PUKUL 5 pagi suara kentongan bertalu-talu. Penduduk Desa Kenteng
yang sudah terbiasa mendengar suara itu tetap nyenyak di tempat
tidur. Tapi suara kentongan itu dengan begitu saja membangunkan
seluruh penghuni kompleks Kursus Sosial Ekonomi Desa (KSED)
untuk siap bekerja tanpa sempat mandi.
Wanita berusia 62 tahun itu juga berada di antara mereka yang
sedang bekerja. Tapi ia hanya berdiri mengawasi dan
sekali-sekali memberi petunjuk. Emmy Miryam, wanita dengan
rambut dipotong pendek, pagi itu membimbing para peserta kursus
yang diadakannya untuk praktek pertanian di salah satu sudut
kompleks KSED.
Emmy adalah pendiri KSED. Mula-mula berpusat di Kota Semarang.
Tujuannya mendidik para pemudi khususnya yang tinggal di
pedesaan untuk menjadi wanita yang mampu berdiri sendiri. Tapi
karena kemudian bidang kegiatan meningkat, Emmy memindahkan
kegiatannya di Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan, Ambarawa.
Emmy memang dilahirkan di lingkungan keluarga yang aktif di
bidang pendidikan. "Kakek saya yang pertama-tama mendirikan
sekolah Tionghoa di Demak," kata anak ke-9 dari 10 bersaudara
putra Almarhum Tjan Kong Djan itu. Yang lebih penting
lagi--sebagaimana diakuinya sendiri -- "orang tua saya dekat
dengan orang miskin dan tidak membedakan keturunan Tionghoa dan
Indonesia," katanya.
Hampir seluruh penduduk Keca natan Bandungan mengenal Emmy,
paling tidak namanya. "Kalau naik kolt dari Ambarawa, sebut saja
nama Ibu Emmy, pasti diantar sampai di sini,"kata Lusiawati,
salah seorang guru di KSED. Ketenaran namanya mungkin karena
selain menjadi pimpinan umum KSED, wanita itu juga terkenal
sebagai dukun. Setiap Rabu dan Sabtu ia buka praktek untuk
segala macam penyakit. Pasiennya kadangkala mencapai 100 orang
sehari.
Emmy sendiri dengan rendah hati menyebut dirinya hanya seorang
wanita desa, karena dilahirkan di salah satu desa di pesisir
Demak. Meskipun para pembantunya menyebutnya sebagai suster,
dari balik kacamatanya wanita ini selalu menolak disebut
demikian. "Saya orang biasa, orang liar," katanya dengan
tersenyum. "Tapi saya memang punya semacam perkumpulan atau
keluarga yang terdiri dari pemudi-pemudi yang mau bekerja dengan
nama Pentebar Ragi Kristus (PRK)," katanya lehih lanjut.
PRK tersebutlah yang sebenarnya menjadi induk KSED pIus 2 buah
usaha sosial lain yang disebut Taman Gizi (TG) dan Taman
Kesehatan (TK). Sejak 1972 sebuah tim KSED mengunjungi rumah
penduduk pedesaan dan menyarankan agar datang membawa anak-anak
mereka ke TG atau TK. Kini setiap Senin dari jam 7.30 sampai jam
2 siang banyak penduduk yang memanfaatkannya. Di situ mereka
diberi beras, bulgur dan susu secara cuma-cuma. Menurut catatan
setiap hari hadir antara 100 sampai 150 orang pasien (85% balita
dan 15% dewasa) dengan keluhan macammacam: panas, pilek, flu,
mencret dan sebagainya. "Yang mengusahakan bahan makanan
cuma-cuma itu Ibu Emmy sendiri dengan bantuan Yayasan Bina
Sejahtera Cilacap," kata Lusiawati.
KSED diasuh oleh 4 tenaga dokter dari Semarang, 7 orang guru (2
tenaga penggerak pengembangan masyarakat, 2 ahli pengobatan alam
dan pelayanan gizi, 2 tenaga trampil dalam bidang usaha dan
seorang tenaga teknis usaha pekarangan dan peternakan). Emmy
sendiri sehari-hari memimpin seluruh kegiatan dalam kompleks
KSED.
Pelajaran yang diberikan di KSED meliputi teori dan praktek.
Teori misalnya: pertanian, peternakan, pendidikan seks, keluarga
berencana, dinamika kelompok dan sebagainya. Sedang yang
termasuk praktek kerja meliputi kegiatan kunjungan ke desa,
latihan bekerja kasar, masak-memasak dan sebagainya.
"Pelajaran yang paling menarik adalah sex education, empat jam
tidak mengantuk," kata seorang pengikut kursus dari Sumatera
Selatan. Mengapa ada pelajaran tentang seks? "Untuk mencegah
penyalahgunaannya," jawab Emmy.
Sebagai Dukun
Kursus berjalan dengan disiplin ketat: pukul 5 pagi kentongan
berbunyi, tanda harus bangun. Setengah jam kemudian ada praktek
pertanian selama satu jam. Kadang-kadang masih mengenakan celana
panjang dan baju dingin para peserta kursus berhamburan ke
lapangan di petak masing-masing. Setelah itu buru-buru mandi.
Satu setengah jam berikutnya setelah sarapan, membersihkan kamar
termasuk mencuci pakaian sendiri. Sesudah itu pelajaran dimulai
dengan diselingi waktu istirahat. Berakhir pada pukul 19.00.
Tiga jam kemudian ada doa bersama, selanjutnya dipersilakan
tidur.
Juli yang lalu, siswi-siswi Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial
(SMPS) "Tarakanita" Yogyakarta sebanyak 38 orang baru saja
menyelesaikan kursus di KSED. "Biasanya kalau instansi atau
lembaga yang mengirim, yang membayar ongkos kursus adalah
instansi bersangkutan, " kata Lusiawati. Biayanya 40 ribu per
bulan untuk tiap orang. Tapi kalau betul-betul tidak mampu,
hanya akan ditarik 25% saja. Ada juga yang gratis, yakni
penduduk Desa Kenteng, tempat bercokol kursus itu. Sejak adanya
KSED, desa tersebut telah memiliki 6 orang kader lulusan KSED.
"Banyak manfaat yang saya peroleh dari kursus di situ," ungkap
seorang siswi SMPS "Tarakanita" Yogya yang pernah kursus di
KSED. "Dan saya siap mempraktekkan semua pelajaran yang saya
dapat."
"Sejak usia muda saya memang sudah senang pada usaha sosial,"
kata Emmy, wanita yang belum menikah itu. Setelah lulus dari
Sekolah Guru Atas (SGA) ia bergulat dengan pekerjaan tersebut,
Membuka kursus latihan kerja, mengunjungi Paroki-paroki. la
mempunyai Biro Antar Kerja, untuk mencari pekerjaan buat para
wanita. Sayang sekali usaha tersebut kemudian berhenti setelah
ia pindah ke Desa Kenteng untuk memimpin kompleks KSED.
"Apa yang menjadi kekhususan KSED adalah usaha menyesuaikan
keadaan dan kebutuhan desa, serta menyesuaikannya dengan
perkembangan zaman dan jiwa desa," Emmy menuturkan. "Pokoknya
mempersiapkan kader-kader untuk masyarakat." Ia tidak ingat lagi
berapa orang kader yang sudah ditempanya. Pokoknya dalam satu
tahun ada 3 sampai 4 angkatan masing-masing 20 sampai 40 orang.
Ia mengaku sebenarnya kurang senang kalau pengikut kursus adalah
orang kota. "Karena jiwa mereka kurang menghayati desa,"
ungkapnya. "Tapi yang dikirim ke mari melalui instansi dari PKK
provinsi misalnya adalah anak-anak kota. Sebetulnya kami lebih
senang orang desa dan kembali ke desanya sendiri."
Tentang praktek dukunnya Emmy mengakui sebagai kerja yang cukup
melelahkan. Tapi, katanya, ia lakukan semua itu karena
dibutuhkan masyarakat. "Saya sendiri tidak menamakan diri saya
ahli, sama sekali tidak. Saya hanya berdasarkan pengalaman, bila
diperlukan saya layani, kebanyakan yang berobat datang dari
kota," ujarnya.
Praktek pengobatannya itu mulai pukul 7 pagi, baru berakhir
pukul 7 malam. Ia lebih banyak menggunakan wawancara dan
obat-obatan tradisional. Banyak di antara pasiennya yang terkena
tekanan jiwa dan sebetulnya hanya memerlukan nasihat-nasihat.
Kadangkala ada yang lucu. Misalnya kalau seorang tukang becak
muncul membawa sakit lever. Kalau hanya diobati tanpa disertai
istirahat akan percuma. Lalu Emmy memberi uang untuk membeli
beras agar si sakit itu bisa beristirahat. Kalau sudah begitu,
soal pembayaran memang jadi tak penting. Bayar penuh, setengah
bayar atau tidak bayar memang tidak dipersoalkan oleh wanita
itu.
Emmy gembira sekali bahwa usaha TG kini mendapat sambutan yang
menggembirakan dari warga desa-desa sekitarnya. Banyak di antara
mereka yang datang dari desa-desa pelosok dengan berjalan kaki.
"Kadang-kadang ada yang datang dari Semarang, Ungaran dan
sebagainya, walaupun kepada mereka sudah dijelaskan bahwa TG ini
untuk orang desa, toh penduduk kota tetap sering datang, jadi
tak sampai hati kalau ditolak," kata wanita itu. Semua
pengunjung TG hanya dipersilakan mengisi kotak sumbangan sebagai
pembayaran.
TG bekerjasama dengan Puskesmas, dokter dan poliklinik. Kalau
ada pasien yang membutuhkan pengobatan medis, TG langsung
mengirimkannya ke Puskesmas, dokter, poliklinik atau rumah
sakit. "Tapi sering poliklinik atau rumah sakit menitip
pasiennya di TG," kata Emmy.
Ia tampaknya sudah cukup puas dengan usahanya sekarang. Tidak
ada keinginannya untuk meluaskannya lagi. "Biarlah usaha
kecil-kecilan ini sebagai suatu eksperimen untuk memberi
kesaksian pada instansi lain agar berbuat demikian," ungkapnya.
"Sederhana tapi dapat diterima baik dan bermanfaat. Saya percaya
karena berkat Tuhan maka usaha ini bisa begini."
Kendati KSED milik Katolik, menurut pengakuan Emmy Miryam, tidak
mengemban misi agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini