Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Prioritas pembangunan perlu ...

Ekonomi dunia dilanda resesi. maka dalam menghadapi resesi yang mungkin masih akan berjalan satu atau dua tahun, pemerintah harus meninjau kembali prioritas-prioritasnya.

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA terakhir dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam bulan Agustus yang lalu belum ada tanda kebangkitan kembali perekonomiannya. Indikator dari Induksi industri dan pertambangan masih menunjukkan kelesuan. Sementara itu angka pengangguran masih tinggi sekali. Sudah diakui umum bahwa resesi sekarang ini adalah yang paling parah sejak Perang Dunia II. Pofesor Sumitro Djojohadikusumo sudah tidak suka menyebutnya sebagai resesi, melainkan depresi. Walaupun demikian, Depresi Besar dari tahun tigapuluhan mempunyai dampak sosial yang masih jauh lebih besar, diukur dengan kemunduran produksi nasional, kegawatan pengangguran dan kurangnya jaminan sosial. Dewasa ini kegawatan keadaan hampir tak tampak dari pengamatan sepintas lalu, sebagai orang pengunjung karena di mana-mana pusat pertokoan masih penuh para pembelanja, pelabuhan udara penuh dengan arus turis, restoran juga cukup pengunjungnya. Hanya kalau membaca surat kabar maka orang dapat terkesan dari angka-angka statistik jalannya perekonomian. Ekonomi juga masih tumbuh, walaupun dengan laju yang rendah. Kalau produksi nasional Jepang misalnya, masih dapat tumbuh 5% setahun (normal di atas 7), apakah keadaan demikian dapat disebut keadaan darurat maka, apakah keadaan ekonomi dunia yang cukup serius itu, dapat disebut resesi atau depresi, merupakan perbedaan selera atau persepsi. Sudah dua kali ekonomi dunia Barat atau negara-negara industri terpukul resesi, setiap kali kalau mereka harus mencernakan akibat lonjakan harga minyak bumi: satu kali di tahun 1976 dan kedua kali, sejak tahun 1981. Sebabnya tidak berakar pada kenaikan harga minyak bumi saja. Reaksi-reaksi sosial serta pertarungan antara golongan masyarakat mengenai pembagian beban menampung akibat inflasi tidak dapat diselesaikan secara harmonis dan produktif. Golongan buruh tidak mau mengalah, golongan pendapatan tetap lainnya cukup terlindungi oleh indeksasi dari pendapatannya sehingga kebal terhadap inflasi, sedangkan golongan pemilik dan pengasuh perusahaan juga tidak mau mengalah dalam pertandingan tarik-tambang sosial ini. Akibatnya, inflasi tinggi berjalan terus. Maka pemerintah terpaksa turun tangan, dan sering dengan menggunakan senjata moneter dari bank sentral, alias kebijaksanaan uang dan kredit ketat. Akibatnya, terutama di Amerika Serikat, tingkat bunga melonjak dan karena itu penanaman modal berkurang. Berkat kebijaksanaan uang ketat ini inflasi dapat turun, begitu pula tingkat bunga menurun sedikit. Tetapi, walaupun setengah kalangan bersorak gembira, ada kalangan lain yang menyesalkan sebabnya. Tingkat bunga betul menurun, tetapi ini oleh karena kelesuan ekonomi dan kurangnya nafsu penanaman modal. Artinya, ekonomi tetap sakit dan kurang darah. Apakah ekonomi dunia, artinya ekonomi Eropa dan Jepang, betul-betul tergantung dari sehatnya ekonomi Amerika Serikat, sehingga seluruh dunia yang disebut "market economies" harus menunggu pulihnya kembali ekonomi Amerika dari resesinya? Ya dan tidak. Ekonomi-ekonomi Eropa dan Jepang cukup besar sehingga bisa berdiri sendiri. Tetapi kaitan antara ekonomi-ekonomi nasional di dunia sekarang ini cukup besar, lewat perdagangan internasional dan lewat pasar modal internasional, sehingga kaitan-kaitan ini juga dapat menularkan penyakit dari satu negara ke lain negara. Memang dewasa ini tampak kecenderungan untuk melindungi perekonomian nasional dari dampak negatif perdagangan internasional, dengan bermacam-macam usaha proteksionisme, tetapi reaksi-reaksi ini mungkin sekali hanya akan memperpanjang penyakit resc si dunia secara umum. Perekonomian dunia yang sudah nlen jadi "interdependent" sukar diputar balik. Asia Tenggara juga tidak kebal terhadap dampak resesi du nia. Ekonomi negara-negara ini pada umumnya berorientasi kepada ekspor, atau ekspor merupakan bagian yang pentin dari produk nasionalnya. Menurut buku "World Developnent Report 1982" dari Bank Dunia maka untuk 1980 ekspor Indonesia merupakan 31% dari CDP (Cross Domestic Product), untuk Malaysia 32%, untuk Thailand 25%, untuk Filipina 24 %, dan bagi Singapura penerimaan dari ekspor melebihi GDP. Dari angka-angka ini dapat kita simpulkan negara mana yang paling peka terhadap gejolak konjungtur internasional: Singapura, Malaysia dan Indonesia. Lebih-lebih kalau resesi itu juga menurunkan harga dan pasar milik bumi, maka Indonesia dan Malaysia akan sangat terkena. Dari hasil satu semester dan lebih tahun 1982 ini maka ternyata Indonesialah yang paling menderita penurunan penerimaan ekspor, terutama karena tingkat produksi minyak bumi harus dikurangi sekitar 300.000 barrel sehari. Ekspor komoditi nonminyak juga turun, sehingga penurunan keseluruhan berjumlah 20% atau lebih dari penerimaan ekspor sebelumnya. BAGI Malaysia kemunduran dalam penerimaan ekspor ini masih kurang dari 10%. Lain-lain negara ASEAN masih berhasil melihat kenaikan sedikit dalam penerimaan ekornya, walaupun tetap mengeluh sekali, karena semuanya lesu. Singapura, misalnya, biasa melihat ekspor tumbuhnya sekitar 12% setahun, tetapi tahun ini mungkin hanya sekitar 5%. Thailand masih beruntung mengalami panen di bidang pertanian yang baik sekali, sehingga jumlah ekspornya dapat naik, walaupun harganya jatuh. Filipina mengalami nasib yang kira-kira sama seperti Thailand. Mundurnya ekspor ini mempunyai dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Singapura, yang biasanya mencapai pertumbuhan GDP 9-10%, sudah merasa untung kalau tahun ini dapat mencapai 5%. Menteri Keuangan Malaysia baru-baru ini menurunkan perkiraan laju pertumbuhan 1982 melljadi 3,54,5%, dari perkiraan pertama 7% (tahun 1981: 6,5(1). Untuk Thailand perkiraan untuk tahun 1982 paling tinggi adalah 5% (normal sekitar 7%). Filipina, yang sudah beberapa tahun menderita pertumbuhan rendah (1981: 3,8%) untuk tahun ini mungkin hanya tumbuh 2,7%. Indonesia tahun yang lalu mencapai angka pertumbuhan GDP 7,6%. Tahun ini belum ada perkiraan. Tetapi sejajar dengan kemunduran yang dialami oleh negara-negara tetangga itu, tidak akan mengherankan kalau pertumbuhan GDP Indonesia tahun ini hanya sekitar 6-6,5%. Angka demikian dilihat secara komparatif tidak terlalu jelek, tetapi di belakang kemunduran itu akan tampak sakitnya beberapa sektor (misalnya kayu, karet, tekstil, perkapalan, dan sebagainya) dan sulitnya usaha untuk melangsungkan "momentum pembangunan." Keadaan resesi di pasar dunia ini kiranya masih berjalan berapa lama? Dari Amerika Serikat suara-suaranya tidak karuan, alias mereka pun tidak tahu. Walaupun pemerintah federal selalu bernada lebih optimistis, tetapi pada saat ini prospeknya sungguh tak menambah harapan. Keadaan kelesuan dalam pasar internasional masih dapat berjalan dalam tahun 1983. Itu biasanya ada tenggang waktu antara pemulihan konjungtur di negara industri dan perbaikan nyata dari harga dan pasar komoditi yang kita ekspor. Tenggang waktu itu setengah tahun. Bagi Indonesia yang penting juga pasar internasional minyak bumi. Selain mengikuti konjungtur umum internasional, ini masih harus memperhitungkan beberapa pengaruh khusus lagi, seperti kelebihan kapasitas produksi di negara-negara OPEC yang cukup besar untuk beberapa tahun yang mendatang. Sampai ada menteri negara Arab yang baru-bar ini mengusulkan pembekuan harga sampai 1985. Maka dalam prospek perkembangan ekonomi dunia yang serba tak pasti ini sebaiknya kita berjaga-jaga terhadap kemungkinan masih adanya semacam resesi intemasional (termasuk dalam pasar minyak bumi) yang masih berjalan dua tahun atau lebih. *** Apa pengaruh resesi gawat ini kepada Indonesia? Kita terpukul oleh dua macam resesi. Pertama, resesi dalam pasar minyak bumi. Kedua, resesi dalam pasar konoditi. Kedua-dnanya cukup gawat. Kemunduran dalam penelimaan dari ekspor minyak bumi sangat mempengaruhi anggaran belanja pemerintah dan kemampuan pemerintah untuk membelanjai kelanjutan serta peningkatan pembangunan. Entah untuk berapa tahun. Sejak Pelita I anggaran belanja pemerintah merupakan motor dari pembangunan, karena anggaran pembangunan dapat meningkat banyak, dari tahun ke tahun. Mulai sekarang kemampuan anggaran belanja pembangunan ini akan tergantung bagaimana "public savings" (sisa antara penerimaan dan anggaran rutin) dapat dipertahankan, malahan harus bisa ditingkatkan. Resepnya sederhana dan sudah saya singgung dalam karangan yang terdahulu. Operasinya tak dapat dilakukan tanpa sakit. Komprominya hanya untuk mentahapkan proses penyesuaiannya. Jalan lain adalah untuk mencari pinjaman luar negeri lebih banyak. Jalan ini masih terbuka, tetapi harus dimasuki dengan hati-hati, sebab kalau tidak maka akhimya Indonesia dapat menjadi Meksiko kedua. Jalan keluar lainnya adalah menyesuaikan keperluan dengan kemampuan, artinya pengeluaran dengan penerimaan. Bukankah kita sejak Orde Baru ini bertekad menegakkan prinsip "Balanced Budged (Penerimaan = pengeluaran, alias tak ada deficit financing seperti di zaman Orla)? Malaysia merupakan contoh negara tetangga yang juga terpaksa menangguhkan beberapa proyek atau program pembangunan. Memang suatu negara dapat "hidup vivere pericoloso" sedikit dalam masa resesi, dengan mempertahankan anggaran pembangunan, dan mengadakan tindakan-tindakan stimulasi tapi kalau pembelanjaannya bersifat inflatoir (misalnya mencetak uang untuk menutup defisit anggaran belanja) maka ada risiko inflasi tinggi. Kalau inflasi demikian dapat dibatasi sampai satu tahun saja, ini masih dapat diterima. Tetapi kalau menjadi permulaan suatu proses yang menjurus ke situasi yang tak dapat dikendalikan seterusnya, maka konsekuensi jangka panjangnya tak terhingga. *** Walaupun demikian, suatu pemerintah tak dapat bersikap konservatif melulu dan tak mau menanggung risiko, serta menjalankan kebijaksanaan (anti-resesi) yang membatasi diri secara menyeluruh. Beberapa sektor ekonomi, beberapa lapisan masyarakat yang paling terkena oleh resesi wajib ditolong, kalau perlu dengan tambahan pengeluaran. Misalnya dengan program pekerjaan umum untuk memberi tambahan kesempatan kerja dan pendapatan misalnya dengan subsidi terhadap ekspor, dan sebagainya. Rakat dan produsen kecil di luar Jawa jangan telantar nasibnya. Tetapi, kalau di beberapa sektor harus ada stimulasi ekonomi dan tambahan pengeluaran, di lain-lain sektor harus ada pembatasan dan di mana masih mungkin, suatu pemunduran taktis (retrenchment). Maka dalam menghadapi resesi yang, mungkin masih akan berjalan satu atau dua tahun pemerintah harus meninjau kembali prioritas-prioritasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus