Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik Rempah Joko Porong

Komposer Joko Porong terilhami rempah dalam suguhan musikal yang digelar di Taman Budaya Jawa Timur. Tidak dihadiri penonton. Disiarkan secara daring.

1 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Jejamu, Ritus Rempah untuk Bunyi di gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya./Dok. TBJT

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNYI gender, gambang, seruling, dan rebab bersahutan dengan keyboard membuka pertunjukan Jejamu, Ritus Rempah untuk Bunyi di gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Senin, 20 Juli lalu. Semula, pekikan seruling terasa dominan. Namun bunyi itu mundur perlahan, sampai akhirnya tenggelam oleh irama yang terdengar sama rancaknya dari kedelapan penampil. Tak lama, masuk suara Angelica, vokalis yang membuat komposisi pembuka gubahan Joko Winarko alias Joko Porong ini terdengar menyayat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah jeda, Angelica menghilang ke balik panggung. Sebagai gantinya, muncul pemain flute, trombon, trompet, dan alat musik bambu. Suasana perlahan bergulir menjadi ceria. Bunyi trompet yang sekilas bagai ditiup suka-suka membuat komposisi kedua menjadi terdengar jenaka. Unsur komedi juga disokong suara para penampil pria yang berseloroh penuh semangat, mengendurkan kesenduan yang dihadirkan tembang pertama. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lain lagi di komposisi ketiga. Di lagu pamungkas pertunjukan ini, Angelica kembali bernyanyi. Kali ini nadanya nelangsa dan emosional, diiringi instrumentasi yang terdengar mistis. Suara musik tradisional yang berbaur dengan instrumen modern membuat lagu ini terdengar megah. 

Joko Porong menyebut komposisinya sebagai musik hibrida, karena memadukan banyak alat musik dan lintas pengetahuan. Ia meminta pemainnya merunduk, menanggalkan ego. Untuk pentas yang disiarkan langsung di kanal YouTube Gamelan Sawunggaling itu, Joko Porong mengadopsi rempah-rempah ke tiga bagian karyanya. “Filosofi jamu sebagai bahan rempah itu kami terjemahkan ke sajian musikal,” ujarnya saat ditemui di Taman Budaya Jawa Timur, Kamis, 23 Juli lalu. 

Menurut Joko, rempah merupakan jenis tumbuh-tumbuhan aromatik yang kuat dan multiguna. Bukan hanya menjadi zat pemberi rasa, rempah juga menjadi pewarna, pengawet makanan, dan bahan obat-obatan. Itu yang membuat Joko menilai rempah sebagai tanaman yang mampu bekerja sama. “Ini membuktikan rempah mampu melintasi batas teritorial kelokalan. Rempah telah menjelma menjadi komoditas global,” katanya. Joko melanjutkan, perdagangan rempah pada masa lampau juga menjadi ajang pertemuan beragam jenis musik yang kemudian melebur menjadi karya hibrida. 

Alasan itu pula yang mengilhami Joko meracik komposisi baru. Ia menerjemahkan rempah sebagai pemantik lahirnya karya musik. Dalam bahasa Jawa, jejamu berarti tindakan mengonsumsi jamu, yang dia maknai sebagai upaya mengobati keterpurukan pelaku seni akibat pandemi Covid-19. “Kami ingin wadah ini menjadi sarana atau ramuan yang bisa mempertemukan para pelaku seni,” ucapnya. 

Panggung virtual dibuka dengan video pendek. Tampak adegan dua lelaki sedang memutus rempah bumbu di kebun. Adegan beralih ke sosok penjual jamu, rempah-rempah, baru kemudian kamera menyorot ke panggung. Di sana tampak semua pemain lebih dulu jejamu sebelum beraksi. Video ini semacam cantelan yang membikin pertunjukan menjadi layak menyandang tajuk jejamu.

Suwandi Widianto sebagai host (kiri), dan Jokoporong (kanan) dalam pentas Jejamu, Ritus Rempah untuk Bunyi di gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya./Dok. TBJT

Joko membagi pertunjukannya menjadi tiga: “Semampir” pada bagian pertama, “Senandung” di bagian kedua, dan “Semaput” sebagai pamungkas. “Semampir”, ujar dia, terilhami kekuatan kandungan rempah-rempah yang menjadi bahan membuat jamu. Sedangkan “Senandung” terinspirasi perempuan penjual jamu gendong. Lain lagi “Semaput” (pingsan), yang dimaknai sebagai ketidaksadaran akan jalur-jalur perdagangan rempah yang berandil dalam proses pertemuan, pengembangan, bahkan penemuan hal-hal baru, seperti rasa, aroma, dan pengetahuan 

Tiga babak pertunjukan itu masing-masing berdurasi 15 menit. Joko menyebut karyanya ibarat masakan yang belum matang betul karena ia hanya mempersiapkan komposisi musiknya dalam waktu sebulan. Sejatinya, tutur Joko, yang juga dosen Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, masih memerlukan sekitar dua bulan lagi untuk menggodok bahan itu. 

Karena pertunjukannya daring (online), Joko membuat pengantar cukup panjang berisi nukilan wawancara dengan sejumlah seniman tentang dirinya. Petikan video itu semacam upaya melegitimasi usaha Joko sebagai seniman yang terbuka terhadap eksperimen. Video yang kebanyakan dibuat swarekam itu merangkum perjalanan karier Joko selama ini. Ada yang memujinya sebagai seniman yang piawai memainkan materi dan jago membuat sisi dramatis serta selalu mengembuskan napas tradisi ke karyanya. 

Joko Porong, master studi karawitan di Institut Seni Indonesia Surakarta, Jawa Tengah, sempat bergabung dengan Karawitan Warga Laras yang dikelola Ki Seno Nugroho dan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Yogyakarta. Ia kemudian mendirikan komunitas musik dan menciptakan sepuluh komposisi. Baru pada 2011 Joko berpindah ke Surabaya. Ia tak hanya mengajar di Universitas Negeri Surabaya, tapi juga memimpin grup Gamelan Sawunggaling. 

Riset pertunjukan musikal beraroma rempah sudah dilakukan Joko pada 2017. Tapi pertunjukan urung dipentaskan karena ia disibukkan oleh acara kesenian lain. Setelah itu, ia berencana menggelar pentas di kampusnya. Lagi-lagi rencananya gagal karena virus corona mendera. Setelah kampus ditutup, mahasiswa dan koleganya sesama dosen di Sendratasik dari luar Surabaya pulang kampung. Walhasil, ia mesti kembali menggarap proyeknya dari nol. 

Joko mengawalinya dengan memoles rumahnya sebagai tempat latihan bersama sebagian anggota komunitas Gamelan Sawunggaling yang berdomisili di Surabaya dan Sidoarjo. Komunitas tersebut adalah bagian dari kegiatan ekstrakurikuler Universitas Negeri Surabaya yang dipimpin Joko. Setelah siap, ia pun meminta izin ke Taman Budaya Jawa Timur untuk diperbolehkan berpentas di sana, tentunya dengan memperhatikan protokol kesehatan dan tak dihadiri penonton. “Pentas virtual kami sekaligus menjadi tolok ukur Taman Budaya. Bila lancar, akan digelar kegiatan serupa menyikapi pandemi,” ucapnya.

KUKUH S. WIBOWO, ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus