Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharusnya Takuma Sato, pembalap tim F1 Lucky Strike Bar Honda itu, datang ke Jakarta. Menyaksikan ”pawai F1” menelusuri jalan-jalan protokol Jakarta, lalu bertemu pembalap-pembalap muda Indonesia untuk membagi pengalamannya mengarungi ”olahraga maut” itu. Tapi dua pekan lalu, ketika mengikuti Grand Prix di Sirkuit Sepang, Malaysia, ia jatuh sakit, lantas dirawat di Jepang.
Toh karnaval tetap jalan. Pukul 11 siang, Senin lalu, sebuah truk trailer, dengan replika mobil balap putih berlogo Lucky Strike di bak terbukanya, meluncur dari Pancoran. Di belakangnya: iringan delapan buah mobil Honda CRV. Arak-arakan menuju Jalan Gatot Subroto, Jalan Jenderal Sudirman, berbelok di Bundaran Semanggi, kembali ke Jalan Sudirman, Bundaran HI, Menteng, Jalan Cut Meutia, Gambir, Jalan M.H. Thamrin, dan pukul 1 siang berhenti di Museum Nasional atau Gedung Gajah—di Jalan Medan Merdeka Barat.
Kemudian mobil F1 tanpa mesin dengan bubuhan nama Takuma Sato di lambungnya itu diturunkan hati-hati, dipajang di teater terbuka, halaman depan museum. Pengunjung yang ingin melihat arca-arca purbakala Indonesia mungkin heran melihat hari itu pelataran museum begitu meriah: sebuah mobil balap, dengan banyak gadis cantik berfoto di depannya. Inilah rangkaian gebyar Lucky Strike ”Tribe Art”. Sebuah acara seni rupa yang bertema mobil Formula 1.
Tribe Art, entahlah mengapa acara ini memakai nama demikian. Ketika sebulan lalu baliho iklan Tribe Art dipampangkan di kawasan Sudirman, beberapa pencinta seni membayangkan bakal ada pameran tentang aneka karya seni suku-suku pedalaman. Apalagi pelaksanaannya di museum nasional. Tapi itulah imajinasi yang meleset. Tajuk tersebut berkaitan dengan sebuah acara promosi tim balap Lucky Strike Bar Honda F1 Racing.
Tribe Art adalah sebuah program jangka panjang Lucky Strike yang melibatkan serangkaian perupa kontemporer yang terkenal dengan gagasan provokatif. Sebagai awal adalah Julian Opie, perupa Inggris. Ia dipilih karena gagasannya selama ini merefleksikan hiruk-pikuk kehidupan urban, terutama mobil, jalan, kemacetan. Ia seorang yang tertarik menampilkan unsur kecepatan pelbagai jenis kendaraan pada karyanya. Ia sering disebut kritikus internasional sebagai salah satu generasi baru perupa Inggris.
Lelaki ini datang ke Indonesia. Di Jakarta, di ruang pameran yang letaknya sebelah kanan Museum Gajah itu, ia menampilkan karya wall paper (kertas dinding) berjudul: Imagine You Are Driving Fast. Wajah para tim pembalap F1 Lucky Strike Bar Honda antara lain: Takuma Satoi, Jacquies Villeneuve, Oliver Panis, Ryo Fukuda, Jenson Button ditambah wajahnya sendiri, digambar dengan gaya pop, kartunal, berukuran 67 meter dan lebar 4,5 meter. ”Lukisan itu dikirim dari London dalam bentuk gulungan dan dipasang di sini oleh tiga teknisi khusus selama seminggu,” kata Cristine Chandra, salah satu panitia penyelenggara Tribe Art Commission. Ruang pameran dilengkapi efek suara deru mobil formula yang melintas secepat kilat di sirkuit.
Selain karya Opie, Tribe Art juga menampilkan karya kreatif dari tim Lucky Strike dan para profesional yang mendukung tim selama musim balap berlangsung. Misalnya saja Ikan-ikan Hiu karya Alaistair Gibson—ahli mesin tim Lucky Strike—yang membuat patung anatomi hiu dengan menggunakan bahan dasar dari bagian-bagian mobil F-1 dan perangkat mekanik lain. Yang menarik adalah karya Hannes Schmid, seorang fotografer fashion, yang menampilkan 8 layar video art dengan satu tema: supermodel dan formula.
Pameran ini sebelumnya digelar di Milan, Tokyo, dan London. Indonesia sendiri, meski tidak memiliki sirkuit Formula 1 seperti Malaysia, dipilih sebagai negara pertama di Asia Tenggara tempat penyelenggara pameran. Mungkin pihak Lucky Strike melihat kawasan ini memiliki potensi besar bagi pasar rokoknya. Ini mengingatkan Philip Morris—yang membeli sebagian saham Sampoerna itu—yang selama ini aktif menyelenggarakan kompetisi-kompetisi seni rupa Asia.
Kritikus seni rupa Jim Supangkat melihat memang perusahaan-perusahaan rokok besar di Eropa dan Amerika ( juga industri lain) getol menyokong kegiatan seni kontemporer. Philip Morris, misalnya, sering mendanai kurator terbaik dunia untuk menggelar pameran seni. ”Salah satu pameran paling monumental yang diselenggarakan Philip Morris adalah pameran karya-karya Henry Mattise,” kata Jim Supangkat, yang pernah menjadi ketua dewan juri kompetisi Philip Morris Indonesia.
Tapi, lebih dari itu, yang paling penting—menurut Jim—di kalangan perupa Barat sendiri ada kecenderungan baru. Tak seperti dahulu, seniman kini merasa selera dirinya lebih tinggi atau merasa lebih benar secara moral dari masyarakat. Seniman kini, menurut dia, tak tabu menangkap tanda-tanda populer yang ada pada masyarakat, termasuk industri. ”Menurut dugaan saya, kemungkinan Opie yang menawarkan proyek ini kepada Lucky Strike”. Itu lantaran Opie, termasuk seniman Inggris yang radikal setuju terhadap perkawinan seni dan industri ini. ”Masuk ke Formula 1 bukan masuk ’daerah yang kotor’ bagi seniman seperti Opie. Justru ini sebuah tantangan baru,” tutur Jim.
Mengarungi tema yang berkaitan dengan produk industri memang sesuatu yang tak terelakkan. Namun, bagi banyak kalangan lain, yang paling prinsip dipegang adalah keterlibatan itu seharusnya bukan untuk memberikan dukungan—memapankan industri. Tapi merefleksikan secara kritis produk dan citranya. Beberapa ilmuwan sosial belakangan ini, misalnya, mengkritik kecenderungan wacana dalam cultural studies. Wacana yang dalam kajiannya hanya menampilkan fenomena kebudayaan populer (termasuk bisnis seni rupa) tapi tidak membongkar motif ekonomi atau kebutuhan palsu yang sengaja diciptakan untuk konsumen—sesuatu yang dahulu justru diutamakan oleh Raymond William, pelopor cultural studies di Inggris.
Panitia berlogo Lucky Strike hilir-mudik di Gedung Gajah. Tak adanya katalog tebal dan serius yang membeberkan riwayat berkesenian dan minat Julian Opie pada dunia mobil. Dan atmosfer pameran ”lebih menonjol” sebagai ajang kegiatan promosi, bukan pameran seni rupa. ”Dulu, kita masuk museum seperti masuk sebuah gereja, sekarang tidak lagi,” kata Jim Supangkat. Maksudnya, museum sekarang memang harus membuka diri selebar-lebarnya—dengan berbagai kejutan dari setiap seluk-beluk sisi modernitas yang paling urban—termasuk tentunya yang berkaitan dengan industri. Mungkin dengan cara itu kita relaks membaca rangkaian persembahan Tribe Art ini.
Seno Joko Suyono, Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo