Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Emmy Miryam Di Sebuah Desa

Emmy miryam pendiri kursus sosial ekonomi desa (ksed) di ambarawa belum menikah. ia tinggal di desa, mendidik wanita dalam berbagai ketrampilan. ia juga terkenal sebagai dukun.

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 5 pagi suara kentongan bertalu-talu. Penduduk Desa Kenteng yang sudah terbiasa mendengar suara itu tetap nyenyak di tempat tidur. Tapi suara kentongan itu dengan begitu saja membangunkan seluruh penghuni kompleks Kursus Sosial Ekonomi Desa (KSED) untuk siap bekerja tanpa sempat mandi. Wanita berusia 62 tahun itu juga berada di antara mereka yang sedang bekerja. Tapi ia hanya berdiri mengawasi dan sekali-sekali memberi petunjuk. Emmy Miryam, wanita dengan rambut dipotong pendek, pagi itu membimbing para peserta kursus yang diadakannya untuk praktek pertanian di salah satu sudut kompleks KSED. Emmy adalah pendiri KSED. Mula-mula berpusat di Kota Semarang. Tujuannya mendidik para pemudi khususnya yang tinggal di pedesaan untuk menjadi wanita yang mampu berdiri sendiri. Tapi karena kemudian bidang kegiatan meningkat, Emmy memindahkan kegiatannya di Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan, Ambarawa. Emmy memang dilahirkan di lingkungan keluarga yang aktif di bidang pendidikan. "Kakek saya yang pertama-tama mendirikan sekolah Tionghoa di Demak," kata anak ke-9 dari 10 bersaudara putra Almarhum Tjan Kong Djan itu. Yang lebih penting lagi--sebagaimana diakuinya sendiri -- "orang tua saya dekat dengan orang miskin dan tidak membedakan keturunan Tionghoa dan Indonesia," katanya. Hampir seluruh penduduk Keca natan Bandungan mengenal Emmy, paling tidak namanya. "Kalau naik kolt dari Ambarawa, sebut saja nama Ibu Emmy, pasti diantar sampai di sini,"kata Lusiawati, salah seorang guru di KSED. Ketenaran namanya mungkin karena selain menjadi pimpinan umum KSED, wanita itu juga terkenal sebagai dukun. Setiap Rabu dan Sabtu ia buka praktek untuk segala macam penyakit. Pasiennya kadangkala mencapai 100 orang sehari. Emmy sendiri dengan rendah hati menyebut dirinya hanya seorang wanita desa, karena dilahirkan di salah satu desa di pesisir Demak. Meskipun para pembantunya menyebutnya sebagai suster, dari balik kacamatanya wanita ini selalu menolak disebut demikian. "Saya orang biasa, orang liar," katanya dengan tersenyum. "Tapi saya memang punya semacam perkumpulan atau keluarga yang terdiri dari pemudi-pemudi yang mau bekerja dengan nama Pentebar Ragi Kristus (PRK)," katanya lehih lanjut. PRK tersebutlah yang sebenarnya menjadi induk KSED pIus 2 buah usaha sosial lain yang disebut Taman Gizi (TG) dan Taman Kesehatan (TK). Sejak 1972 sebuah tim KSED mengunjungi rumah penduduk pedesaan dan menyarankan agar datang membawa anak-anak mereka ke TG atau TK. Kini setiap Senin dari jam 7.30 sampai jam 2 siang banyak penduduk yang memanfaatkannya. Di situ mereka diberi beras, bulgur dan susu secara cuma-cuma. Menurut catatan setiap hari hadir antara 100 sampai 150 orang pasien (85% balita dan 15% dewasa) dengan keluhan macammacam: panas, pilek, flu, mencret dan sebagainya. "Yang mengusahakan bahan makanan cuma-cuma itu Ibu Emmy sendiri dengan bantuan Yayasan Bina Sejahtera Cilacap," kata Lusiawati. KSED diasuh oleh 4 tenaga dokter dari Semarang, 7 orang guru (2 tenaga penggerak pengembangan masyarakat, 2 ahli pengobatan alam dan pelayanan gizi, 2 tenaga trampil dalam bidang usaha dan seorang tenaga teknis usaha pekarangan dan peternakan). Emmy sendiri sehari-hari memimpin seluruh kegiatan dalam kompleks KSED. Pelajaran yang diberikan di KSED meliputi teori dan praktek. Teori misalnya: pertanian, peternakan, pendidikan seks, keluarga berencana, dinamika kelompok dan sebagainya. Sedang yang termasuk praktek kerja meliputi kegiatan kunjungan ke desa, latihan bekerja kasar, masak-memasak dan sebagainya. "Pelajaran yang paling menarik adalah sex education, empat jam tidak mengantuk," kata seorang pengikut kursus dari Sumatera Selatan. Mengapa ada pelajaran tentang seks? "Untuk mencegah penyalahgunaannya," jawab Emmy. Sebagai Dukun Kursus berjalan dengan disiplin ketat: pukul 5 pagi kentongan berbunyi, tanda harus bangun. Setengah jam kemudian ada praktek pertanian selama satu jam. Kadang-kadang masih mengenakan celana panjang dan baju dingin para peserta kursus berhamburan ke lapangan di petak masing-masing. Setelah itu buru-buru mandi. Satu setengah jam berikutnya setelah sarapan, membersihkan kamar termasuk mencuci pakaian sendiri. Sesudah itu pelajaran dimulai dengan diselingi waktu istirahat. Berakhir pada pukul 19.00. Tiga jam kemudian ada doa bersama, selanjutnya dipersilakan tidur. Juli yang lalu, siswi-siswi Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS) "Tarakanita" Yogyakarta sebanyak 38 orang baru saja menyelesaikan kursus di KSED. "Biasanya kalau instansi atau lembaga yang mengirim, yang membayar ongkos kursus adalah instansi bersangkutan, " kata Lusiawati. Biayanya 40 ribu per bulan untuk tiap orang. Tapi kalau betul-betul tidak mampu, hanya akan ditarik 25% saja. Ada juga yang gratis, yakni penduduk Desa Kenteng, tempat bercokol kursus itu. Sejak adanya KSED, desa tersebut telah memiliki 6 orang kader lulusan KSED. "Banyak manfaat yang saya peroleh dari kursus di situ," ungkap seorang siswi SMPS "Tarakanita" Yogya yang pernah kursus di KSED. "Dan saya siap mempraktekkan semua pelajaran yang saya dapat." "Sejak usia muda saya memang sudah senang pada usaha sosial," kata Emmy, wanita yang belum menikah itu. Setelah lulus dari Sekolah Guru Atas (SGA) ia bergulat dengan pekerjaan tersebut, Membuka kursus latihan kerja, mengunjungi Paroki-paroki. la mempunyai Biro Antar Kerja, untuk mencari pekerjaan buat para wanita. Sayang sekali usaha tersebut kemudian berhenti setelah ia pindah ke Desa Kenteng untuk memimpin kompleks KSED. "Apa yang menjadi kekhususan KSED adalah usaha menyesuaikan keadaan dan kebutuhan desa, serta menyesuaikannya dengan perkembangan zaman dan jiwa desa," Emmy menuturkan. "Pokoknya mempersiapkan kader-kader untuk masyarakat." Ia tidak ingat lagi berapa orang kader yang sudah ditempanya. Pokoknya dalam satu tahun ada 3 sampai 4 angkatan masing-masing 20 sampai 40 orang. Ia mengaku sebenarnya kurang senang kalau pengikut kursus adalah orang kota. "Karena jiwa mereka kurang menghayati desa," ungkapnya. "Tapi yang dikirim ke mari melalui instansi dari PKK provinsi misalnya adalah anak-anak kota. Sebetulnya kami lebih senang orang desa dan kembali ke desanya sendiri." Tentang praktek dukunnya Emmy mengakui sebagai kerja yang cukup melelahkan. Tapi, katanya, ia lakukan semua itu karena dibutuhkan masyarakat. "Saya sendiri tidak menamakan diri saya ahli, sama sekali tidak. Saya hanya berdasarkan pengalaman, bila diperlukan saya layani, kebanyakan yang berobat datang dari kota," ujarnya. Praktek pengobatannya itu mulai pukul 7 pagi, baru berakhir pukul 7 malam. Ia lebih banyak menggunakan wawancara dan obat-obatan tradisional. Banyak di antara pasiennya yang terkena tekanan jiwa dan sebetulnya hanya memerlukan nasihat-nasihat. Kadangkala ada yang lucu. Misalnya kalau seorang tukang becak muncul membawa sakit lever. Kalau hanya diobati tanpa disertai istirahat akan percuma. Lalu Emmy memberi uang untuk membeli beras agar si sakit itu bisa beristirahat. Kalau sudah begitu, soal pembayaran memang jadi tak penting. Bayar penuh, setengah bayar atau tidak bayar memang tidak dipersoalkan oleh wanita itu. Emmy gembira sekali bahwa usaha TG kini mendapat sambutan yang menggembirakan dari warga desa-desa sekitarnya. Banyak di antara mereka yang datang dari desa-desa pelosok dengan berjalan kaki. "Kadang-kadang ada yang datang dari Semarang, Ungaran dan sebagainya, walaupun kepada mereka sudah dijelaskan bahwa TG ini untuk orang desa, toh penduduk kota tetap sering datang, jadi tak sampai hati kalau ditolak," kata wanita itu. Semua pengunjung TG hanya dipersilakan mengisi kotak sumbangan sebagai pembayaran. TG bekerjasama dengan Puskesmas, dokter dan poliklinik. Kalau ada pasien yang membutuhkan pengobatan medis, TG langsung mengirimkannya ke Puskesmas, dokter, poliklinik atau rumah sakit. "Tapi sering poliklinik atau rumah sakit menitip pasiennya di TG," kata Emmy. Ia tampaknya sudah cukup puas dengan usahanya sekarang. Tidak ada keinginannya untuk meluaskannya lagi. "Biarlah usaha kecil-kecilan ini sebagai suatu eksperimen untuk memberi kesaksian pada instansi lain agar berbuat demikian," ungkapnya. "Sederhana tapi dapat diterima baik dan bermanfaat. Saya percaya karena berkat Tuhan maka usaha ini bisa begini." Kendati KSED milik Katolik, menurut pengakuan Emmy Miryam, tidak mengemban misi agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus