Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Faust di pesantren

Sebuah pembacaan dramatik karya goethe. terjemahan: abdul hadi w.m sutradara: arifin c. noer produksi: teater kecil. (sr)

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FAUST I Karya: Johann Wolfgang von Goethe Terjemahan: Abdul Hadi W. M. Sutradara: Arifin C. Noer Produksi: Teater Kecil DOKTOR Faust muncul dengan latar belakang pesantren. Ia menjadi salah seorang di antara 28 santri, yang masing-masing menghadapi sebuah rehal putih dan lampu minyak menyala. Itulah yang terhidang di Teater Tertunlp Taman Ismail Marzuki 18 dan 19 September lalu. Arifin C. Noer, sutradara Teater Kecil, memang dengan sengaja menghadirkan naskah berlatar belakang kehidupan Katolik menjadi Islam -"agar lebih akrab dengan kita," katanya. Maka pembacaan dramatik karya besar Goethe (1749-1832) ini dibuka dengan bunyi bedug, assalamu alaikum, dan pembacaan barzanji. Di tengah dialog kadang terdengar takbir. Inilah Faust bagian pertama, yang diselesaikan Goethe lebih dari 30 tahun-1808 -- dan dibeberkan Teater Kecil dalam waktu tiga jam. Sebuah kisah pengembaraan Doktor Faust, seorang ahli filsafat, ahli hukum dan sekaligus dokter, dalam mencari "rahasia terdalam kehidupan". Ia bertemu, atau lebih tepat ditemui, Mephisto--si setan gentayangan yang telah mendapat izin Tuhan untuk memelencengkannya dari rel. Maka Doktor Faust yang semula "gendeng, yang tidak dapat dipuaskan dengan daging atau minuman di dunia", akhirnya jatuh terjungkir melihat wajah cantik dan kulit mulus Margaretha, si gadis pesantren yang baru belasan tahun. Dan dengan pertolongan --atau penjerumusan -- Mephisto, semua keinginan sang doktornya terpenuhi. Telah kau berikan segalanya padaku, wahai setan yang mahamulia," seru Fausly yang telah berbelok pada kesenangan duniawi itu. "Hingga aku selalu lapar pada kenikmatan, kesenangan, dan barang mewah." Di panggung Teater Tertutup, yang terlihat memang cuma para pemain yang dari awal sampai usai hanya duduk membaca naskah yang ditaruh pada rehal. Memang terkadang Arifin (Faust) atau Amak (Mephisto) berdiri, mengepalkan tinju, atau menggebrak lantai guna menguatkan ekspresi. Tapi sepenuhnya pentas adalah "gambar mati", diam tanpa gerakan fisik. Maka di sini vokal seorang pemeran menjadi taruhan utama. Arifin, meski dengan suara serak di malam pertama, menyuarakan Faust dengan enak, cekatan. Tapi Amoroso Katamsi di malam kedua, dengan suara besar dan agak lamban, ternyata kurang cocok sebagai Faust. Kata-kata terjemahan Abdul Hadi dan dituntut untuk selalu bernas, memikat, dan gampang ditangkap -- untungnya memang begitu. Dan dengan waspada, seperti biasanya, Arifin mengatur irama pertunjukan, hingga kejemuan yang suka menjenguk dari arah panggung tidak benar-benar muncul. Berbagai nyanyian berbau Kristen dalam naskah asli digantinya dengan puji-pujian model langgar dan lagu Melayu. Terkadang diselipkannya kata-kata seru yang menghidupkan "gambar mati' di pentas. Misalnya "Siip," jawab Mephisto, ketika Martha memintanya datang di kebun petang hari untuk mempertemukan Faust dengan Margaretha. Untuk semua itu naskah besar Goe the ini memang memungkinkan. Di dalamnya terkandung dialog yang bersifat liris bak bacaan deklamasi. Tapi juga diskusi yang memikat, misalnya antara Faust dan Wagner, asistennya. AGAKNYA Faust, yang terdiri dar dua bagian itu, dan bagian kedua nva baru diselesaikan Goethe pada 1831, menjelang kematiannya, meman mencerminkan sosok pujangga Jerman yang kini diperingati 150 tahun kematiannya. Goethe bukan hanya penulis sandiwara. Tapi juga kritikus, jurnalis pendidik, ilmuwan dan ahli hukum. Ia pun pernah menulis teori warna, masalah botani dan biologi. Dan kala ia jatuh cinta pada seorang gadis, Charlotte von Stein, yang konon mewarnai karya-karyanya, ditulisnya 1.500 pucuk surat cintrong. Maka tidak hanya Teater Kecil yan mencoba menyuguhkan Faust dengan versinya sendiri. Sejak bagian pertama selesai dulu, 1808, di Hungaria, Prancis dan Inggris naskah itu dipentaskan dengan bermacam versi. Ada yang membawakannya sebagai opera, ada yang drama epik. Ada juga yang drama romantik, yang mencampurkan dialog dan nyanyian. Di Inggris malahan konon pernah dipentaskan dengan gaya kocak. Kisah Faust sendiri sebetulnya legenda lama rakyat Jerman--yang diangkat Goethe sebagai drama tanpa terikat cerita "asli". Yang dipentaskan Teater Kecil memang baru bagian pertama, ketika Faust dikalahkan setan dan terjerumus ke lembah hina. Dalam bagian kedua akhirnya Faust menemukan dirinya kembali setelah mengorbankan segala kepentingan sendiri guna menolong orang lain. Faust yang tua dan buta, tapi yang kemudian menemukan cahaya Illahi. Betapa pun tipisnya, seorang anak manusia "tetap punya naluri untuk menempuh jalan yang benar," begitu kata Tuhan kepada Mephisto. Dan akhirnya Mephisto memang kalah. Faust, konon, masuk surga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus