Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Eksplorasi Hitam-Putih

Abenk menghadirkan dualisme sekaligus mengeksplorasi sisi lain jati dirinya

15 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Abenk Alter berpose di depan salah satu karyanya yang dipamerkan dalam pameran bertajuk “Interplay”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan itu menyajikan garis membentuk mata, segitiga, tangan, dan seraut wajah seperti mengenakan serban. Di bawahnya terdapat tulisan “Bohemian Arabshody”, seperti pelesetan judul lagu milik Queen yang baru difilmkan, Bohemian Rhapsody.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada tarikan-tarikan garis yang memperlihatkan sebuah situasi kompleks dan rumit, tapi ada pula tarikan garis sederhana. Namun obyeknya tak terlalu memenuhi bidang gambar. Karya itu memperlihatkan figur atau sosok yang berhadapan atau mendua dengan segala kompleksitasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya ini adalah satu di antara 36 lukisan Rizki Rizaldi Ranadireksa dengan goresan garis yang mewujud dalam aneka bentuk tertentu di medium kertas. Karya-karya itu dipamerkan di Ruci Artspace, Blok S, Jakarta Selatan, mulai 14 Desember 2018 hingga 27 Januari 2019. Pameran yang dikuratori oleh Mia Maria ini dibingkai dalam tajuk “Interplay”.

Di bidang dinding lain, Abenk Alter, begitu ia biasa disapa, memasang sebuah karya dengan medium campuran, menonjolkan dominasi sebuah simbol cinta. Gambar hati itu bertebaran dengan teratur di antara bentuk-bentuk lukisan yang ditempel. Lewat karya ini, ia ingin menekankan validitas dan pengakuan tapi tak ingin terperangkap di dalamnya.

Hitam-putih, dualisme. Itulah yang mengemuka dari pameran tunggal Abenk, yang juga dikenal sebagai vokalis grup musik Soulvibe. Kali ini Abenk menampilkan karya-karyanya dalam warna hitam-putih. Pada pameran bersama sebelumnya, karya-karya Abenk ditemukan dalam beragam warna. Karya-karyanya disuguhkan dalam beragam medium: kertas, kanvas, dan instalasi.

Abenk menggiring persepsi dualitas atau kontroversi yang sering kita temui dalam keseharian. Itu dimulai di tangga menuju ruang pamer yang menjadi semacam “kata pembuka”. Di sana, ia menulis sejumlah kata yang memperlihatkan situasi berseberangan dalam kotak warna hitam-putih. Ada kiri-kanan, agree-disagree, Yin-Yang, konservatif-progresif, subcribe-unsubscribe, follow-unfollow, sinonim-antonim, tesis-antitesis, dan sebagainya.

Karya-karya yang dipamerkan itu sekaligus memperlihatkan ekplorasi dan proses menemukan sisi lain dirinya. Ini terlihat dalam 36 karya—semula hanya 24 lembar—yang dibuat dalam waktu satu jam. Ia menarik garis tanpa memikirkan sesuatu. “Ternyata saya happy juga, dan rupanya saya adalah tipe otomatis,” ujar seniman kelahiran Jakarta, 28 Februari 1985, itu.

Dari sinilah Abenk kemudian mengeksplorasi sisi lain dirinya lebih dalam dengan hitam-putih dan pola otomatis. Hal tersebut ia wujudkan dalam karya-karya lain. Di sana ia merasa harus bergulat dengan faktor-faktor internal dan eksternalnya, antara ego dan nurani. Ada kebimbangan yang harus terus berhadapan dan mesti diselesaikan.

Lebih jauh, ia lebih mempertegas dualitas dalam dua karya berukuran besar, sekitar 2x2 meter. Karya pertama, Inevitable Impact, ditempatkan di sebelah kiri, memperlihatkan pergulatan dalam kompleksitas dualitas. Ada upaya menuju keseimbangan, gradasi warna menjadi bentuk proses.

Lukisan kedua, Coincidentia Oppositorum, berada di kanan, kompleksitas yang sama tampak lebih matang dengan dominasi warna hitam. Bidang gambar penuh dengan obyek tanpa menyisakan sedikit pun ruang. Menurut Abenk, lukisan di kiri melukiskan sebuah situasi yang masih dalam pergolakan menuju keseimbangan. “Sedangkan yang kanan sudah lebih matang.”

Menariknya, di antara dua lukisan besar itu terdapat sebuah lukisan kecil. Masih dengan obyek dualitas dan tulisan Reconciliation with the Ego. Lukisan tersebut seperti menjadi jembatan bagi dua lukisan besar.

Dualitas atau kontroversi yang terus berhadapan tapi harus disatukan hingga mencapai titik harmoni juga diperlihatkan dalam karya berjudul In Dive. Ia menyatukan materi yang kuat dan rapuh—dalam karya yang dilukis di kertas tujuh lapis yang dibingkai kayu, kaca, serta besi yang memperlihatkan liukan atau tarikan garis. Karya itu hadir dalam sembilan frame yang mengacu pada suatu situasi perkembangan jiwa seperti diuraikan pemikir Sigmund Freud.

Abenk juga membuat instalasi neon yang meliuk-liuk di sebuah ruang gelap. Instalasi neon ini bergantian nyala-mati hingga pada suatu ketika memenuhi seluruh bidang. Namun, terlalu lama melihat instalasi ini akan memberi efek pada penglihatan dan agak membuat pusing. ***

DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus