Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prajna Murdaya baru menyadari bahwa ia anak konglomerat setelah berusia 20-an tahun.
Prajna membangun studio yang nyaman bagi semua orang untuk menuangkan kreativitasnya.
Prajna kini digandeng pemerintah Singapura untuk membangun pusat kreativitas terbesar di dunia.
KETIKA Prajna Murdaya berbicara, kilasan gambar dan aktivitas yang hanya bisa dimiliki segelintir orang muncul di layar: rumah mewah yang lapang, berpesta dalam jet pribadi, mengendarai mobil BMW, dan melaju di atas laut dengan perahu canggih. “Saya kadang berpikir, kenapa mereka membeli BMW seri 7, seri 5, seri 3? Kenapa tidak membeli yang terbaik? Kok, membeli yang murah, sih? Jujur, saya butuh waktu untuk memahami itu,” kata Prajna, 44 tahun, dalam salah satu segmen film dokumenter Diam & Dengarkan, yang dirilis di akun YouTube Anatman Pictures sebulan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua itu menggambarkan hidup Prajna yang penuh kemakmuran. Pada umur 20-an tahun, putra pasangan konglomerat Murdaya Poo dan Siti Hartati Murdaya itu baru sadar bahwa tak semua orang bisa mendapat kenyamanan tersebut. Dengan latar belakang orang tuanya, banyak yang mengira Prajna berbahagia dan bisa memperoleh apa pun yang dia kehendaki. Namun ia menyatakan tak senang. “Hal lain yang tak menyenangkan berasal dari keluarga yang memiliki status dan kekuasaan adalah kamu tidak bisa berbicara dengan siapa pun, kamu selalu harus berhati-hati saat berbicara. Itu membuat saya merasa kesepian,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang tua Prajna adalah pemilik grup Central Cipta Murdaya, yang menjalankan bisnis real estate, agrobisnis, manufaktur, hingga teknologi informasi. Mereka mengembangkan, antara lain, kawasan Pondok Indah dan WTC Sudirman, Jakarta. Mereka juga memiliki JIExpo di Kemayoran, yang menjadi tempat pameran terbesar di Indonesia; mendirikan pabrik sepatu olahraga League; serta mengelola perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah. Hartati sempat mendekam di penjara karena terbukti menyuap untuk mengurus perizinan perkebunan tersebut.
Itu baru secuil bisnis keluarga mereka. Pada 2019, Forbes mencatat nama Murdaya sebagai orang terkaya ke-13 di Indonesia. Adapun Hartati masuk daftar lima perempuan terkaya di Indonesia. “My parents are rich, but I’m not rich,” ucap Prajna kepada Tempo melalui konferensi video, Selasa, 28 Juli lalu.
Orang tua Prajna mengirimnya ke luar negeri sejak ia masih berusia balita. Ia tinggal di Singapura saat berusia dua setengah tahun dan dipindahkan ke San Francisco, California, Amerika Serikat, ketika umurnya lima tahun. Ia tinggal di Pacific Heights, kawasan paling top di San Francisco, dan belajar di sekolah elite: Town School for Boys dan San Francisco University High School. Ketika itu, Prajna yang gemar bernyanyi berulang kali meminta masuk ke sekolah musik, tapi orang tuanya menolak. Ia, yang sejak kecil berusaha menyenangkan orang tuanya, hanya bisa memendam mimpi itu.
Kepatuhan kepada orang tua pula yang mengantarnya kuliah di salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia, Stanford University. Ia mengambil jurusan teknik elektronika saat kuliah S-1 dan teknik industri pada jenjang S-2. Hartati meraih gelar master bisnis administrasi di universitas itu. “Sejak saya kecil dia bilang, ‘Mami sangat senang jika kamu berkuliah di Stanford’,” ujar Prajna, yang saat ini tinggal di Singapura.
Saat kuliah itulah Prajna baru sadar bahwa ia anak orang kaya. Semua itu gara-gara ayahnya membelikannya mobil premium Acura. Kawannya di grup musik akapela mengatakan hanya orang berada yang mampu membelinya. Ia pun baru mengetahui tak semua orang bisa membeli mobil dan rumah secara kontan seperti keluarganya. “Saya pikir nyicil kan enggak bagus, bunganya berat. Saya enggak ngerti bahwa orang enggak bisa beli langsung,” kata Prajna, yang setelah lulus kuliah mengurus bisnis kayu lapis keluarganya di Amerika.
Prajna baru menetap di Indonesia selepas serangan teroris yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center di New York pada 9 September 2001. Peristiwa itu membuat urusan perpanjangan visa menjadi ribet dan lelet. Karena bosan menunggu, ia pulang dan mengurus bisnis sepatu milik keluarganya. Mereka memproduksi sepatu untuk Nike dan membuat merek sendiri, League.
Masalah datang pada 2007. Nike Inc ingin menghentikan kerja sama yang sudah berlangsung 17 tahun. Keluarganya puyeng karena ada 14 ribu karyawan yang bekerja di sana. Ribuan buruh berunjuk rasa di depan kantor perwakilan Nike di Gedung BEJ. Jusuf Kalla, wakil presiden saat itu, ikut turun tangan bernegosiasi dengan Nike. Perusahaan asal Amerika itu akhirnya mau memperpanjang masa transisi selama dua setengah tahun sebelum menarik diri. “Kami bisa pelan-pelan memindahkan buruh bekerja di tempat lain, memproduksi League, dan mencari pelanggan lain, meski kami tak menemukan pelanggan yang besar seperti Nike,” tutur Prajna.
Setelah Nike keluar, tingkat produksi sepatu perusahaan mereka melorot. Untuk menggenjotnya, Prajna mengubah sistem dalam perusahaan. Cara itu mampu mengerek produktivitas hingga 300 persen. Namun ibunya tak menyukai perubahan itu dan memecat tim yang direkrut Prajna. Ide-ide Prajna yang lain pun ditolak.
Prajna Murdaya di studio musiknya. Dok. Prajna Murdaya
Setiap kali dianggap tak sanggup mengurus perusahaan, ia diminta berpindah dari satu bisnis ke bisnis lain. Tapi lagi-lagi inovasi yang ia ajukan untuk mengembangkan bisnis dimentahkan. Kondisi ini membuat dia mengalami stres dan sering sakit. Sampai akhirnya levernya bermasalah. Dokter mengatakan penyakitnya bisa berkembang menjadi sirosis sampai kanker. Prajna sudah memenuhi semua permintaan orang tuanya, tapi, pada akhirnya, kata dia, baik istri, ayah, maupun ibunya tak berbahagia dengan situasi yang ia hadapi. “Karyawan saya pun tak mendengarkan saya.”
Putus asa dengan kondisinya, Prajna keluar dari perusahaan keluarga tanpa pamit pada 2015. Ia kembali kepada cinta pertamanya: musik. Pada dua pekan pertama, ia menghabiskan waktu membereskan ruang tamunya di lantai atas Gedung CCM, Cikini, Jakarta Pusat, dan menjadikannya studio musik. Dia mengumpulkan alat-alat yang selama 20 tahun ia beli untuk menyenangkan diri, termasuk mikrofon yang membuat suaranya menjadi lebih bagus.
Namun ia merasa terlambat banting setir menjadi musikus. Ia meminta kenalannya yang seorang sound engineer, Harmoko Aguswan alias Moko, mengundang kawan-kawan bermain di studionya. Moko antara lain memanggil gitaris Nikita Dompas. Moko dan Nikita kemudian menjadi rekan Prajna dalam mengurus studionya, yang ia beri nama Shoemaker Studios.
Menurut Niki—panggilan Nikita—sejak awal Prajna ingin menjadikan studionya tempat yang nyaman bagi semua orang untuk menuangkan kreativitas. Ia mempersilakan mereka menggunakan peralatannya secara gratis. Niki, yang sudah belasan tahun bergumul di industri musik, bertugas mengurasi tamu. Baru tiga tahun belakangan Prajna mengelola Shoemaker sebagai bisnis.
Lewat jaringan Niki dan Moko, banyak musikus kemudian datang sampai membuat lagu di sana. Di antaranya mantan gitaris band Netral, Christopher Bollemeyer alias Coki; Afgan; Andien Aisyah; Tulus; Yura Yunita dan Reza Rahadian; Barasuara; Candra Darusman; serta penyanyi Malaysia, Sheila Majid. Album #AndienMETAMORFOSA memenangi Album Jazz Terbaik 2018 AMI Awards. Album Candra Darusman, Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman, yang dibuat di studio itu juga memenangi Album Terbaik dan Album Pop Terbaik pada tahun yang sama. “Kalau orang diberi tempat berkarya secara maksimal, pasti hasilnya maksimal,” ujar Niki.
Kegiatan Shoemaker merambah ke hal lain. Salah satunya dengan menjadi promotor konser pemain cello kelas dunia, Yo-Yo Ma, pada 6 Desember 2019. Keuntungan dari konser ini menutup semua biaya yang Prajna keluarkan untuk Shoemaker selama lebih dari tiga tahun.
Prajna kini digandeng pemerintah Singapura untuk membangun pusat kreativitas terbesar di dunia. “Enggak sampai lima tahun lalu saya bingung di studio. Enggak tahu bagaimana caranya mengajak artis. Sekarang saya diajak pemerintah Singapura bikin hub terbesar di dunia. Itu gimana, ya?” ucap Prajna, tersenyum.
Sinartus Sosrodjojo, yang hampir 20 tahun mengenal Prajna, merasakan perubahan dalam diri kawannya itu sejak ia membuka Shoemaker. Sinartus merasa Prajna kini lebih berfokus. “Ketika mengobrol, dia menatap mata lawan bicaranya, tidak terganggu oleh masalahnya,” katanya.
Setelah membangun bisnis lewat studionya, Prajna baru memahami sikap orang tuanya yang berulang kali menolak idenya. Mereka bekerja sangat keras membangun bisnis dari nol. “Ketika saya masuk, mengutak-atik sesuatu yang enggak kepegang, kan, mengganggu buat mereka,” tuturnya.
Orang tua Prajna memintanya kembali menangani bisnis keluarga. Ia mengurus JIExpo dan kadang membantu urusan pemasaran League, seperti meminta Coki, yang sudah berkawan baik dengannya, membintangi iklan League. Urusan bisnis lain masih ditangani orang tua dan adik bungsunya, Karuna Murdaya. “Pada akhirnya, saya melakukan apa yang saya mau,” ucapnya, disusul senyum mengembang.
NUR ALFIYAH, MAHARDIKA SATRIA HADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo