BERITA terakhir dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam
bulan Agustus yang lalu belum ada tanda kebangkitan kembali
perekonomiannya. Indikator dari Induksi industri dan
pertambangan masih menunjukkan kelesuan. Sementara itu angka
pengangguran masih tinggi sekali.
Sudah diakui umum bahwa resesi sekarang ini adalah yang paling
parah sejak Perang Dunia II. Pofesor Sumitro Djojohadikusumo
sudah tidak suka menyebutnya sebagai resesi, melainkan depresi.
Walaupun demikian, Depresi Besar dari tahun tigapuluhan
mempunyai dampak sosial yang masih jauh lebih besar, diukur
dengan kemunduran produksi nasional, kegawatan pengangguran dan
kurangnya jaminan sosial.
Dewasa ini kegawatan keadaan hampir tak tampak dari pengamatan
sepintas lalu, sebagai orang pengunjung karena di mana-mana
pusat pertokoan masih penuh para pembelanja, pelabuhan udara
penuh dengan arus turis, restoran juga cukup pengunjungnya.
Hanya kalau membaca surat kabar maka orang dapat terkesan dari
angka-angka statistik jalannya perekonomian. Ekonomi juga masih
tumbuh, walaupun dengan laju yang rendah. Kalau produksi
nasional Jepang misalnya, masih dapat tumbuh 5% setahun (normal
di atas 7), apakah keadaan demikian dapat disebut keadaan
darurat maka, apakah keadaan ekonomi dunia yang cukup serius
itu, dapat disebut resesi atau depresi, merupakan perbedaan
selera atau persepsi.
Sudah dua kali ekonomi dunia Barat atau negara-negara industri
terpukul resesi, setiap kali kalau mereka harus mencernakan
akibat lonjakan harga minyak bumi: satu kali di tahun 1976 dan
kedua kali, sejak tahun 1981.
Sebabnya tidak berakar pada kenaikan harga minyak bumi saja.
Reaksi-reaksi sosial serta pertarungan antara golongan
masyarakat mengenai pembagian beban menampung akibat inflasi
tidak dapat diselesaikan secara harmonis dan produktif. Golongan
buruh tidak mau mengalah, golongan pendapatan tetap lainnya
cukup terlindungi oleh indeksasi dari pendapatannya sehingga
kebal terhadap inflasi, sedangkan golongan pemilik dan pengasuh
perusahaan juga tidak mau mengalah dalam pertandingan
tarik-tambang sosial ini. Akibatnya, inflasi tinggi berjalan
terus.
Maka pemerintah terpaksa turun tangan, dan sering dengan
menggunakan senjata moneter dari bank sentral, alias
kebijaksanaan uang dan kredit ketat. Akibatnya, terutama di
Amerika Serikat, tingkat bunga melonjak dan karena itu penanaman
modal berkurang. Berkat kebijaksanaan uang ketat ini inflasi
dapat turun, begitu pula tingkat bunga menurun sedikit. Tetapi,
walaupun setengah kalangan bersorak gembira, ada kalangan lain
yang menyesalkan sebabnya. Tingkat bunga betul menurun, tetapi
ini oleh karena kelesuan ekonomi dan kurangnya nafsu penanaman
modal. Artinya, ekonomi tetap sakit dan kurang darah.
Apakah ekonomi dunia, artinya ekonomi Eropa dan Jepang,
betul-betul tergantung dari sehatnya ekonomi Amerika Serikat,
sehingga seluruh dunia yang disebut "market economies" harus
menunggu pulihnya kembali ekonomi Amerika dari resesinya?
Ya dan tidak. Ekonomi-ekonomi Eropa dan Jepang cukup besar
sehingga bisa berdiri sendiri. Tetapi kaitan antara
ekonomi-ekonomi nasional di dunia sekarang ini cukup besar,
lewat perdagangan internasional dan lewat pasar modal
internasional, sehingga kaitan-kaitan ini juga dapat menularkan
penyakit dari satu negara ke lain negara. Memang dewasa ini
tampak kecenderungan untuk melindungi perekonomian nasional dari
dampak negatif perdagangan internasional, dengan bermacam-macam
usaha proteksionisme, tetapi reaksi-reaksi ini mungkin sekali
hanya akan memperpanjang penyakit resc si dunia secara umum.
Perekonomian dunia yang sudah nlen jadi "interdependent" sukar
diputar balik.
Asia Tenggara juga tidak kebal terhadap dampak resesi du nia.
Ekonomi negara-negara ini pada umumnya berorientasi kepada
ekspor, atau ekspor merupakan bagian yang pentin dari produk
nasionalnya. Menurut buku "World Developnent Report 1982" dari
Bank Dunia maka untuk 1980 ekspor Indonesia merupakan 31% dari
CDP (Cross Domestic Product), untuk Malaysia 32%, untuk Thailand
25%, untuk Filipina 24 %, dan bagi Singapura penerimaan dari
ekspor melebihi GDP.
Dari angka-angka ini dapat kita simpulkan negara mana yang
paling peka terhadap gejolak konjungtur internasional:
Singapura, Malaysia dan Indonesia. Lebih-lebih kalau resesi itu
juga menurunkan harga dan pasar milik bumi, maka Indonesia dan
Malaysia akan sangat terkena.
Dari hasil satu semester dan lebih tahun 1982 ini maka ternyata
Indonesialah yang paling menderita penurunan penerimaan ekspor,
terutama karena tingkat produksi minyak bumi harus dikurangi
sekitar 300.000 barrel sehari. Ekspor komoditi nonminyak juga
turun, sehingga penurunan keseluruhan berjumlah 20% atau lebih
dari penerimaan ekspor sebelumnya.
BAGI Malaysia kemunduran dalam penerimaan ekspor ini masih
kurang dari 10%. Lain-lain negara ASEAN masih berhasil melihat
kenaikan sedikit dalam penerimaan ekornya, walaupun tetap
mengeluh sekali, karena semuanya lesu. Singapura, misalnya,
biasa melihat ekspor tumbuhnya sekitar 12% setahun, tetapi tahun
ini mungkin hanya sekitar 5%. Thailand masih beruntung mengalami
panen di bidang pertanian yang baik sekali, sehingga jumlah
ekspornya dapat naik, walaupun harganya jatuh. Filipina
mengalami nasib yang kira-kira sama seperti Thailand.
Mundurnya ekspor ini mempunyai dampak terhadap pertumbuhan
ekonomi yang cukup besar. Singapura, yang biasanya mencapai
pertumbuhan GDP 9-10%, sudah merasa untung kalau tahun ini dapat
mencapai 5%. Menteri Keuangan Malaysia baru-baru ini menurunkan
perkiraan laju pertumbuhan 1982 melljadi 3,54,5%, dari perkiraan
pertama 7% (tahun 1981: 6,5(1). Untuk Thailand perkiraan untuk
tahun 1982 paling tinggi adalah 5% (normal sekitar 7%).
Filipina, yang sudah beberapa tahun menderita pertumbuhan rendah
(1981: 3,8%) untuk tahun ini mungkin hanya tumbuh 2,7%.
Indonesia tahun yang lalu mencapai angka pertumbuhan GDP 7,6%.
Tahun ini belum ada perkiraan. Tetapi sejajar dengan kemunduran
yang dialami oleh negara-negara tetangga itu, tidak akan
mengherankan kalau pertumbuhan GDP Indonesia tahun ini hanya
sekitar 6-6,5%. Angka demikian dilihat secara komparatif tidak
terlalu jelek, tetapi di belakang kemunduran itu akan tampak
sakitnya beberapa sektor (misalnya kayu, karet, tekstil,
perkapalan, dan sebagainya) dan sulitnya usaha untuk
melangsungkan "momentum pembangunan."
Keadaan resesi di pasar dunia ini kiranya masih berjalan berapa
lama? Dari Amerika Serikat suara-suaranya tidak karuan, alias
mereka pun tidak tahu. Walaupun pemerintah federal selalu
bernada lebih optimistis, tetapi pada saat ini prospeknya
sungguh tak menambah harapan. Keadaan kelesuan dalam pasar
internasional masih dapat berjalan dalam tahun 1983. Itu
biasanya ada tenggang waktu antara pemulihan konjungtur di
negara industri dan perbaikan nyata dari harga dan pasar
komoditi yang kita ekspor. Tenggang waktu itu setengah tahun.
Bagi Indonesia yang penting juga pasar internasional minyak
bumi. Selain mengikuti konjungtur umum internasional, ini masih
harus memperhitungkan beberapa pengaruh khusus lagi, seperti
kelebihan kapasitas produksi di negara-negara OPEC yang cukup
besar untuk beberapa tahun yang mendatang. Sampai ada menteri
negara Arab yang baru-bar ini mengusulkan pembekuan harga
sampai 1985.
Maka dalam prospek perkembangan ekonomi dunia yang serba tak
pasti ini sebaiknya kita berjaga-jaga terhadap kemungkinan masih
adanya semacam resesi intemasional (termasuk dalam pasar minyak
bumi) yang masih berjalan dua tahun atau lebih.
***
Apa pengaruh resesi gawat ini kepada Indonesia? Kita terpukul
oleh dua macam resesi. Pertama, resesi dalam pasar minyak bumi.
Kedua, resesi dalam pasar konoditi. Kedua-dnanya cukup gawat.
Kemunduran dalam penelimaan dari ekspor minyak bumi sangat
mempengaruhi anggaran belanja pemerintah dan kemampuan
pemerintah untuk membelanjai kelanjutan serta peningkatan
pembangunan. Entah untuk berapa tahun.
Sejak Pelita I anggaran belanja pemerintah merupakan motor dari
pembangunan, karena anggaran pembangunan dapat meningkat banyak,
dari tahun ke tahun. Mulai sekarang kemampuan anggaran belanja
pembangunan ini akan tergantung bagaimana "public savings" (sisa
antara penerimaan dan anggaran rutin) dapat dipertahankan,
malahan harus bisa ditingkatkan. Resepnya sederhana dan sudah
saya singgung dalam karangan yang terdahulu. Operasinya tak
dapat dilakukan tanpa sakit. Komprominya hanya untuk mentahapkan
proses penyesuaiannya.
Jalan lain adalah untuk mencari pinjaman luar negeri lebih
banyak. Jalan ini masih terbuka, tetapi harus dimasuki dengan
hati-hati, sebab kalau tidak maka akhimya Indonesia dapat
menjadi Meksiko kedua. Jalan keluar lainnya adalah menyesuaikan
keperluan dengan kemampuan, artinya pengeluaran dengan
penerimaan. Bukankah kita sejak Orde Baru ini bertekad
menegakkan prinsip "Balanced Budged (Penerimaan = pengeluaran,
alias tak ada deficit financing seperti di zaman Orla)?
Malaysia merupakan contoh negara tetangga yang juga terpaksa
menangguhkan beberapa proyek atau program pembangunan.
Memang suatu negara dapat "hidup vivere pericoloso" sedikit
dalam masa resesi, dengan mempertahankan anggaran pembangunan,
dan mengadakan tindakan-tindakan stimulasi tapi kalau
pembelanjaannya bersifat inflatoir (misalnya mencetak uang untuk
menutup defisit anggaran belanja) maka ada risiko inflasi
tinggi. Kalau inflasi demikian dapat dibatasi sampai satu tahun
saja, ini masih dapat diterima. Tetapi kalau menjadi permulaan
suatu proses yang menjurus ke situasi yang tak dapat
dikendalikan seterusnya, maka konsekuensi jangka panjangnya tak
terhingga.
***
Walaupun demikian, suatu pemerintah tak dapat bersikap
konservatif melulu dan tak mau menanggung risiko, serta
menjalankan kebijaksanaan (anti-resesi) yang membatasi diri
secara menyeluruh. Beberapa sektor ekonomi, beberapa lapisan
masyarakat yang paling terkena oleh resesi wajib ditolong, kalau
perlu dengan tambahan pengeluaran. Misalnya dengan program
pekerjaan umum untuk memberi tambahan kesempatan kerja dan
pendapatan misalnya dengan subsidi terhadap ekspor, dan
sebagainya. Rakat dan produsen kecil di luar Jawa jangan
telantar nasibnya.
Tetapi, kalau di beberapa sektor harus ada stimulasi ekonomi dan
tambahan pengeluaran, di lain-lain sektor harus ada pembatasan
dan di mana masih mungkin, suatu pemunduran taktis
(retrenchment). Maka dalam menghadapi resesi yang, mungkin
masih akan berjalan satu atau dua tahun pemerintah harus
meninjau kembali prioritas-prioritasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini