ANAK tukang engsel kereta api yang dilahirkan di Lyon, Prancis
Selatan (51 tahun lalu) itu, terengah-engah. Sekuat tenaga ia
mengangkat sebuah halter sampai di pundak. Tapi mendadak ia
menurunkan kedua tangan, mengeringkan keringat dengan
menggosok-gosokkan kedua telapak, lalu mengangkat kembali halter
yang ternyata-sialan--tetap mengambang di pundaknya. Tentu saja
para penonton tergelak.
Pradel, dengan ke-10 sketsanya, memang berhasil menjanjikan
kesegaran kepada penontonnya di Teater Tertutup TIM 13-14
Oktober. Antara lain dengan "humor-kejut"-nya seperti dalam
Pengangkat Halter tadi, seluruh pertunjukannya mengasyikkan. Dan
hampir tak memberi beban apa pun.
Ayah seorang anak perempuan ini (hasil perkawinannya 6 tahun
lalu dengan seorang wanita senegeri), memang lebih merupakan
seorang realis yang akrab dengan kehidupan sehari-hari. Dan
humor, diakuinya, adalah bagian dari kepribadiannya.
Ia tidak merokok, tidak minum alkohol. Mengaku sangat menggemari
cewek. Dan berpendapat:."Di dunia modern yang sangat tidak lucu
ini, lelucon menjadi suatu kebutuhan yang penting. Dan tubuh
Pradel yang kecil, kempal, rambut panjang tipis dan agak botak,
hidung panjang di tengah wajah yang lancip, merupakan sosok yang
klop dengan kebutuhan yang penting itu--dengan ujud
tokoh-tokohnya yang karikatural.
Dalam nomor Cowboy misalnya. Dengan mudah sosok itu menjadi
koboi cengeng yang banyak tingkah. Menjerat kuda dengan laso
tapi mendapat seekor serangga, yang segera ditembaknya dengan
kesal tapi sesudah itu ditangisinya. Ia bersembahyang untuk
binatang itu. Dan semuanya muncul dengan kocak. Apalagi ketika
suatu saat, sesudah menghentikan kuda, seenaknya saja ia
memasukkan rem-tangan bagai sedang menyetir mobil.
Tokoh-tokoh Pradel semuanya memang konyol--atau menjadi konyol
karena ketakberdayaan mengatasi keadaan. Tapi nomor puncaknya
ternyata Latihan Orkestra. Tentang seorang dirigen yang kesal
dan putus asa sampai ingin membelah perutnya sendiri -- karena
para pemain orkesnya tidak pada becus. Kebenciannya kepada
penggesek selo yang loyo begitu luar biasa sehingga bagai
dirasuki dendam-kesumat berkalikali ia melecehkannya. Caranya:
ia menirukan gerak anak buahnya itu dengan mimik yang tak
kepalang menjijikkannya. Peniup trombon dan pemain piano juga
jadi bulan-bulanan, dan para korban--meskipun Pradel hanya
sendirian di pentas -- tampak menjadi gemetar, pucat dan sakit
hati.
Pantomim pada pokoknya memang seni upaya menghadirkan sesuatu
yang tak ada. Dan Pradel, yang sudah 25 tahun bergerak di bidang
itu, main di sekitar 85 negara, memang sangat berhasil meski
tidak untuk seluruh sketsa.
Klasik & Kolot
Rambut, Drakula, Lukisan Pisau misalnya, bukanlah nomor-nomor
yang berarti malah mungkin tak perlu. Dan nomor-nomor Selektor
Bunyi Elektronik, Kecemasan dan Pintu-pintu, belum kempal benar.
Berbeda dengan Marcel Marceau -orang Prancis yang selama ini
dikenal sebagai tokoh pantomim besar--Pradel bukanlah akademikus
yang terikat berbagai teori. Ia otodidak. Dan meski Marceau
dikaguminya, ia menyebutnya "sudah ketinggalan zaman." Dengan
topeng bedaknya yang tebal dan gerakan-gerakannya, Marceau
"klasik dan kolot," katanya.
Dan kalau Marceau bersedia mengurbankan segala-galanya demi
pantomim, Pradel tidak. Ia main sesukanya, tanpa topeng dan
dengan kostum sederhana. "Pernah selama bertahun-tahun saya main
dengan celana jeans," katanya.
Tapi kalau benar yang dikatakannya kepada TEMPO, bahwa
sketsa-sketsanya yang terbaru berada dalam satu warna dengan
Kecemasan yangPanjang dan Pintu pintu --- yang lahir dari
kontras hiruk-pikuk dunia modern dengan "kehidupan dalam"--satu
faset baru.
Mungkin ia akan menjadi aktor pantomim dengan pesan-pesan yang
"besar." Mungkin juga pertunjukannya hanya menjadi "olahraga"
bagi diri Pradel sendiri, sebagaimana diucapkan aktor yang
mengaku tak pernah gerak badan kecuali main pantomim itu.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini