Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Novel Gabriel García Márquez, Seratus Tahun Kesunyian, diangkat ke film miniseri Netflix 'One Hundred Years of Solitude'.
Sutradara serial itu harus menata keping-keping cerita Gabriel García Márquez yang rumit.
Film Seratus Tahun Kesunyian masih setia pada naskah novel meski berubah struktur.
DUSUN itu bernama Macondo. José Arcadio Buendía dan para pengikutnya mendirikan dusun itu pada saat gagal menemukan laut. Di sinilah segala keajaiban, tragedi, perang, dan kegembiraan terjadi serta berulang selama seratus tahun yang panjang sebagaimana diuraikan dalam novel Cien años de Soledad (edisi bahasa Inggris berjudul One Hundred Years of Solitude). Novel itu adalah adikarya realisme magis Gabriel García Márquez, sastrawan Kolombia peraih Hadiah Nobel Sastra pada 1982. Di Indonesia, novel ini dikenal sebagai Seratus Tahun Kesunyian, yang diterbitkan pertama kali oleh Benteng Press pada 2001.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novel klasik yang terbit pertama kali pada 1967 itu kini dialihwahanakan ke film miniseri berjudul sama yang ditayangkan di Netflix sejak Rabu, 11 Desember 2024. Film yang dibesut duo sutradara Kolombia, Alex García López dan Laura Mora, ini disajikan dalam dua bagian. Bagian pertama sebanyak delapan episode dirilis tahun ini. Adapun bagian kedua yang juga delapan episode akan dirilis kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novel ini melukiskan kehidupan tujuh generasi keluarga Buendía serta jatuh-bangunnya Macondo, sebuah dusun yang kemudian menjadi kota di suatu tempat di Amerika Latin yang tak ada dalam peta selama abad ke-19 dan ke-20. Novel ini menyajikan dunia imajinasi dengan perpaduan antara fantasi dan kenyataan serta kolonialisme dan perang yang melibatkan keluarga Buendía dan Macondo.
Film ini dibuka dengan kemuraman. Ada sebuah potret tua José Arcadio Buendía dan keluarganya. Lukisan wajah yang retak-retak. Lantai kotor dengan daun-daun kering berserakan dan kerumunan semut. Sebuah ranjang dengan selimut putih bersimbah darah. Rumah tua yang dipenuhi tumbuhan yang menyemak seperti sudah ditinggalkan selama puluhan tahun.
Kamera bergerak ke dalam sebuah ruangan yang penuh berbagai benda dan menyoroti seseorang yang tengah membuka sebuah buku besar di atas meja. Halaman pertamanya menggambarkan lingkaran-lingkaran yang dikelilingi seekor ular. Halaman berikutnya sebuah pohon keluarga. Lalu narator dalam bahasa Spanyol berkata: “Bertahun-tahun kemudian, saat ia menghadapi regu tembak, Kolonel Aureliano Buendía teringat pada suatu sore yang jauh ketika ayahnya mengajaknya untuk menemukan es”—kalimat pembuka dalam novel Márquez.
Wakil Presiden Netflix Amerika Latin Francisco Ramos sebelum pemutaran film minseri "One Hundred Years of Solitude" di festival film di Havana, Kuba, 6 Desember 2024. REUTERS/Alexandre Meneghini
Kita tahu kemudian bahwa buku itu disusun Melquíades (diperankan oleh Moreno Borja) bertahun-tahun sebelumnya. Melquíades adalah tokoh gipsi yang memperkenalkan sains dan teknologi kepada José Arcadio Buendía (Diego Vásquez), ayah Kolonel Aureliano Buendía (Claudio Cataño).
Adegan berikutnya adalah pesta perkawinan José muda (Marco Antonio González Ospina) dengan Úrsula Iguarán muda (Susana Morales Cañas). Orang tua Úrsula tak setuju atas perkawinan itu karena mereka bersepupu dan khawatir keturunannya berupa iguana. Úrsula punya ketakutan yang sama. Namun José menyelesaikan masalah itu dengan satu kalimat: “Aku tidak peduli jika aku punya anak babi, asalkan mereka bisa berbicara.”
Peran Kolonel Aureliano Buendía baru tampak nyata pada episode keenam ketika dia menjadi pemimpin revolusi di tengah perang sipil pendukung partai liberal melawan pendukung partai konservatif. Aureliano memerangi kelompok konservatif yang pandangannya dianggap bertentangan dengan budaya Macondo yang sekuler dan bebas. Perang itu tampaknya berhubungan dengan Perang Seribu Hari (1899-1902), perang saudara antara Partai Konservatif dan Partai Liberal di Kolombia yang didorong oleh pertikaian di kalangan elite politik.
Penonton yang pernah membaca novel Márquez tentu tak akan menemukan urutan adegan serupa itu dalam novel. Sutradara rupanya menyusun kembali keping-keping cerita Márquez, yang dituturkan secara bolak-balik, menjadi lebih tertata sehingga mudah dipahami.
Seno Gumira Ajidarma, dosen Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), menyebutkan novel Márquez merupakan karya sastra populer yang menggunakan struktur yang sebenarnya mudah dialihwahanakan. Sebab, ada hubungan dalam plot naskah dasar yang mudah diadaptasi menjadi bentuk film.
Peraih Nobel asal Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, memegang salinan novelny, "Cien años de Soledad", dalam kongres internasional di Kolombia, 26 Maret 2007. REUTERS/Daniel Munoz
Dalam karya sastra, Seno menjelaskan, semua khayalan, impian, pandangan, pikiran, dan kenyataan penulis menyatu dalam gaya bahasa. Untuk memahami mana yang kenyataan atau yang realistis, harus ada penjelasan. Tapi, menurut dia, ketika narasi teks ini dialihwahanakan ke film, apa yang tercampur aduk dalam sastra bisa tergambarkan lebih jelas bedanya, seperti mana yang merupakan khayalan dan mana pikiran atau realitas. “Di sana jelas. Seperti sains, dari sulap kaum gipsi atau pandangan protagonis dan pengantar dari narator,” ucap pengajar di Sekolah Pascasarjana IKJ itu pada Selasa, 17 Desember 2024.
Seno melihat bagian pertama miniseri ini berusaha setia pada naskah novel, meskipun tidak berarti urutan adegannya sama. Adegan dalam film, dia memaparkan, merupakan adegan kilas balik. Dalam film, sutradara bisa secara mudah menampilkan bau komedi dengan musik atau ekspresi aktor, sementara di novelnya ditampilkan dalam frasa humor.
Dalam hal sinematografi, Seno memuji adaptasi dalam delapan episode di bagian pertama ini. Film itu, dia mengungkapkan, digarap dengan detail di studio dan menggunakan efek dari perangkat lunak komputer atau computer-generated imagery. Film itu, dia mengimbuhkan, juga menampilkan karakter-karakter yang kuat sebagai sinema realis.
Gabriel García Márquez dikenal sebagai pelopor realisme magis di Amerika Latin. Dalam The Encyclopedia of Twentieth-Century Fiction (2010), Neil ten Kortenaar menegaskan bahwa istilah “realisme magis” tak mudah didefinisikan. Maknanya kira-kira adalah gabungan fantasi dengan realisme, tapi keduanya tidak diperlakukan sebagai dunia yang terpisah, seperti yang terjadi pada genre gotik. Namun garis batas di antara keduanya terkaburkan.
A.S. Laksana, sastrawan yang intens mempelajari novel Márquez, menggambarkan realisme magis Márquez seperti cara pandang warga Macondo terhadap dunia yang berbeda dari dunia kita. “Sesuatu yang bagi kita ajaib, seperti orang terbang, bagi mereka biasa saja. Sebaliknya, mereka terkagum-kagum pada sesuatu yang bagi kita biasa, seperti teleskop,” ujarnya pada Rabu, 18 Desember 2024.
Menurut Seno Gumira, yang mewakili realisme di film ini muncul dalam intro di setiap episode, yang di dalam novelnya sering kali tidak jelas atau kabur. Ia mencontohkan salah satu adegan di film ketika Úrsula melahirkan seorang bayi manusia yang utuh, bukan babi seperti dalam novel. Di novel, Márquez menulis bahwa Úrsula pada mulanya seperti melahirkan babi, tapi kemudian baru dijelaskan bahwa itu bayi manusia.
Di film, Seno melanjutkan, semua aspek yang membingungkan di novel tidak dibiarkan dan dijelaskan melalui adegan. Batasnya jelas antara mimpi dan kenyataan. “Magis-realisnya disajikan realis, yang di novel itu dicampur aduk,” katanya. Film memerlukan gambaran yang jelas dan adegan yang urut dan ada urutan waktu sehingga membutuhkan beberapa episode untuk memaparkannya.
Menurut Laksana, novel Márquez sebenarnya mewakili Amerika Latin secara keseluruhan dan tak memiliki rujukan pada lokalitas tertentu. Namun, “Film ini menambahkan detail Kolombia,” ucapnya. Ini, dia menjelaskan, karena film dibikin per adegan dan setiap adegan harus terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu dengan budaya tertentu. “Untuk keperluan tersebut, film ini menambahkan unsur Kolombia. Detail ditambahkan untuk membangun kehidupan yang lebih referensial, tapi memang jadi menyempitkannya.”
Novel Márquez, misalnya, tak merinci seperti apa rumah-rumah di Macondo. Márquez hanya melukiskan Macondo sebagai “sebuah perdesaan yang terdiri atas 20 rumah yang terbuat dari batu bata, yang dibangun di tepi sebuah sungai dengan air jernih yang mengalir melewati batu-batu yang mengkilat, putih, dan besar seperti telur-telur dari zaman prasejarah”. Novel itu juga tak merinci model baju yang dikenakan orang-orang Macondo. Bisa dibayangkan bahwa film, yang membutuhkan visualisasi, harus melengkapinya dengan rumah dan baju yang jelas seperti apa. Kita menyaksikan sutradara membangun Macondo seperti dusun di Kolombia dengan rumah-rumah kolonial ala Spanyol berbagai warna dengan kolom-kolom atau tiang melengkung dan teras pendek berpagar. Baju mereka pun mengingatkan kita pada baju-baju tradisional Kolombia.
Keputusan memberi warna Kolombia pada film ini tampaknya atas izin dan keinginan Rodrigo dan Gonzalo García Barcha, dua putra Márquez dan produser eksekutif film ini. Márquez menilai novelnya ini mewakili kesadaran sebuah benua. Karena itu, adaptasi karya ini menuntut sejumlah tanggung jawab yang luar biasa. Márquez telah lama menyatakan kekhawatirannya bahwa satu atau dua film tidak akan mampu mengekspresikan cerita yang mencakup satu abad krisis dan konflik di Macondo. Dia juga menyatakan kekhawatiran bahwa bila adaptasi itu dilakukan tidak dalam bahasa Spanyol, sekali lagi, ia akan menghilangkan elemen penting dari novel tersebut.
Rodrigo García Barcha menyatakan bahwa ayahnya ingin melihat cerita tersebut disampaikan dalam bahasa Spanyol. Itulah salah satu alasan banyak tawaran “tidak diterima”. Sekarang, “Orang-orang lebih bersedia menonton serial yang diproduksi dalam bahasa asing dengan takarir. Semua itu tampaknya menjadi masalah yang tidak lagi menjadi masalah,” tuturnya kepada The New York Times.
Syuting film ini sepenuhnya dilakukan di Kolombia. Menurut CNN, tim produksinya bekerja sama dengan masyarakat adat di seluruh Kolombia, termasuk para perajin dari suku Zenú di Córdoba yang membuat keranjang anyaman untuk pertunjukan. Adapun warga suku Chimila di Magdalena membuat tempat tidur gantung tradisional yang disebut chinchorro. Perancang kostum juga meneliti sejarah Kolombia dan merujuk pada lukisan cat air dari masanya untuk memvisualisasi Macondo.
Kendati demikian, Seno Gumira menegaskan bahwa novel dan film adalah entitas yang berbeda. Film mempunyai haknya sendiri untuk menafsirkan cerita. Ia juga menjadi medium tersendiri. Seno mencontohkan saat novel karya Putu Wijaya, Telegram, diadaptasi menjadi film oleh Slamet Rahardjo. Seno menjelaskan, Telegram bukan film yang buruk. Skenarionya berbeda karena merupakan tafsiran terhadap novel tersebut. “Tapi saat itu Putu Wijaya enggan menonton film tersebut.”
Seno juga menyebutkan bahwa pada dasarnya narasi-narasi cerita rakyat di Indonesia, seperti Sangkuriang dan Bandung Bondowoso, adalah bentuk realisme magis yang tidak kalah dengan karya Márquez. “Hanya, bagaimana pengolahan narasi itu dan tergantung siapa yang menguasai informasi tersebut,” ujarnya.
***
NOVEL Seratus Tahun Kesunyian telah menjadi klasik dan realisme magis Gabriel García Márquez berpengaruh kuat pada perkembangan sastra dunia. Penelitian Alvaro Santana-Acuña, yang dipublikasikan di jurnal American Journal of Cultural Sociology pada 2014, menunjukkan bahwa karya itu telah “menular” di 56 negara selama 1967-2013. Márquez bersama pengarang seperti Miguel Ángel Asturias dan Alejo Carpentier telah membawa realisme magis Amerika Latin ke taraf global.
Edisi bahasa Indonesia novel itu muncul pertama kali pada 2001 sebagai Seratus Tahun Kesunyian. “Realisme magis menjadi semacam mode pada masa itu,” kata A.S. Laksana tentang pengaruh novel tersebut di kalangan sastrawan di awal 2000-an.
Laksana tak menampik pendapat bahwa dia sebagai pengarang juga terpengaruh. “Saya mengetik ulang naskah novel itu untuk memahaminya. Sebab, saya tidak bisa membaca cepat dan novel itu rumit sekali. Dengan mengetik ulang, saya bisa membacanya secara lambat,” ucapnya.
Laksana mengatakan cara bercerita Márquez membuatnya menyadari bahwa ada banyak cara untuk menceritakan sesuatu. Márquez juga tak menggambarkan secara rinci tokoh-tokohnya. “Itu ada pengaruhnya pada cerita-cerita pendekku yang tidak mementingkan detail fisik karakter,” ujarnya. Tantangannya, dia memaparkan, adalah melepaskan diri dari pengaruh itu.
Marco Ramírez Rojas, dalam buku Historical and Cultural Interconnections between Latin America and Asia (2020), menunjukkan bahwa novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan cocok dengan definisi klasik realisme magis, yakni “hal-hal yang menakjubkan tampaknya tumbuh secara organik dalam hal-hal yang biasa, sehingga mengaburkan perbedaan di antara keduanya”. Meskipun demikian, dia mencatat bahwa Eka sendiri menilai novelnya sulit dikelompokkan dalam satu genre tertentu.
Novel dan cerita pendek Triyanto Triwikromo, sastrawan Semarang dan dosen penulisan kreatif di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, juga kerap dihubungkan dengan realisme magis. “Saya tidak mengatakan realisme magis, tapi saya tinggal di Jawa. Dalam realisme Jawa, pertemuan antara yang realis dan magis itu adalah sesuatu yang wajar,” katanya pada Selasa, 17 Desember 2024.
Di Jawa, Triyanto menerangkan, yang nyata dan tidak nyata adalah nyata. Dalam cerpen “Sayap Kabut Sultan Ngamid”, misalnya, dia menggambarkan, ketika Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda di Magelang, Jawa Tengah, Haji Ngisa dan Ali Basah Gandakusuma melihat sayap di bahu Sang Pangeran. “Orang bisa menilai bahwa sayap itu adalah perspektif spiritual Haji Ngisa,” ucapnya.
Dalam realisme Jawa, Triyanto menjelaskan, hal yang magis dan realis bercampur. Triyanto menilai realisme Jawa dan realisme magis pasti memiliki kesamaan. Namun, menurut dia, realisme magis memberontak terhadap realisme Barat, sementara realisme Jawa adalah pandangan yang lazim di kalangan masyarakat Jawa.
Triyanto akan menerbitkan novel barunya, Seperti Gerimis Merah di Auschwitz, pada 2025. Novel berlatar Jerman itu, dia mengungkapkan, juga penuh kemagisan. “Bayangkan, di Jerman juga ada yang magis seperti itu,” tuturnya. ●
Iwan Kurniawan berkontribusi di dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Seabad di Macondo"