ADALAH Chil-Su, yang kepada gadis pu~jaannya mengaku sebagai mahasiswa seni rupa yang se~gera pergi ke Amerika. Ada~lah Mansu, pelukis papan iklan berwajah murung, yang hidupnya bergantung pa~da pesanan yang tak me~nen~tu. Suatu hari Chil-Su me~maksa Mansu meneri~ma~nya menjadi rekan kerja. Ke~du~anya lantas bersahabat: tinggal bersa~ma di rumah yang sempit dan kumuh, ba~hu-membahu, dan mencoba saling mema~hami. Persahabatan yang cerah, tapi juga se~dih. Ada fantasi dan kerja keras untuk ber~o~leh nasib baik. Namun keduanya te~tap~lah se~ti~tik kemiskinan dalam gemuruh kota besar yang makmur. Tak ada kemarahan, dan tak ada pula "kon~flik kelas", dalam film yang disutradarai oleh Park Gwang-Su itu. Jika kaum miskin di negerinya hanyalah minoritas, sungguh lebih baik menampilkan pribadi-pribadi se~perti Chil-Su dan Man-Su, yang masih memiliki humor dan kebersihan hati. Bukanlah protes sosial yang ingin ditampilkan, melainkan ironi terhadap kemakmuran negeri macan Asia itu. Terutama melalui beberapa adegan yang hampir sim~bolik: ketika kedua sahabat itu menggelantung berlumuran cat di gedung-gedung tinggi. Atau ketika mereka bersepeda di antara mobil-mobil yang me~laju cepat. Chil-Su dan Man-Su (1988) menggambarkan pribadi-pribadi yang didustai oleh ma~sya~rakatnya sendiri. Demikianlah, para sutradara film-film Korea Selatan tampak berusa~ha keras mengungkai dusta itu. Mereka pun ingin menjadi juru cerita yang baik. Dan itu ber~arti menampilkan tokoh-tokoh yang tak lazim ke tengah kenyataan yang tampak lazim dan tenteram. Lihatlah Dusun Berkabut (1982) yang disutradarai Im Kwon-Taek, misalnya. Seorang guru wanita ditugaskan ke sebuah desa terpencil. Ia tahu, masyara~kat di sana sangat memuliakan moral dan tradisi. Tetapi kenapa mereka memelihara seorang lelaki gila bernama Kae-Chol sela~ma bertahun-tahun? Si guru akhirnya tahu, penduduk mempunyai hukum tersembunyi: Kae-Chol "diperkenankan" menyeleweng dengan para is~tri -- dan setiap penyelewengan hanya boleh sekali belaka. Ia juga mendapatkan seks da~ri Kae-Chol. Tentu, semua itu melanggar Kon~fusianisme yang mereka anut. Tetapi dus~ta dilakukan demi tertib kehidupan, semen~tara dorongan liar dalam diri manusia ha~rus tetap jalan. Film ini ingin menyatakan bahwa tidak ada sebuah tatanan yang bi~sa dijaga hanya dengan ajaran resmi. Kegi~la~an dan pelanggaran yang secukupnya sung~guh perlu, seperti halnya dengan kabut yang melayap di atap rumah, atau hujan yang tercurah ke ladang kering. Tak pelak lagi, Im Kwon-Taek adalah su~tra~dara yang piawai menggarap tema tentang perempuan, yakni tema yang masih sensitif dalam masyarakatnya. Dua filmnya yang lain, Adada dan Perempuan Pengganti -- keduanya dibikin pada tahun 1987 -- juga diputar dalam pekan film ini. Lagi-lagi, tokoh-tokohnya muncul untuk menunjukkan kebohongan yang dihidupi masyarakat mereka. Sementara si guru wanita dalam De~sa Berkabut adalah tokoh yang cukup berjarak terhadap lingkungannya, Adada menampilkan perempuan bisu yang mencoba lebur dalam lingkungannya. Sekalipun ia merasa sehat dan bergairah dengan kebisuannya, jiwanya perlahan-lahan dibungkam: mula-mula oleh orang tuanya yang bangsawan, dan kemudian oleh suami dan mertuanya yang berasal dari lingkungan petani. Ia pun memilih kekasihnya sendiri: seorang fakir. Perempuan Pengganti menggarap sebu~ah peristiwa pada zaman dinasti Yi. Soon-Ok, dara 17 tahun, lugu dan agak liar, dipungut dari desa dan ibunya yang miskin, untuk melahirkan anak bagi Sang-Gyu, putra bang~sawan tak kunjung mendapat anak dari istri tercintanya. Si dara belajar tentang sopan santun dan cara mela~ya~ni lelaki dari istri dan ibu Sang-Gyu. Mula-mula, de~ngan sangat terpaksa ia me~lakukan persetubuhan de~ngan Sang-Gyu. Hari-ha~ri ke~mudian, ia menyukai seks yang ganjil itu: cin~ta~nya pa~da si lelaki tumbuh. Cinta yang me~nyatu dengan ke~ben~ciannya terhadap ling~kung~an bangsawan itu. Dengan tata artistik yang sangat kuat, film ini menelusuri psikologi Soon-Ok. Sejumlah besar medium shot tentang peru~mah~an bangsawan dan alam dalam empat mu~sim, mengiringi pergolakan perasaan si da~~ra. Sementara kaum bangsawan dilingkupi kesopanan dan kehalusan, mereka pun melakukan kejahatan terhadap kaum petani yang terwakili oleh Soon-Ok. Sedangkan ke~liaran dan kepolosan Soon-Ok seperti api da~lam sekam: karena ia tidak bisa melawan, ha~nya cinta (dan seks) yang membuatnya hi~dup. Sampai ia melahirkan: bayinya di~renggut dari pelukannya, diaku sebagai anak dari istri sah. Ia diusir, "jasa"-nya di~tukar dengan tanah nun di desa. Film-film Im Kwon-Taek mungkin dihujat oleh kaum feminis karena tidak menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang ga~gah dan melakukan perlawanan. Memang, Adada tenggelam di danau dan Soon-Ok menggantung diri. Tapi Kwon-Taek sesungguhnya menunjukkan dengan ha~lus, bahwa bukanlah pribadi-pribadi ganjil itu yang harus didakwa, melainkan kekerasan mayoritas. Bahwa kegilaan dan kebisuan hadir justru untuk membuktikan ada~nya kenyataan yang nyaman dan tertib. Itulah realisme yang rendah hati, namun tajam menggores seperti mata belati. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini