FAUST I
Karya: Johann Wolfgang von Goethe
Terjemahan: Abdul Hadi W. M.
Sutradara: Arifin C. Noer
Produksi: Teater Kecil
DOKTOR Faust muncul dengan latar belakang pesantren. Ia menjadi
salah seorang di antara 28 santri, yang masing-masing
menghadapi sebuah rehal putih dan lampu minyak menyala.
Itulah yang terhidang di Teater Tertunlp Taman Ismail Marzuki 18
dan 19 September lalu. Arifin C. Noer, sutradara Teater Kecil,
memang dengan sengaja menghadirkan naskah berlatar belakang
kehidupan Katolik menjadi Islam -"agar lebih akrab dengan kita,"
katanya.
Maka pembacaan dramatik karya besar Goethe (1749-1832) ini
dibuka dengan bunyi bedug, assalamu alaikum, dan pembacaan
barzanji. Di tengah dialog kadang terdengar takbir.
Inilah Faust bagian pertama, yang diselesaikan Goethe lebih dari
30 tahun-1808 -- dan dibeberkan Teater Kecil dalam waktu tiga
jam. Sebuah kisah pengembaraan Doktor Faust, seorang ahli
filsafat, ahli hukum dan sekaligus dokter, dalam mencari
"rahasia terdalam kehidupan". Ia bertemu, atau lebih tepat
ditemui, Mephisto--si setan gentayangan yang telah mendapat izin
Tuhan untuk memelencengkannya dari rel.
Maka Doktor Faust yang semula "gendeng, yang tidak dapat
dipuaskan dengan daging atau minuman di dunia", akhirnya jatuh
terjungkir melihat wajah cantik dan kulit mulus Margaretha, si
gadis pesantren yang baru belasan tahun. Dan dengan pertolongan
--atau penjerumusan -- Mephisto, semua keinginan sang doktornya
terpenuhi. Telah kau berikan segalanya padaku, wahai setan
yang mahamulia," seru Fausly yang telah berbelok pada kesenangan
duniawi itu. "Hingga aku selalu lapar pada kenikmatan,
kesenangan, dan barang mewah."
Di panggung Teater Tertutup, yang terlihat memang cuma para
pemain yang dari awal sampai usai hanya duduk membaca naskah
yang ditaruh pada rehal. Memang terkadang Arifin (Faust) atau
Amak (Mephisto) berdiri, mengepalkan tinju, atau menggebrak
lantai guna menguatkan ekspresi. Tapi sepenuhnya pentas adalah
"gambar mati", diam tanpa gerakan fisik.
Maka di sini vokal seorang pemeran menjadi taruhan utama.
Arifin, meski dengan suara serak di malam pertama, menyuarakan
Faust dengan enak, cekatan. Tapi Amoroso Katamsi di malam kedua,
dengan suara besar dan agak lamban, ternyata kurang cocok
sebagai Faust. Kata-kata terjemahan Abdul Hadi dan dituntut
untuk selalu bernas, memikat, dan gampang ditangkap -- untungnya
memang begitu. Dan dengan waspada, seperti biasanya, Arifin
mengatur irama pertunjukan, hingga kejemuan yang suka menjenguk
dari arah panggung tidak benar-benar muncul.
Berbagai nyanyian berbau Kristen dalam naskah asli digantinya
dengan puji-pujian model langgar dan lagu Melayu. Terkadang
diselipkannya kata-kata seru yang menghidupkan "gambar mati' di
pentas. Misalnya "Siip," jawab Mephisto, ketika Martha
memintanya datang di kebun petang hari untuk mempertemukan Faust
dengan Margaretha.
Untuk semua itu naskah besar Goe the ini memang memungkinkan. Di
dalamnya terkandung dialog yang bersifat liris bak bacaan
deklamasi. Tapi juga diskusi yang memikat, misalnya antara Faust
dan Wagner, asistennya.
AGAKNYA Faust, yang terdiri dar dua bagian itu, dan bagian kedua
nva baru diselesaikan Goethe pada 1831, menjelang kematiannya,
meman mencerminkan sosok pujangga Jerman yang kini diperingati
150 tahun kematiannya. Goethe bukan hanya penulis sandiwara.
Tapi juga kritikus, jurnalis pendidik, ilmuwan dan ahli hukum.
Ia pun pernah menulis teori warna, masalah botani dan biologi.
Dan kala ia jatuh cinta pada seorang gadis, Charlotte von Stein,
yang konon mewarnai karya-karyanya, ditulisnya 1.500 pucuk surat
cintrong.
Maka tidak hanya Teater Kecil yan mencoba menyuguhkan Faust
dengan versinya sendiri. Sejak bagian pertama selesai dulu,
1808, di Hungaria, Prancis dan Inggris naskah itu dipentaskan
dengan bermacam versi. Ada yang membawakannya sebagai opera, ada
yang drama epik. Ada juga yang drama romantik, yang mencampurkan
dialog dan nyanyian. Di Inggris malahan konon pernah dipentaskan
dengan gaya kocak.
Kisah Faust sendiri sebetulnya legenda lama rakyat Jerman--yang
diangkat Goethe sebagai drama tanpa terikat cerita "asli".
Yang dipentaskan Teater Kecil memang baru bagian pertama, ketika
Faust dikalahkan setan dan terjerumus ke lembah hina. Dalam
bagian kedua akhirnya Faust menemukan dirinya kembali setelah
mengorbankan segala kepentingan sendiri guna menolong orang
lain. Faust yang tua dan buta, tapi yang kemudian menemukan
cahaya Illahi. Betapa pun tipisnya, seorang anak manusia "tetap
punya naluri untuk menempuh jalan yang benar," begitu kata Tuhan
kepada Mephisto. Dan akhirnya Mephisto memang kalah. Faust,
konon, masuk surga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini