang begitu. Sunaryo juga mengutarakan, monumen yang direncanakan dibuat dari susunan batu itu terletak pada sebuah dasar yang melebar tapi membentuk semacam ruangan. Dari celah di tengah monumen direncanakan sebuah jalan khusus ke ruang bawah tanah yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Misalnya, museum, ruang pameran, atau arena diorama. Bentuk monumen yang seperti bentuk nasi tumpeng itu konon diilhami bentuk gunungan, atau kayon, dalam wayang kulit purwa - yang memiliki bentuk dasar datar (dua dimensi). Penjelasan yang diutarakan Sunaryo kepada Farid Gaban dari TEMPO ini kedengarannya agak janggal. Tapi hal ini, katanya, tak mutlak. Sebab, bentuk itu bisa juga digambarkan sebagai gunung, yang dikenal luas dalam mitologi berbagai suku di Indonesia. "Yang penting," ujar pematung itu, "ide gunungan yang menjulang menekankan makna yang transendental." Akan tetapi, rancangan Slamet dan Sunaryo yang memenangkan sayembara tak dapat dipastikan akan dilaksanakan. Ketika upacara peletakan batu pertama berlangsung, maket monumen yang dipamerkan berubah sangat jauh. Ir. Bondan Hermani Slamet, M.Sc., ketua tim perencana monumen, menjelaskan kepada Syahril Chili dari TEMPO, panitia memang tidak terikat pada rancangan para pemenang sayembara. Bisa, katanya, hanya mengambil dan mengembangkan gagasan-gagasan yang baik. Beberapa gagasan dasar memang tak berubah. Gunungan, dasar monumen yang merupakan ruang bawah tanah, dan prinsip celah kurang lebih sama. Masih juga sarat dengan tanda-tanda: segi enam yang menandakan Juni, dan 29 anak tangga yang menandakan tanggal 29. Namun, bentuk monumennya mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kini, ia tampak kurang monumental dan sangat menyarankan struktur bangunan. Bentuknya, dua ujung perahu - satu besar dan satu kecil - yang didempetkan, dan membentuk celah pada batas pertemuannya. Memperkuat kesan bangunan, kubah bersegi garapan tim perencana diperkirakan dibuat dengan beton cor - padahal Sri Sultan konon menyarankan material yang lebih kukuh, batu misalnya. PRINSIP celah, yang pada rancangan Slamet-Sunaryo paling membangun kesan monumental, pada rancangan tim perencana rusak total. Celah ini di rencanakan tertutup kaca berornamen. Dinding kaca, selain "membungkam" celah, juga akan terasa ringkih - dan terjepit di tengah dua massa beton yang kesan dan strukturnya sangat kukuh. Di samping itu, ornamen kaca, yang menurut Bondan akan mengambil ornamen gunungan, secara prinsip bisa dikatakan janggal bila dibandingkan dengan ukuran monumen. Sebab, perbedaan modulnya terlampau besar kecuali bila monumen memang merupakan semacam eksperimen arsitektur postmodernisme. Namun, menurut Bondan, desain yang dibuat tim perencana belum final. Maket yang disuguhkan, katanya, justru untuk memancing tanggapan guna perbaikan. Dan tanggapan memang segera muncul. Marsoedi, salah seorang pelaku Yogya Kembali dan salah satu ketua panitia, cenderung memilih rancangan yang memenangkan sayembara. Tentang maket tim perencana? "Kayak bangunan keong yang di Sydney," katanya. Jim Supangkat Laporan biro Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini