Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gudang itu terletak di bagian belakang Gereja Bintaran, Yogyakarta. Luasnya dua kali lapangan tenis. Salah satu bagian dulu merupakan kamar Uskup Soegijapranata. Pada Desember tahun lalu, gudang dan gereja itu dibongkar sutradara Garin Nugroho untuk menghadirkan kembali suasana gereja tempo dulu.
Bangku-bangku dikeluarkan. Lampu, pengeras suara, hingga kipas angin dicopot dari dinding. Hanya altar dan 14 lukisan jalan salib yang tersisa. "Pembongkarannya seminggu. Memasangnya kembali malah lebih susah, sampai tiga minggu," kata F. Suharto, kepala urusan sarana dan prasarana di Dewan Paroki Bintaran, kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu.
Hasilnya dapat Anda saksikan dalam film Soegija. Pastor Albertus Soegijapranata tercenung di sebuah kamar di Gereja Santo Yusup Bintaran, Yogyakarta. Tangannya menggenggam secarik kertas, sebuah pesan dari Vatikan bahwa dia ditunjuk sebagai uskup yang memimpin Vikariat Apostolik Semarang, lembaga gereja baru yang akan menangani urusan misi Katolik di sekitar Jawa Tengah.
Telegram itu dikirim pada 1 Agustus 1940 oleh Kardinal Montini, pembesar Kongregasi Propaganda Fide—lembaga yang dirintis Paus Gregorius XV untuk mengatur kerja misionaris dari berbagai institusi keagamaan. Uskup Batavia Mgr Willekens diminta menahbiskan Soegijapranata tanpa surat keputusan Paus.
Perang Dunia II yang sedang berkobar tampaknya memaksa Vatikan mengambil tindakan segera. Keputusan itu berarti mengangkat Soegija sebagai uskup pribumi pertama di kawasan Hindia Belanda. Tapi apakah orang Belanda mau mencium cincin di jari seorang uskup pribumi? Mengapa Vatikan memilih Soegija, yang masih muda, baru 44 tahun?
Menurut pasangan suami-istri pengurus Gereja Bintaran, seperti diuraikan dalam buku Soegija, Si Anak Betlehem van Java karya Romo G. Budi Subanar, saat itu sang pastor tampak kebingungan dan berbicara sendiri, yang tak jelas maksudnya. Soegija kemudian meminta pengurus gereja itu membuat "soto", sebutan Soegija untuk semacam sup jagung buatan ibunya. "Kalian belum pernah lihat uskup makan soto, ya?" begitu kira-kira katanya waktu itu.
Tak ada adegan Soegija makan soto dalam film Soegija karya Garin Nugroho, yang akan beredar di bioskop pada awal Juni mendatang. Tapi adegan sang calon uskup duduk tercenung muncul di bagian awal.
Soegija adalah padri Serikat Jesus, pendidik, dan jurnalis yang akrab dipanggil Romo Kanjeng, resmi diangkat jadi uskup pada 6 November 1940. Dia dilahirkan di Surakarta pada 25 November 1896 di lingkungan keluarga Islam kejawen. Dia anak kelima dari sembilan bersaudara di keluarga Karijosoedarmo. Pada masa itu tingkat kematian bayi masih tinggi, dan banyak saudaranya yang meninggal. Agar Soegija hidup sehat, orang tuanya "membuangnya ke tempat sampah", tradisi yang lazim dijalankan orang Jawa pada masa itu.
Bapaknya adalah abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta dan pengikut pujangga Ranggawarsita. Ibunya seorang pedagang kecil. Orang tua Soegija melatih anak-anaknya laku prihatin, seperti sesirik (berpantang), ngrowot (hanya makan ubi-ubian), dan mutih (hanya mengkonsumsi nasi putih dan air putih). Dia juga puasa sebulan penuh pada bulan Ramadan. Bapaknya mengajarinya menyanyikan tembang-tembang Jawa, tapi Soegija menolak ketika diajari menari. Ketika Soegija masih muda, keluarganya pindah ke Kampung Ngabean di sebelah barat kompleks Keraton Yogyakarta.
Pada masa itu strategi penyiaran Katolik di Jawa sedang berubah, yang dipelopori Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith dan berbasis di Muntilan, Jawa Tengah. Van Lith menekankan pentingnya sekolah berasrama dan menjadikan Muntilan sebagai pusat misi Jawa. Dia juga rajin berkeliling Yogyakarta dan Solo mencari murid. Atas ajakan Van Lith, Soegija bersekolah di Kolese Xaverius, yang didirikan Van Lith di Muntilan. Pada mulanya Soegija tak mau masuk Katolik dan hanya ingin bersekolah, tapi belakangan ia dibaptis oleh Pastor Meltens SJ dengan nama permandian Albertus Magnus pada Natal 1909.
Karena ingin menjadi imam, Soegija lalu melanjutkan studi filsafat dan teologi di Belanda pada 1920-1932. Ia juga memiliki minat besar pada dunia jurnalistik. Pengalaman rohaninya ia tulis dalam beberapa majalah, seperti St. Claverbond, Berichten uit Java, dan Swaratama. Setahun menjelang akhir studi di Belanda, pada 15 Agustus 1931, Soegija bersama Michael Reksoatmadja, pastor dari Jawa, ditahbiskan sebagai imam Jesuit. Kembali ke Indonesia, Soegija bekerja di Paroki Bintaran. Tepat pada 6 November 1940, dia ditahbiskan sebagai uskup oleh Uskup Willekens di Gereja Randusari, yang kemudian berfungsi sebagai Gereja Katedral Semarang.
Anhar Gonggong, sejarawan penulis Mgr. Albertus Soegijapranata: Antara Gereja dan Negara, menyatakan Soegija sering menghadapi situasi dilematis dalam keadaan krisis. "Dia hidup dalam suatu masa penjajahan Belanda, ketika masyarakat pribumi Indonesia menganggap Kristen itu Belanda dan dia adalah seorang uskup," kata dia.
Dalam situasi semacam itulah Soegija harus memimpin keuskupan Semarang. Masalah makin rumit ketika tentara Jepang mendarat di pelabuhan Semarang pada 1 Maret 1942 dan mulai menjarah dan menduduki berbagai gedung, termasuk milik gereja. Soegija berusaha mempertahankan dengan berbagai cara. Misalnya, ketika Pastoran Atmodirono hendak diambil alih Jepang, dia meminta siapa saja untuk mengisi kamar-kamar di sana. Beberapa kamar yang masih kosong dipasangi nama-nama imam dan namanya juga di pintunya. Ketika Jepang meminta Gereja Gedangan karena membutuhkan tempat yang lebih luas, seperti dipaparkan dalam buku Budi Subanar, Soegija berkilah: "Gedung-gedung bioskop itu kan cukup luas dan tempatnya pun tentu tidak dapat tidak strategis."
Di bawah penjajahan Jepang, semua misionaris Belanda dibui. Beberapa rohaniÂwan Katolik yang bukan Belanda juga ditahan. Lebih dari 200 rohaniwan meninggal pada masa itu (Lihat "Para Martir di Masa Krisis"). Soegija berusaha sebisa mungkin membantu mereka dari luar tahanan.
Romo Soegija juga kehilangan sebagian besar pembantunya, tapi tetap memberi pelayanan di Gedangan, yang saat itu menjadi induk gereja di Semarang. Jepang juga memaksa gereja tunduk kepada pemerintah Jepang, tapi Soegija menjelaskan perihal hierarki dari Paus, vikariat, sampai paroki, dan memperlihatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Kaisar Jepang. Karena Vikariat Apostolik Semarang ada di bawah wewenang Vatikan, yang memiliki perjanjian khusus dengan Kaisar Jepang, gereja tidak perlu tunduk kepada Jepang.
Belum genap setahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, pusat pemerintahan harus pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Soegija memutuskan memindahkan keuskupan ke Yogyakarta pada 13 Februari 1947 dan tinggal di Pastoran Bintaran. Keputusan Soegija ini juga menjadi pesan kepada pemerintah Belanda bahwa ia, sebagai pemimpin umat Katolik, telah memihak Indonesia. Keputusan itu juga menunjukkan bahwa Katolik, yang selama ini dipandang sebagai agama kaum penjajah oleh pribumi Indonesia, dapat diterima oleh orang Indonesia.
Pada saat itulah ia mengeluarkan seruan bagi umat Katolik: "Jika kita sungguh-sungguh Katolik sejati, kita sekaligus patriot sejati. 100% patriot justru karena kita adalah 100% Katolik.... Berikanlah kepada kaisar apa saja yang menjadi hak kaisar, dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah."
Ketua The Soegijapranata Institute di Semarang, Agustinus M.S. Darmawan, menyatakan moto "100% Katolik, 100% Indonesia" itu secara tertulis termaktub dalam sambutan Soegija dalam Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia di Semarang pada Desember 1954. Namun sebetulnya gagasan tersebut sering disampaikan dengan berbagai cara oleh Soegija jauh sebelum kemerdekaan. "Ungkapan tersebut hanya penegasan ulang," katanya.
Menurut Anhar, sikap itu menunjukkan bagaimana Soegija mempertaruhkan kepemimpinannya dengan mengambil keputusan dalam situasi kritis. Tapi itu juga menggambarkan bahwa Soegija bukanlah pemimpin biasa. "Dia adalah sosok yang 'aneh', karena melakukan penyimpangan dari kelaziman sebagai seorang uskup," kata Anhar.
Sebagai uskup, kata Anhar, Soegija adalah pemimpin umat Katolik, yang dapat saja tetap bertahan di Semarang. "Tapi tampak jelas bahwa Soegija juga seorang nasionalis. Dan itu membuatnya mengambil tindakan yang keluar dari posisinya sebagai pemimpin agama," kata sejarawan di Universitas Atma Jaya Jakarta itu.
Cara berpolitik Soegija juga berbeda. Menurut Subanar, Soegija disebut menjalankan silent diplomacy, diplomasi sunyi: dia menjalin hubungan yang sangat baik dengan tokoh politik seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, tapi memang sangat tidak tampak mata. "Soegija adalah orang Jawa yang bisa membujuk Vatikan agar bersedia berkomunikasi dengan Republik. Dia juga menemui Sjahrir untuk mengukuhkan hubungan antara Gereja Katolik dan gerakan nasionalis Indonesia," kata pengajar Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu. Vatikan kemudian menjadi salah satu negara di Eropa yang pertama mengakui kedaulatan Republik Indonesia, yang ditandai dengan pembukaan misi diplomatik di Jakarta pada 1947.
Soegija juga berhubungan dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Komunikasi mereka melalui kurir bernama Suwandi. "Dengan cara itulah, misalnya, Soegija dapat mengusulkan kepada Sultan agar tidak usah ikut keluar dari keraton saat terjadi agresi militer Belanda pada Desember 1948," kata Subanar.
Salah satu langkah diplomatis terkenal yang diambil Soegija adalah bagaimana dia menghentikan perang yang disebut Pertempuran Lima Hari di Semarang pada Oktober 1945. Saat itu pecah perang antara gerilyawan Republik dan pasukan Jepang. Soegija berhasil memancing pemimpin pasukan Jepang membocorkan rencana Jepang untuk membunuh para pejuang dengan memancing mereka masuk perangkap pada 20 Oktober malam. Ketika siangnya para komandan pasukan Sekutu, yang baru mendarat di Semarang, bertamu ke Pastoran Gedangan, Soegija lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk mengundang pemimpin pasukan Jepang ke sana dan merundingkan penghentian pertempuran yang sudah berlangsung lima hari itu.
Soegija juga memberikan dukungan penuh kepada dwitunggal Sukarno-Hatta dan aktif berdiskusi dengan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Ketika pengaruh komunis melalui Partai Komunis Indonesia menguat pada 1950-an, Soegija membuat organisasi tandingan bagi kalangan bawah Katolik, seperti buruh dan nelayan. Dia membentuk organisasi itu pada 1954 dengan nama Organisasi Buruh Pancasila. Sejak itu mulai berkembang organisasi sosial yang dibentuk oleh umat Katolik di seluruh wilayah keuskupan Semarang, yang uniknya semuanya memakai nama "Pancasila", bukan "Katolik".
Soegija juga salah satu organisator Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia bersama I.J. Kasimo, Ketua Partai Katolik Republik Indonesia, pada Desember 1949. Kongres itu memutuskan peleburan semua partai Katolik di Indonesia menjadi Partai Katolik dengan ketua Kasimo. Pembentukan Partai Katolik itu diberitahukan kepada Paus dalam telegram yang disusun Kasimo dan ditandatangani Soegija.
Selama menjadi Uskup Semarang, Soegija banyak melakukan perubahan di lingkungan Gereja, khususnya yang terkait dengan budaya setempat. Pada 1956, ia mengizinkan semua pastor di wilayahnya menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia ketika memberikan sakramen permandian. Dia juga menganjurkan pemakaian gamelan dalam perayaan ekaristi. Bruder Thimoteus FIC, misalnya, menciptakan wayang yang mengandung ajaran Kristiani, yang disebut wayang wahyu. Pada masa itu ketoprak juga mulai digunakan sebagai alat pengajaran agama dengan kisah dari Injil, seperti tentang Daud dan Goliat serta kisah Ester.
Semangat untuk membumikan Katolik itu pula yang mendorong Soegija mengirim Romo Mangunwijaya untuk belajar arsitektur dan Romo Hardjowardojo untuk belajar musik ke luar negeri. Tujuannya, menurut Romo Kristiyanto dari The Soegijapranata Institute, agar gaya arsitektur gereja di Indonesia tak meniru sepenuhnya arsitektur gereja di Roma, tapi mengawinkannya dengan arsitektur Jawa seperti yang terjadi selama ini. "Demikian pula agar musik tradisional Jawa bisa dijadikan musik gereja," katanya.
Soegija meninggal di Steyl, Belanda, pada 22 Juli 1963 dalam usia 66 tahun. Mendengar kabar tersebut, Presiden Sukarno pada 24 Juli 1963 memerintahkan agar Soegija dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Seluruh biaya pemulangan dan pemakamÂan ditanggung negara. Dua hari berikutnya, Sukarno menganugerahi Soegija gelar pahlawan nasional. Penetapan ini empat hari lebih awal dari prosesi pemakaman, yang dilaksanakan pada 30 Juli 1963.
Namun Soegija telah mewariskan sikap pentingnya kebulatan antara posisi agama dan negara. "Kemanusiaan itu satu. Bangsa itu satu," tulis Soegija, dalam film Garin, dengan takzim.
Kurniawan, Anang Zakaria, LN Idayanie, Sohirin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo