Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mitos Buaya dan Kritik Lingkungan pada Karya Rizka Azizah

Rizka Azizah tergugah oleh mitos buaya di daerah asalnya, Banjar, Kalimantan Selatan. Menyajikan kritik lingkungan.

19 Desember 2024 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rizka Azizah Hayati kerap memanfaatkan bahan kain dengan teknik pewarnaan khas.

  • Dia mengangkat mitos buaya yang nyaris punah dalam budaya Banjar.

  • Rizka Azizah Hayati adalah finalis Bandung Contemporary Art Awards #8 pada 2024.

KAIN, benang, tali, rami, bambu, rotan, dan kayu (bahan serat, baik alami maupun sintetis) makin tampak tampil sebagai materi unggulan dalam seni rupa kontemporer kita. Belakangan, kita menyaksikan karya dengan teknik jahit, bordir, sulam, rajut, anyam, ikat, tenun, makrame, dan quilt makin banyak dipraktikkan perupa. Karya-karya semacam itu menyita perhatian di ruang pameran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian perupa bahkan adalah spesialis, penekun dalam bahan tertentu dan giat mengembangkan teknik seni serat. Tak perlu mengatakan itu semua berkaitan dengan kekhasan perempuan atau "seni perempuan". Kreativitas dalam penggunaan material niscaya melampaui kategori gender. Seiring dengan itu, perhatian pada seni dan ungkapan wastra sesungguhnya juga meluas di berbagai kalangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya Rizka Azizah Hayati menampilkan kecenderungan itu pula. Meski bukan spesialis, perupa ini kerap memanfaatkan bahan kain dengan teknik pewarnaan khas yang menghasilkan efek karat (iron rust dye) pada beberapa karyanya. Pameran tunggal pertamanya di Galeri Nadi, Jakarta, yang bertajuk “Manusia Sungai” (3-28 Desember 2024) menunjukkan ketertarikannya pada bahan berserat. Ia menghadirkan 2 karya instalasi berukuran besar, 7 obyek kecil berbahan campuran, serta 18 lukisan terbaru pada kanvas dan sejumlah lukisan pastel minyak di atas kertas.

Rizka Azizah Hayati mempelajari seni rupa di Universitas Negeri Malang (2014-2018), Jawa Timur, lalu menyelesaikan pendidikan magisternya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2019-2022). Tahun ini, ia menjadi finalis Bandung Contemporary Art Awards #8.

Perupa yang lahir pada 1996 itu tergugah oleh mitos lama di daerah asalnya, Banjar, Kalimantan Selatan. Dia lahir dan besar di sebuah desa di pinggir Sungai Martapura yang dikelilingi rawa-rawa. Kebudayaan campuran yang melingkunginya—Dayak, Melayu, dan Islam—akrab dengan mitos buaya sebagai leluhur penjaga sungai. Dua karya instalasinya dalam pameran ini berhubungan dengan keberadaan mitos itu: tradisi sesajen dan ingatan kepada sang penunggu dunia purba yang kini masih dipercayai sedikit orang.

Magical Crocodile (2022) adalah karya instalasi suasana yang menghadirkan meja-kursi yang dibungkus kain putih, lilin, dupa, serta dua patung lunak berwujud tengkorak dan rangka yang utuh. Ada pula benda-benda fisik, uap, dan aroma dupa. Kain-kain putih yang membungkus meja dan kursi adalah barang keramat, peranti yang biasa digunakan untuk upacara ruwatan leluhur oleh kakeknya.

Nunu, penikmat seni, mengamati karya Rizka Azizah Hayati dalam pameran di Nadi Galeri, Jakarta, 10 Desember 2024. Tempo/Charisma Adristy

Suasana di sekitar meja santap yang mistis dan sureal itu menarik bukan hanya karena asap dan bau dupa yang mengundang dari jauh. Sosok buaya raksasa yang tinggal rangka itu melingkar di sekitar meja dan muncul dengan kepala tegak yang angker di atas meja. Di mana-mana mitos lama memang nyaris punah, tapi pesannya ibarat rangka yang agaknya, bagi Rizka, tetap memiliki makna. Penutup meja adalah beberapa lembar kain yang tampak dijahit-sambung atau dijelujur sekadarnya. Berada di sekitar karya ini, kita akan tertarik mengamati tubuh kosong sosok buaya: lilitan kain bernuansa kuning dengan bercak karat yang membungkus seluruh rangka makhluk itu.

“Tulang-tulang” itu terkesan purba, perkasa, tapi sekaligus lunak atau lembek. Citra rangka berbahan kain dan kabel kawat berfungsi seperti “kaki seribu” sang jerangkong. Pengolahan dan penyajian bahan-bahan sederhana yang digunakan Rizka pada karya ini sayup-sayup memberi efek yang diharapkannya: kuasa mitos yang sudah meredup. Citra dan warna kuning tipis kain menandai kekeramatan, benda yang terjumpai tersampir pada makam para tetua di kalangan orang Banjar. Kain kuning bernuansa karat kiranya bermakna atau berasosiasi dengan citra keropos. Sayangnya, cahaya yang terlalu putih dan benderang di dalam galeri terkesan agak mengabaikan hadirnya ungkapan simbolis karya ini.

Karya instalasi terbarunya, Rumahku, Rumahmu, Rumah Kita di Dalam Rumah-Rumah (2024), memerlukan ruangan tersendiri di lantai 2. Rizka menghadirkan ruang imajiner dengan menyusun tiang-tiang kayu tua yang sudah keropos pada rumah adat tabon. Ini bagian dari pengalaman nyata sang seniman ketika pulang ke kampung halamannya. Tiang-tiang penyangga atau gelagar yang mencapai ketinggian langit-langit diusung dari desanya di Banjar. Gambaran tentang bentuk rumah panggung suku Dayak, yang umumnya percaya akan dunia atas dan dunia bawah, dihadirkan melalui kubangan dan ketinggian ruang instalasi ini. Karena rumah tradisional Banjar berdiri di atas rawa atau sungai, jumlah penyangganya bisa mencapai 120.

Obyek riil temuan “arkeologis” pada karya instalasi ini sekaligus menjadi ruang penyangga imajiner rangka binatang melata yang merupakan karya tersendiri, Mutasi Melata 1 (2024). Tulang-tulang hewan melata berbahan kain kuning berkarat yang sangat panjang melayang-layang mengitari tiang dan mencapai langit-langit, yang sebagian di antaranya masuk ke kubangan. Air, kubangan, ketuaan, dan makhluk melata mencitrakan kepurbaan dan kesucian. Kehadirannya di galeri dengan cahaya terang benderang terasa datar.

“Manusia Sungai” adalah tema dan kritik lingkungan yang umum pada karya Rizka. Legenda manusia buaya sebagai penjaga sungai tidak dipercayai lagi oleh masyarakat setempat. Cerita tentang kesucian alam kini berubah menjadi kisah petaka ketika ada kabar anak-anak hilang di sungai karena ulah buaya. Sejatinya, manusialah yang kini menjadi ancaman terhadap habitat buaya.

Seni mitos Rizka hendak menggugah pesan baru itu, tapi juga menjadi penanda matinya narasi bermakna dalam mitos. Dalam seni Rizka, penanda-penanda itu tentunya lebih kaya dan mendalam ketimbang aksesori pada busana mempelai perempuan dalam pernikahan adat Banjar: bentuk ekor buaya dalam wujud untaian janur. Seperti hiasan janur, penggambaran mitos dan seni kain kuning karat Rizka juga berkenaan dengan halilipan: kerendahan hati di hadapan alam seluasnya. 

Tujuh obyek pada serangkaian karyanya yang diberi judul Detail-detail dalam Tanda (2024) masih konsisten menggunakan bahan-bahan kain sisa yang dicampur dengan benang dan efek warna karat. Konstruksi obyek-obyek kecil ini menghadirkan imaji rangka, tulang, dan tengkorak binatang melata. Tapi elemen-elemen visualnya juga menandai ambang abstraksi karyanya: benang-benang menjadi garis-garis yang bebas-lepas, lembar kain adalah batas bidang berwarna, dan ikatan-ikatan kawat menjadi tekstur nyata. 

Jejak-jejak artistik garis, seperti citra penyangga yang hitam keropos, serakan tulang, bayang-bayang lembut kain, warna karat, dan imaji kepala buaya, dapat kita rasakan juga pada beberapa lukisan kanvas dan kertas. Tapi narasi dan ingatan pada makna mitos dalam karya-karya dwimatra ini cenderung menjadi abstraksi visual yang lebih umum.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hendro Wiyanto

Hendro Wiyanto

Penulis seri rupa

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus