Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dua Perempuan Menyusuri Eropa

Film ini memiliki modal cerita yang bagus, juga sinematografi dan musiknya. Sayang, ada sejumlah pertanyaan yang tak terjawab.

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laura & Marsha
Sutradara: Dinna Jasanti
Produser: Leni Lolang
Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Adinia Wirasti, Prisia Nasution, Ratna Riantiarno
Produksi: Inno Maleo Films

Perjalanan selalu mengubah kita. Ada masa lalu yang ditinggalkan dan pengelana kerap menjadi orang lain ketika berpindah tempat. "Nothing behind me, everything ahead of me, as is ever so on the road," demikian tulis Jack Kerouac dalam novel perjalanan, On the Road. Hal inilah yang seharusnya memang tersaji dalam setiap kisah perjalanan, termasuk genre road movie. Film perjalanan akan gagal jika hanya menjadi kumpulan brosur wisata kota-kota yang dilewati dengan gambar panorama yang indah.

Hal itu, secara umum, tampaknya dipahami oleh para pembuat film Laura & Marsha. Awalnya adalah keinginan dua sahabat, Laura (Prisia Nasution) dan Marsha (Adinia Wirasti), jalan-jalan ke Eropa, benua yang belum pernah mereka sentuh. Ini adalah keinginan masa remaja mereka yang belum juga terwujud. Perjalanan itu akhirnya terjadi, bahkan mengubah keduanya.

Laura adalah ibu muda cantik berputri satu, berperangai tenang, bekerja sebagai karyawan di agen perjalanan, yang suaminya hilang entah ke mana. Marsha adalah penulis buku perjalanan yang riuh, kecanduan spontanitas, dan masih lajang. Dua karakter yang berseberangan itu dimanfaatkan benar oleh penulis skenario (Titien Wattimena, Tentang Dia dan Hello Goodbye) dan sutradara (Dinna Jasanti) untuk membuat film ini menggelinding. Konflik dan drama yang terjadi sepanjang perjalanan mereka dari Amsterdam hingga Venesia dibangun dari perbedaan kedua karakter itu.

Sayang, awal film ini agak tersendat-sendat. Ada sejumlah adegan—saat keduanya masih di Indonesia—yang tidak perlu ada, atau justru perlu diperjelas. Kehadiran Ratna Riantiarno, yang kenyang di atas panggung teater, tak terlalu membantu. Ia bahkan terlihat terlalu teatrikal saat menyadari anaknya terbangun dari koma.

Hal lain, misalnya, dialog sejumlah calon wisatawan yang dilayani Laura. Dialog yang ingin lucu, tapi tidak berhasil. Musibah yang menimpa Laura di depan kantor juga kurang punya peran untuk membangun cerita. Musibah yang membuatnya koma itu tak mengubah sama sekali sikap Laura. Juga tak membuatnya yang ragu pergi itu jadi yakin. Ketika dia tiba-tiba memutuskan berangkat bersama Marsha, kita tak tahu kenapa.

Film mulai menghibur saat ban mobil Mercedes tua yang mereka sewa di Amsterdam menggelinding. Akting Adinia Wirasti (pernah main di film perjalanan 3 Hari untuk Selamanya) sangat alamiah, mungkin karena dia memerankan karakter yang tak jauh berbeda dengan dirinya. Demikian juga Prisia. Kejutan muncul di sana-sini, menimbulkan konflik-konflik kecil—seperti hampir diperkosa, kehabisan uang, kehilangan paspor, dan dikejar polisi karena bekerja ilegal. Itu semua ditutup dengan kejut­an besar di akhir cerita. Lancar dan menghibur.

Sinematografi yang digarap Roy Lolang juga menarik. Memang, pemandangan sepanjang perjalanan membantu, tapi tidak ada usaha untuk mendramatisasi pemandangan itu hingga semuanya menjadi panorama kartu pos. Dan kita harus mengacungkan jempol untuk musik dan lagu-lagu sepanjang perjalanan yang dipilih Aghi Narottama dan Bemby Gusti.

Meski film ini lumayan lancar, sejumlah pertanyaan tentu masih ada. Salah satunya kehadiran Finn—teman perjalanan yang mereka angkut dari luar Amsterdam—yang terlalu kebetulan. Apalagi dia ternyata punya kunci rahasia masa lalu. Kebetulan di alam nyata biasa, tapi dalam fiksi harus punya penjelasan yang kuat. Kita juga tidak mendapat penjelasan bagaimana Marsha bisa meyakinkan Laura untuk menembus perbatasan Austria-Italia, sedangkan Laura merasa paspornya hilang. Sangat disayangkan jika adegan yang menjelaskan pertanyaan itu hilang dalam proses editing.

Qaris Tajudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus