Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mayat-mayat kurus dengan kalung, gelang, dan tameng kayu berukiran Dayak itu tiba-tiba bangkit dan menyerang tim ekspedisi Jala Rimba Tiga pimpinan Kapten Jaffar. Jaka, seorang pembuat film lepas di rombongan itu, sadar bahwa yang mereka hadapi sekarang bukanlah upaya menyelidiki gunung tempat jatuhnya sebuah pesawat komersial, melainkan memasuki dunia lain yang mengerikan. Dunia yang dipenuhi binatang purba, seperti singa bertanduk dan kadal-kadal raksasa. Juga kawasan asing tempat sebuah kapal dari masa depan terdampar.
Petualangan Jaka dan kawan-kawan di pedalaman Kalimantan Timur yang mirip film fiksi ilmiah bercampur horor ala Hollywood itu muncul dalam komik terbaru karya komikus senior Man, Neraka Borneo. Komik selebar buku tulis yang ceritanya ditulis Alfi Zachkyelle, komikus dan animator muda di AR & Co, itu diluncurkan bersama komik Dia karya Man dalam pameran "Retro Man 50 Tahun BerkarÂya". Peringatan setengah abad Mansjur Daman, nama lengkap Man, berkarya, di Bentara Budaya, Jakarta, akhir April lalu itu menampilkan lebih dari 80 sampul komik Man dalam ukuran poster dan beberapa fotokopi komik lama Man.
Pada usia 67 tahun, Man ternyata masih produktif dan berkembang. Anak Betawi kelahiran Tanah Abang, 3 Mei 1946, itu memulai kariernya sebagai ilustrator sampul roman dan novel koboi terbitan PT Rose pada 1960-an. Pada 1965, dia mulai menerbitkan komik horor dan roman percintaan, seperti Istana Hantu dan Kelelawar Terbang Malam. Ceritanya masih sederhana, bahkan Kelelawar merupakan adaptasi dari kisah Dracula karya Bram Stoker. Namanya mulai berkibar di zaman keemasan komik Indonesia pada 1970-an dan 1980-an lewat seri Mandala terbitan Rosita. Pahlawan Man mulai berlaga dalam 13 jilid Golok Setan pada 1972, yang dilanjutkan dengan 18 jilid Siluman Ular.
Ketika bisnis komik mulai lesu dan akhirnya mati di awal 1980-an, Man kembali ke pekerjaan awalnya sebagai ilustrator. Sesekali komiknya muncul di majalah Humor, Berita Krida Wacana, dan Suara Karya. Dia juga bergabung dengan tim PT Tunas Pakar Integraha untuk membuat VCD animasi Suma-Han Pendekar Super Sakti. Kerja lainnya adalah membuat wahana Rama Sinta dan Ice Age di Dunia Fantasi, Ancol.
Man kembali muncul di jagat komik pada 2008 saat menerbitkan Tumbal, lanjutan kisah petualangan perempuan pendekar Selendang Biru, dan Bunuh Mandala, bagian dari seri Mandala. Man telah menggambar secara realistis sejak awal bikin komik. Ketika komikus lain lebih menekankan cerita dan cukup dengan gambar yang sederhana, gambar Man tampak lebih rinci dengan permainan arsir dan gelap-terang yang dipertimbangkan, meskipun masih sederhana. Halaman komik silat yang biasanya cuma dua panel di satu halaman itu kadang dipecahnya jadi dua dan satu atau tiga panel.
Man juga tertarik pada animasi, bahkan ketika kecil pernah membuat proyektor dari lensa bekas dan petromaks. Kesukaannya terhadap film ini mungkin mempengaruhinya dalam menggambar. Pemilihan sudut pandang pada gambar-gambarnya tidak statis. Dia kadang menggambar dari sudut atas, samping, bahkan bawah. Misalnya, ketika jagoan berayun-ayun di sebuah jembatan gantung, Man menggambarkan adegan itu dari sudut samping-bawah, sehingga yang tampak hanya bagian belakang dan kaki sang tokoh serta bagian bawah jembatan. Hal semacam ini jarang muncul dalam komik-komik di zamannya.
Kematangan estetika dan narasinya baru benar-benar tampak belakangan ini, khususnya pada Roseta (2010). Komik dengan judul kecil "Cergam Roman Sejarah Batavia Abad 17" itu berbentuk novel grafis selebar majalah setebal 250 halaman. Ceritanya dia kembangkan dari novel Rossina (1910) karya H.F.R. Kommer, yang diramu dengan kehidupan Batavia masa itu, seperti hukuman gantung, opium, dan perbudakan, yang digalinya dari buku sejarah. Kisahnya tentang Roseta, budak sebuah keluarga Belanda kaya, yang kabur mencari kemerdekaan tapi jatuh ke tangan Jaya, kepala gerombolan perampok yang menghantui Batavia.
Man butuh setahun buat meriset dan mengunjungi berbagai lokasi untuk setting komiknya. "Saya mau jual gambar, bukan jual cerita. Setting-nya sungguh-sungguh, gambarnya sungguh-sungguh," katanya. Komik ini memang memanjakan mata dengan gambar-gambar hitam-putih dengan tinta dan cat air. Komik Dia dan Neraka Borneo juga digarap seperti itu, tapi tak sematang Roseta.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo