DI hari-hari menjelang peringatan G-30-S PKI pekan ini, saya teringat acara peluncuran buku kumpulan karangan H.B. Jassin serta peringatan ulang tahunnya yang ke-76 beberapa waktu lalu. Dalam acara itu hadir Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Lekra, lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah PKI yang, seperti kita ketahui, merupakan organisasi terlarang. Pram diundang oleh panitia. Kehadirannya menjadi peristiwa yang sempat menarik perhatian pengunjung. Ia menjinjing sebuah kantong plastik berisi sejumlah buku. Sempat saya lihat, di antaranya adalah karya-karyanya sendiri yang sudah diterjemahkan dalam bahasa asing. Pada saat acara penyerahan kenang-kenangan, Pramoedya menyampaikan buku-buku itu bersama secarik kertas yang ditujukan kepada Jassin, yang antara lain bertuliskan, ''Maukah Saudara menerima?'' Jassin menerima dan keduanya lalu berangkulan. Terkesan keharuan dalam peristiwa singkat ini. Penggunaan kata ''maukah'' mungkin menggambarkan rasa ragu Pramoedya. Mungkinkah H.B. Jassin, orang yang pernah dibantainya pada zaman Lekra jaya, masih berhati lapang menerima hadiah dari pembantainya? Beberapa pengunjung berbisik-bisik. Ada pula yang tersenyum senang. Kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya. Lalu terkilas oleh saya kejadian-kejadian sekitar tahun 19631965. Pramoedya bersama kawan-kawannya menyerang dengan gencar pengarang dan budayawan yang pendiriannya tidak sejalan dengan Lekra, yang dikatakan sebagai penganut prinsip kemanusiaan semesta atau humanisme universal dan kebebasan mencipta. Terjadi polemik tajam waktu itu. Sastrawan dan budayawan yang tidak sejalan dengan Lekra itu kemudian mencetuskan Manifes Kebudayaan (Manikebu menurut akronim cemoohan Lekra), yang segera menjadi bulan-bulanan Lekra dengan menuduh orang-orang Manifes itu sebagai ''kontrarevolusi'', ''manipolis munafik'', ''alat nekolim''. Jassin menjadi sasaran utama sebagai seorang ''Jenderal Manikebu''. Sejarah sastra Indonesia dikaji ulang oleh Bakri Siregar. Tidak benar, katanya, sastra Indonesia modern dimulai dari Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Tokoh pengarang yang revolusioner adalah Mas Marco dengan karyanya yang konsekuen antipenjajah. Dari sinilah sastra Indonesia modern bermula. Bukan dari Merari Siregar atau Marah Rusli. Syamsulbahri dalam Siti Nurbaya mendapat simpati besar karena teraniaya oleh Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya, kekasihnya. Padahal, menurut Bakri Siregar, Syamsulbahri adalah alat kekuasaan kolonial dalam pemberantasan pemberontakan rakyat yang antipenjajah (pemberontakan pajak). Hiruk-pikuk ini diramaikan pula dengan pengganyangan terhadap Hamka dengan menuduhnya sebagai plagiator. Pramoedya, dengan bantuan Abdullah S.P., mencoba membuktikan Di Bawah Lindungan Ka'bah sebagai jiplakan dari Magdalena karangan Al-Manfaluti. Sutan Takdir Alisjahbana dan Balfas yang berada di Malaysia juga diganyang sebagai ''antek malaysia''. Begitu pula Idrus yang berada di Australia dituduh kontrarevolusi karena ''menertawakan'' revolusi dalam novelnya, Surabaya. Manifes ini kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno pada tahun 1964. Dan kemudian Sekretaris Jenderal P dan K, Soepardo, S.H., menginstruksikan agar dikikis habis pengaruh kelompok Manifes, serta buku-buku mereka dicoret dari daftar bacaan sastra untuk semua sekolah. Syukur hal ini belum sempat dilaksanakan dalam buku-buku pelajaran. Keadaan berbalik ketika pemberontakan G-30-S digagalkan. Dan sebagai lanjutannya, giliran buku-buku karangan penulis Lekra dilarang pula oleh Departemen P dan K hal yang pada prinsipnya tidak disetujui oleh pengarang-pengarang Manifes termasuk Hamka. Kilas balik itulah yang muncul dalam kepala saya saat Jassin dan Pramoedya berangkulan. Adakah kehadiran Pramoedya itu suatu pertanda baik? Adakah penerimaan Jassin suatu pertanda baik? Kita semua berharap begitu. Kita semua berharap, permintaan para seniman ketika berdialog dengan pemimpin Departemen P & K, untuk mempertimbangkan kembali larangan karya sastra Pramoedya dan buku-buku sastra umumnya, beberapa waktu lalu, diterima. Kita berharap, debat soal penilaian sastra makin tajam, tapi tak usah berakhir dengan larangan terhadap buku sastra ini dan itu, hingga tak perlu seseorang harus diadili hanya karena menjual buku-buku itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini