Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ini Tidak, Itu Ogah

Pengusaha apotek menolak PP 25 (terminal apotek) peraturan itu akan mengakhiri izin usaha. mereka akan menerima PP itu bila ada revisi yang menjamin peranan badan usaha swasta dalam bidang perapotekan.

25 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pengusaha apotek menolak PP 25 tentang perapotekan. Karena peraturan itu akan mengakhiri izin usaha mereka. Dalam Rapat Kerja Nasional Gabungan Pengusaha Farmasi Seluruh Indonesia, 16 Oktober, peserta menyatakan keberatan terhadap peraturan tersebut. "Kami menerima PP itu kalau ada revisi yang menjamin peranan badan usaha swasta dalam bidang perapotekan," kata Ketua Umum GPFSI Pusat, Drs. Sudirman selesai rapat yang berlangsung di Hotel Sari Pasific, Jakarta. Pengusaha punya alasan untuk meminta sesuatu perubahan. Karena menurut mereka PP yang baru itu tidak sejalan dengan UU No. 9/1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan dan UU No. 7/1963 tentang farmasi yang menjamin partisipasi swasta. Namun untuk mengubah peraturan pemerintah mengenai perapotekan ini nampaknya memang musykil. "Tapi inilah suara anggota," ujar Sudirman. Sudirman yang adalah juga Direktur PT Tempo, produsen obat pusing kepala Bodrex, tak yakin keputusan rakernas akan membawa hasil. Ia sendiri dalam rapat mengajukan suara yang agak luwes, supaya pemerintah menjamin eksistensi pemodal. Menurut dia, apoteker sebagai pengelola tidak harus otomatis menjadi pemilik apotek. Dan kompensasi pengelolaan apotek berupa keuntungan, tetap dipertahankan. Tuan Rumah Soal yang terakhir itu rupanya sebagai reaksi terhadap keterangan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes, Dr. Midian Sirait di Press Club, 14 Oktober. Midian menyebutkan keuntungan apotek tidak lagi akan sebesar seperti sekarang ini, di mana apotek bisa mengambil keuntungan sampai 30% sesuai dengan patokan Harga Eceran Tertinggi. Keuntungan itu hanya sekedar untuk menutup "biaya pengelolaan saja" Karena dengan PP itu apotek bukan lagi tempat berdagang, tapi tempat menjalankan profesi apoteker. PP 25 memang tidak "mengusir" pemodal. Dan Midian Sirait, dalam berbagai kesempatan menerangkan bahwa apoteker sebagai pengelola tidak harus berarti dialah pemiliknya. Sekalipun pemerintah lebih senang kalau apoteker bisa sekaligus menjadi pemilik. "Bisa saja pemodal bekerja sama dengan apoteker," katanya. Tetapi pihak pengusaha kelihatannya kurang tertarik dengan kerjasama itu. "Masakan orang yang dulu jadi tamu, sekarang menjadi tuan rumah kita?" cetus seorang pemilik apotek di Jakarta. Mungkin alasan utama mereka keuntungan sekarang ini sudah tipis, kurang dari 8%, apalagi kalau harus berbagi dengan apoteker. Untuk membujuk pemilik modal jangan meninggalkan samasekali perdagangan obat-obatan, Midian Sirait menawarkan satu lapangan baru buat mereka : Terminal obat-obatan. Terminal ini, adalah semacam penyalur baru dalam distribusi obat-obatan. Kalau selama ini Pedagang Farmasi yang mensuplai apotek, maka akan muncul pula perantara. "Penambahan mata rantai distribusi itu akan diusahakan sedemikian rupa tidak mempengaruhi harga," katanya. Putus Asa Tetapi tawaran itu pun tak bersambut. Karena terminal itu nantinya akan merupakan usaha bersama dari beberapa pemilik modal. Pemilik apotek lebih senang berusaha sendiri-sendiri. Sedangkan Sudirman menganggap jalan keluar itu kurang menarik. "Sebab kalau pengusaha semua masuk ke terminal itu bisa sesak," katanya. Tidak itu saja, Ketua GPFSI tersebut juga mengharapkan jika kerjasama itu toh akan ditempuh, maka harus ada UU yang mendasarinya. "Tanpa UU dalam kerjasama itu nanti pengusaha akan tetap berada dalam posisi yang dirugikan seandainya terjadi perselisihan. Harus ada ketentuan tentang periode transisi yang cukup longgar bagi pemodal untuk mencari partner apoteker lain, seandainya apoteker yang lama meninggalkan kami," ulasnya. Beberapa pemilik apotek nampaknya seperti putus asa. "Andainya tak ada jalan keluar, saya akan menutup apotek ini. Segala sesuatu yang menyangkut karyawan dan lain-lain saya serahkan kepada Menteri Kesehatan," kata Ibrahim Madylao, pemilik Apotek Gajah, Jalan Saharjo, Jakarta. Tapi rekannya A. Sudewo dari Apotek Edi, Surabaya, optimis kalau "pemerintah dengan PP 25 itu tak bermaksud mematikan apotek." Tapi semua masih harus menunggu Peraturan Pelaksanaan PP tersebut yang konon akan dikeluarkan Menkes November depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus