BIMO Wiwohatmo membangun sebuah kubangan bujur sangkar berbingkai hitam di tengah Teater Arena TIM, Jakarta. Bukan lumpur di dalamnya, melainkan adukan kanji. Di tengah, ada kotak persegi panjang mirip altar. Di tiga pojok digantungkan tiga kantong plastik dengan bahan warna: kuning, hijau, dan merah. Di pojok keempat menjurai sebuah kain panjang-kusam berlubang-lubang. Di latar belakang ada terap panjang tempat para musisi. Sambil meniup selongsongan kertas, lima musisi berjalan pelan di antara enam penari dan seorang gadis cilik yang menapaki pematang hitam: ada yang menari, ada yang berjalan lugu, ada yang kaku. Warna putih sangat dominan. Para lelaki memakai kain putih yang dicawatkan muka, tubuh, tangan, kaki, dan rambutnya dilabur putih. Seorang di antaranya membawa tongkat bermenung di altar bersama seorang penari wanita bertopeng putih. Sejak awal penari ini asyik sendiri dengan gerak-gerak baletnya. Perlahan, gadis cilik memimpin masuk ke adonan kanji: menggeletak, bergulingan, menyambut kantong-kantong plastik yang mengucurkan lendir warna-warni. Salah seorang pemusik berdiri dan mengambil anak kecil yang bergelimang lendir dan memanggulnya ke tempat pemusik. Di latar depan dua wanita bergelut. Di pojok kanan belakang sepasang pria dan wanita berkutat. Musik berubah seru: dua lembaran seng dipukuli dan dilambai-lambaikan, ada vokal, ada gendang yang ditabuh bertalu-talu mengiringi para penari yang saling menerkam. Di sela-sela, ada permainan siter, rebab, biola, dan suling. Sementara ''umat'' yang di bawah berlendir dan dekil, tali- tali yang menjulur di ketiga sudut diangkat pelan-pelan. Maka berkibarlah tiga kanvas lusuh dengan lepotan lendir warna cerah: hijau, kuning, dan merah. Sampai saat ini, dua figur di altar tetap putih bersih. Si lelaki lebih banyak mematung sang wanita bertopenglah yang aktif menari membelit dan mengelilinginya. Sesekali, tiupan terompet-terompet kertas terdengar mirip didgeridoo Aborigin Australia. Akhirnya wanita bertopeng itu kehilangan kesabaran. Dilemparkannya tongkat si lelaki ke lautan lendir. Pria dan wanita di kubangan menyerbu, menarik dia ke kubangan. Putri bertopeng pun akhirnya tak luput dari serbuan, dan harus terpendam bersama yang lain di lautan lendir. Akhirnya, begitu si kecil bergabung kembali, sebuah kain putih lebar dibentangkan dari belakang menutupi segenap yang ada di kubangan. Kecuali sang anak yang bertengger lucu di gundukan kain putih yang bersih. Satu pukulan keras di lembaran seng, disusul temaram cahaya dan panggung yang gelap, mengakhiri pertunjukan yang berjudul Karma, yang sejam panjangnya, yang didukung bukan saja oleh seniman-seniman muda Indonesia, tapi juga Australia dan Jepang, pertunjukan yang disebut-sebut sebagai ''tari seni rupa''. Secara kebetulan, saya menyaksikan pertunjukan ini dengan dua penata tari dari Jepang dan Australia. Yang Australia memuji tinggi. Ia terkesan oleh kebebasan ekspresi Bimo. Di Australia, ''eksperimentasi'' tari sangat dibatasi. ''Yang acap disebut 'kontemporer' di Australia sering hanya sebuah 'neoklasik','' katanya. Yang Jepang hati-hati memberikan komentar. Ia hanya memuji garap musiknya. Saya tak memburunya karena tahu belantara tari di Jepang cukup lebat dan rumit: setiap seniman mempertahankan jengkal ruang, waktu, dan bidang yang diyakininya. Ada yang sangat tradisional, ada pula yang klasik Barat. Di Tokyo, tontonan balet, misalnya, sangat digemari. Tapi ada juga imitasi Broadway musikal seperti Takarazuka yang mahal dan menghibur. Ada gaya tari modern Amerika, tapi ada juga paduan pencarian dari dalam yang kreatif seperti butoh. Saya menghargai Karma dari ketekunan dan keberanian para pelakunya. Seniman dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Institut Seni Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, dan Sekolah Menengah Seni Rupa bergabung dan mencoba mencari arti dan kemungkinan ekspresi yang baru. Ungkapan Bimo, bagi yang tak tekun mengamati, memang menyajikan ''kebaruan''. Tapi sesungguhnya beberapa temuan merupakan ulangan: walau tak sama benar. Agaknya, ketika informasi dan komunikasi antarnegara semakin terbuka, membuat sesuatu yang orisinal, baru, dan bermutu ternyata tidak mudah. Kubangan lumpur pernah kita saksikan dalam Meta Ekologi dan Mahabuta karya Sardono. Figur-figur pelaku pertunjukan yang dilabur putih dekat sekali dengan butoh yang berkembang sejak awal abad ini di Jepang, yang sejak akhir 1960-an mendapat sambutan di Eropa dan Amerika. Pemanfaatan aspek-aspek seni rupa dalam Karma menarik, tapi acap kali mendominasi dan menyembunyikan teknik gerak yang beragam dan tak dalam. Gerak bergelut dan bergumul dominan, tapi belum memunculkan imaji gerak yang khas hasil eksplorasi dalam lendir. Inilah bedanya: sosok dalam seni rupa boleh dinikmati dalam diam, dalam tari yang dicari adalah dynamic image imaji gerak yang mampu menggugah kepekaan kinestetik pemirsa. Ada kesenjangan antara ide dan teknik. Ada paduan yang tidak sreg sehingga imaji liris batal tampil. Setiap pelaku membawa keterampilan khas, tapi belum tuntas terjelajahi dan terpadukan. Gerak balet seorang penari yang mendominasi adalah satu contoh. Agaknya Bagong Kussudiardjo, penari, koreografer, dan yang juga pelukis itu, benar: ''Asal tidak kambuh kesetnya, Bimo pasti akan berhasil.'' Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini