DI pojok timur laut negara bagian Kentucky, daerah yang terkenal berbudaya khas country atau dusun, terletak Tygart Valley, sebuah lembah yang kecil namun indah dan subur. Ke lembah ini, lebih dari satu setengah abad lalu, datanglah seorang muda bernama Joseph Carter (lahir tahun 1810 di West Virginia). Asalusul Joseph Carter tidak diketahui lagi kecuali bahwa leluhurnya yang pertama di Amerika berstatus indentured servant. Artinya, semacam perbudakan sementara yang memungkinkan orang miskin tanpa ongkos tiket kapal mencari kehidupan lebih baik di Dunia Baru. Di Tygart, Valley Joseph bertani kecilkecilan dengan membuka ladang tembakau. Ia beristri dan beranak tujuh orang, tiga lakilaki dan empat perempuan. Sebagian besar dari silsilah keturunan mereka sekarang tak diingat lagi, terbawa hilang oleh mobilitas orang Amerika masa itu dan oleh kabut sang waktu kemudian. Tapi tidak semuanya. Kini dua cabang keluarga itu masih bisa menyusuri alur hubungannya dengan nenekmoyangnya. Yang satu sebagian besar anggotanya -- dua belas kakak beradik serta anak, cucu, dan cicit mereka -- tinggal di negara bagian Ohio, yang berbatasan dengan Kentucky. Ada juga yang telah pindah jauh, ke California di barat dan Connecticut di timur. Cabang ini dikepalai, secara informal, oleh mertua saya, yang sudah berusia 70 tahun tapi masih aktif mengurusi keluarga besarnya. Cabang yang satu lagi kebanyakan anggotanya tinggal di negara bagian Arkansas, jauh dari Kentucky. Hubungan antara dua cabang itu sudah lama terputus. Lantas, tiga tahun yang lalu, secara kebetulan di Arkansas ditemukan kembali sebuah surat tua dari Ohio yang tak terjawab selama puluhan tahun. Korespondensi dibuka kembali, dan secepatnya diambil keputusan untuk mengadakan reuni besar pada musim panas 1992. Tentu saja tempat yang dipilih adalah Tygart Valley, tepatnya Carter Caves State Park, sebuah taman rekreasi dan penginapan sederhana yang dikelola pemerintah Kentucky. Setahu kami tidak ada hubungan antara nama itu dan keluarga Carter, tapi lokasinya cuma 15 km dari desa Joseph Carter dulu. Selama tiga hari, seratus dua puluh orang dari segala penjuru Amerika, termasuk Hawaii, berkumpul dan mulai berkenalan kembali. Enam generasi, dari buyut sampai cicit, terwakili. Yang tertua berumur di atas 80 tahun, yang termuda baru delapan minggu. Sebagian besar beragama Kristen -- memang keluarga ini berasal dari daerah yang kental fundamentalisme Protestannya -- tapi beberapa orang sudah kawin dengan orang Katolik. Malah ada sepupu istri saya yang bersuamikan orang Yahudi. Jenis pekerjaannya juga macammacam: antara lain fotografer angkatan udara, guru sekolah, perawat, pemborong, penjual asuransi, petani, tukang kayu, pengacara, profesor, pengusaha, dan pegawai. Tampaknya mereka ratarata makmur, tapi saya tidak melihat tandatanda kemewahan, seperti mobil mahal atau perhiasan berkilau. Banyak yang mampu membawa alat rekaman video, yang memang mode sekarang, untuk mengabadikan reuni. Acara pokok reuni adalah makan siang bersama. Hadirin diminta memegang sebuah tali panjang, lantas berdoa bersama, untuk melambangkan persaudaraan. Makanannya berlimpah sebab setiap suamiistri ingin menyampaikan rasa sayangnya dengan sumbangan nyata. Setelah kami selesai makan, sisanya, yang masih banyak sekali, dibawa ke sebuah rumah jompo yang tidak jauh dari situ. Yang paling enak -- setidaktidaknya menurut generasi muda -- adalah sajian ibuibu tua yang masih dekat dengan tradisi Kentucky: pot roast, chicken and dumplings, stuffing, roast potatoes, blackberry jam cake. Yang lebih muda, seperti istri saya, meminjam resep dan berjanji akan mencoba sendiri di rumah. Malam itu reuni ditutup dengan sebuah konser musik khas daerah itu, bluegrass, di aula terbuka di bawah bulan purnama. Sangat nostalgik bagi setiap orang yang pernah tinggal di Kentucky. Di Padang, di sebuah pertemuan di IAIN Imam Bondjol, saya pernah ditanyai tentang kehidupan keluarga di Amerika. Dengan segala kepolosan, seorang mahasiswi mengakui kebingungannya mengenai "budaya telepon" di Amerika. Apakah benar, katanya, bahwa orang tua dan anak dewasa yang hidup terpisah harus menelepon sebelum berkunjung ke rumah masing-masing? Di belakang pertanyaan itu adalah sebuah citra mengenai budaya Padang atau Indonesia dan budaya "negara maju": yang sini masih hangat, penuh dengan rasa emosi dalam yang sono sudah dingin, tidak manusiawi lagi. Jauh di belakangnya adalah kekhawatiran bahwa Indonesia di zaman pembangunan ini sedang menuju ke budaya yang beku itu. Saya menjawab bahwa budaya telepon tidak mengisyaratkan kehampaan kehidupan keluarga, melainkan adalah hal yang praktis saja di negara tempat kebanyakan orang bekerja di luar rumah. Seusai jawaban, mata si mahasiswi masih menunjukkan keragu-raguan, mungkin sebab keterangan saya berasal dari pengetahuan buku dan belum merupakan pengalaman pribadi. Mudah-mudahan, kalau mahasiswi di Padang itu sempat membaca tulisan ini, ia akan merasa lebih puas dan tenang. *) R. William Liddle, Profesor Ilmu Politik, The Ohio State University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini