Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NODA cat air pada kanan dan kiri dinding telah mengering. Dua meja berukuran besar tampak berdebu tipis di ruangan berlantai marmer itu. Sementara itu, dari kaca jendela tampak sawah basah yang mulai ditanami, menyiratkan tanda harapan dan kehidupan. Kontras dengan suasana sepi di lantai tiga bangunan workshop di Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Ruangan itu kini melompong setelah pemiliknya, I Wayan Bendi, wafat pada Rabu, 15 Juli lalu, pukul 23.30 Waktu Indonesia Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I Wayan Bendi, perupa kelahiran Batuan, meninggal di Rumah Sakit Umum Puri Raharja, Denpasar, pada usia 70 tahun. Upacara ritual ngaben dilakukan keesokan harinya. Adiknya, I Ketut Sadia, mengatakan Wayan Bendi memiliki riwayat sakit gagal ginjal dan komplikasi penyakit jantung tiga tahun terakhir. Karena itu, sang kakak rutin menjalani cuci darah dua kali sepekan, termasuk sebelum mengembuskan napas terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bendi dikenal sebagai pelukis tradisi kontemporer. Karya-karyanya khas. Tidak seperti kebanyakan pelukis tradisi di Batuan yang menampilkan suasana kehidupan di Pulau Dewata, Bendi berani mendobrak tradisi. Unsur kebaruan non-alam, seperti turisme, mobil, hingga helikopter, menjadi ciri lukisan Bendi. Selain itu, ia senang membuat lukisan berukuran jumbo. “Untuk lukisan tradisi, ini sulit dilakukan,” kata saudara Bendi, I Wayan Diana, Selasa, 21 Juli lalu.
Modern Life (1991), karya I Wayan Bendi/Dok. Keluarga/Repro/Made Argawa
Dalam berkarya, Bendi juga pantang melakukan koreksi. Dalam lukisan tentang bom Bali, entah sengaja entah tidak, Bendi menulis “teror” menjadi “telor”. Namun, dalam hal lukisan khas seperti tentang peristiwa bom Bali ini, dia tidak sembarangan melepas karyanya kepada kolektor. Meski sudah ditawar beberapa kali oleh wisatawan asing, karya berukuran sekitar 3 x 8 meter itu masih dia simpan hingga akhir hayatnya.
Lukisan khas Bendi lain adalah yang bertutur tentang kegiatan masyarakat berlatar budaya Jepang dan Bali. Lukisan berukuran 6 x 3 meter itu kemudian dicetak pada keramik 15 x 3 meter dan dipajang di salah satu museum seni di Fukuoka, Jepang. “Bendi sempat diundang ke Jepang pada 1995 untuk melihat lukisannya, juga diminta mengoreksi cetakan pada keramik,” ucap Wayan Diana. Bendi juga sempat diundang ke Istana Singapura untuk melukis suasana. Ia lalu menggambar patung Merlion, maskot Negeri Singa itu.
Dalam banyak lukisan Bendi, I Ketut Sadia menyebutkan sang kakak selalu abai terhadap urusan ukuran. Kadang Bendi menggambar manusia lebih besar daripada mobil. “Namun, karena berani tampil beda, ia jadi terkenal,” ujarnya. Begitu pun soal obyek lukisan, Bendi keluar dari kebiasaan dengan membubuhkan unsur modern. Hal itu diklaim Sadia sempat membuat kakaknya menjadi bahan pergunjingan.
Walhasil, Bendi muda mesti bekerja keras menjajakan lukisannya. Beruntung ia kemudian bertemu dengan Wayan Senter, pemilik Art Shop Jati. “Katanya ini lukisan berbeda, Bendi diminta tetap seperti itu,” tutur Sadia. Selain itu, lukisan Bendi yang nyeleneh ternyata diminati wisatawan. Selain terdapat unsur modern, lukisan Bendi memiliki warna yang khas. Ia terkesan menampilkan satu warna, yakni tanah (oker). Sadia menyebutkan Bendi menggunakan warna itu sekitar 15 tahun terakhir. Warna itu digunakan sebagai identitas.
Gaya kontemporer lukisan Batuan diwariskan Bendi kepada adik-adiknya. Meski tidak liar dengan membuat gambar wisatawan duduk di atas helikopter seperti kakaknya, Sadia dan Diana juga memasukkan unsur modern, seperti mobil atau suasana pantai dengan aktivitas turisme.
• • •
I Wayan Bendi adalah sulung dari sebelas bersaudara. Ia lahir di Banjar Pekandelan, Desa Sukawati, Gianyar, dari pasangan Wayan Taweng dan Ni Wayan Bari. Wayan Taweng merupakan pelukis tradisi Batuan. Selain Bendi, empat anak Wayan yang pelukis adalah I Ketut Sadia, I Wayan Diana, I Made Gryawan, dan Ni Nyoman Merti. Semuanya tinggal di sekitar Desa Batuan.
Dulu Wayan Taweng mengajari langsung anak-anaknya melukis. Namun ia menekankan agar anak-anaknya membuat lukisan yang berbeda. Diana mengaku sempat kecewa karena rata-rata pelukis di Batuan mengajari anak mereka hingga membuat bentuk dan tidak ragu memperbaiki jika ada kesalahan sketsa.
Seperti sang bapak, Bendi juga mengajari anak-anaknya melukis. Salah satunya Wayan Eka Budi. Bendi menikah tiga kali. Dengan istri pertama, Ni Wayan Rapeg, ia memiliki empat anak. Adapun dengan istri kedua, Ni Made Meji, ia mempunyai dua anak dan dengan istri ketiga, Ni Nyoman Sulasih, satu anak. Selain melukis, sehari-hari Bendi rutin beraktivitas di pantai. Ia biasanya pergi ke Sanur sekitar pukul 11.00 hingga menjelang senja.
Saban sore, ia juga sering kongko dengan tetangga dan warga sekitar rumahnya. Adapun aktivitas melukis biasa ia lakukan mulai pukul 05.00. “Banyak yang heran beliau bisa santai tapi produktif,” kata Ketut Sadia. Bendi juga aktif di desanya. Ia biasa menyampaikan pendapat meski tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi, hanya tamatan sekolah dasar.
I Wayan Bendi, semasa hidup./Dok. Keluarga/Repro/Made Argawa
Pemilik museum Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Agung Rai, menilai Bendi sebagai sosok yang blakblakan dan ceria. “Dia senang ngobrol,” tuturnya. Menurut dia, Bendi beberapa tahun terakhir juga senang membicarakan perihal leluhurnya yang merupakan keturunan seorang patih besar di Bali yakni, Kebo Iwa dari Kerajaan Bedahulu. “Sifat tegasnya saya suka,” ucapnya.
Munculnya tokoh yang menyerupai kartun sebagai gambaran wisatawan pada lukisan Wayan Bendi mendapat apresiasi dalam pameran di Amerika Serikat lima tahun lalu. Pameran ini juga menampilkan karya Wayan Taweng dan empat saudara kandung Bendi. Agung Rai mengungkapkan, ia pernah membeli lukisan Bendi dari seorang kolektor di Swiss. Saat ini enam lukisan Bendi terpajang di ARMA. Sebagai pelukis tradisi kontemporer, Bendi disebut memulai evolusi pada seni lukis Batuan.
Batuan pada era Bali kuno merupakan pusat seni dan budaya. Keluarga Wayan Taweng adalah salah satu yang aktif berkesenian. Mereka tidak hanya melukis, tapi juga menari. “Bendi dan bapaknya adalah penari gambuh,” ujar Agung Rai.
Pengamat seni, Jean Couteau, menilai I Wayan Bendi menjadi sosok marginal karena berani mendobrak tradisi. Tapi masuknya unsur modern masih terkesan harmonis. “Tidak terlihat kontradiktif,” katanya. Unsur nasionalisme juga dirangkul Bendi dengan munculnya bendera Merah Putih atau lukisan yang menampilkan perang kemerdekaan atau perang revolusi.
Sebagai pelukis dengan latar belakang tradisi, Couteau menyoroti karya Bendi yang masih minim kritik terhadap sisi negatif pariwisata. Tapi hal tersebut bisa jadi timbul karena di Ubud atau Batuan tidak terlihat dampak buruk pariwisata seperti di Bali selatan, misalnya alih fungsi lahan pertanian yang masif. “Pariwisata berarti pekerjaan, kerajinan, hingga pengakuan,” tuturnya.
MADE ARGAWA (BALI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo