SENI rupa menjadi bertambah luas pengertiannya setelah munculnya
'Seni Rupa Indonesia Baru'. Perbincangan tidak hanya mengenai
kwalitas sehubungan dengan sejenis, tapi juga menyangkut materi
penyampaian dan ide kesenian sendiri. Pameran PERSEGI baru-baru
ini berada dalam daerah kontroversi itu pula, dan kiranya cukup
layak kami tampilkan dua resensi yang bertentangan.
Empat puluh tahun yang lalu ada Persagi -- Persatuan Ahli
Gambar Indonesia. Pada 9 Desember 1976, berdirilah Persegi --
Persekutuan Seniman Gambar Indonesia di Bandung.
Anggota-anggotanya berada di Bandung dan Jakarta. 28 Maret s/d 2
April barusan, mereka unjuk bulu di Ruang Pameran TIM, sembari
memperingati Persagi yang sudah tiada itu.
Pameran didukung oleh T. Sutanto (37 tahun), Haryadi Soeadi (39
tahun) Djodjo Gozali (31 tahun), Diddo Kusnidar (31 tahun),
Priyanto Sunarto (31 tahun), Syahrinur Prinka (31 tahun),
Harianto Imam Rahayu (38 tahun), Wagiono (29 tahun), Rusmadi
(32tahun), Rachmat Oseng Gazali (28 tahun). Sudah diketahui,
sebagian mereka juga pendukung 'Seni Rupa Baru Indonesia'.
Revolusi
Yang jelas terasa dalam pameran adalah: keinginan untuk memberi
sentilan dengan gaya lugu dan lucu. Berdasar kenyataan
sehari-hari, dikembangkanlah gambar-gambar yang mengejutkan
karena memberi asosiasi sugestif dan pengalaman yang lain. Tapi
karena semuanya dimulai dengan kesadaran yang tinggi, banyak
gambar terasa tidak spontan-bahkan ada yang akhirnya hanya
mengejar efek. Kita melihat jalan fikiran, kerangka humor
pelukisnya--dengan teknik penyampaian yang tidak menjebak kita
ke dalam tawa. Terasa kita dipaksa tersenyum.
Beda dengan Senirupa Baru yang memberi kita sesuatu yang getir.
Mereka merdeka mempergunakan materi, bebas mengekspresikan
segala, keras dan memberontak--kalau perlu menjungkir-balik.
Dengan sikap jiwa yang santai Persegi mencoba membuat
lelucon--meskipun selain pada Sutanto dan Haryadi,kita merasa
para peserta hanya memainkan keterampilan. Sutanto menunjukkan
kerajinan dan kebersihan, ciri yang khas dari seniman ITB.
Sementara Haryadi yang melukis di kaca--mengingatkan kita pada
kaligrafi Cirebon--menunjukkan sesuatu yang tidak saja segar,
tetapi sederhana dan mengharukan.
Pameran disertai pula dengan sebuah surat kabar bernama Surat
Kabar--terdiri dari 4 halaman. Surat kabar tiruan ini berisi
artikel, potret, iklan, lagu, cerita bersambung -- sebagaimana
layaknya surat kabar edisi hari Minggu. Sebuah artikel misalnya
berjudul: Revolusi Isinya antara lain: "Revolusi berarti
perubahan dengan cepat. Pertama: berubah, kedua: cepat!". Atau
artikel Kewibawaan yang antara lain diisi oleh fikiran
"Kewibawaan berasal dari kata dasar wibawa, diberi awalan ke dan
akhiran an, sehingga menjadi sebuah kata benda abstrak."
Sikap main-main dalam pameran kelihatannya sudah agak
ketinggalan, mengingat usia dari para pendukungnya rata-rata 30
tahun. Sebagai diketahui, lembaran budaya remaja dalam majalah
dan koran sekarang penuh dengan gejar membangkang, urakan atau
mbeling seperti itu. Seandainya pun sikap main-main, lugu,
ngeledek atau berlagak bodoh dianggap sesuatu yang tetap perlu
untuk menyuntikkan "kesegaran" atau "keserbanekaan" dalam
kehidupan senirupa, pameran ini masih terasa kurang. Kesegaran
itu sudah didahului oleh pameran Seni Rupa Baru--sehingga terasa
ini hanya buntut.
Tanpa mengurangi arti pameran, kita dihadapkan pada kenyataan
bahwa ternyata kesegaran semata-mata tidak cukup. Lebih besar
dari sekedar variasi, ada masalah kedalaman.
Putu Wijaya
SENI Rupa di Indonesia, sejak munculnya Seni Rupa Baru (pameran
pertama 1975), memang telah meluas batasannya. Bukan hanya soal
materi. Juga ide. Apa saja kini bisa menjelma karya seni rupa.
Dan seni memang tidak hanya menyuguhkan hal-hal serius
-merenungkan "hakikat hidup" -- tapi bisa juga santai, penuh
humor atau sekedar sebagai hiasan. Seni Rupa Baru telah
menyumbang sesuatu yang penting: menegaskan kembali sikap yang
wajar dalam kesenian--kebutuhan mencari dan bermain-main.
Dalam Pameran PERSEGI (Persekutuan Seniman Gambar Indonesia) di
TIM, 28 Maret sampai dengan 2 April, sepuluh seni-rupawan-
menyuguhkan gambar yang mencerminkan semangat bereksperimen dan
kegembiraan main-main. Ada gambar Ikan karya Oseng Gaali.
Merupakan gambar penampang lengkap dengan nama bagian-bagiannya.
Cuma ada bagian yang disebut 'kamar tunggu', 'pengocok perut'
dan 'lupa lagi.' Dan ini: di bawah gambar penampang ikan ada
tulisan "Isi di Luar Tanggung Jawab Ikan."
Masih karya Oseng, ada gambar orang berdiri di bukit-bukit
runcing menggendong bentuk empat persegi, besar sekali.Judul
karya ini: Damai tapi Bohong. Kemudian ada gambar Pedoman
memelihara itik--untuk mendapat telur yang besar-besar dan
sehat. Dalam gambar itu pula diperbandingkannya telur itik yang
sehat, kurang sehat, dengan telur burung, telur cecak dan
telur.... semut. Sembilan gambar Harjadi Soeadi hanya merupakan
coret-coret, sedikit sekali mengandung beban cerita, tapi
artistik. Demikian pula gambar-gambar bunga T. Sutanto, juga
sejumlah gambar Harianto R.
Yang agak "serius" adalah Kolosal karya Prinka. Ada tulisan
'Kolosal' besar, dan di bawah tulisan itu seorang anak kurus
kering memamerkan sesusunan tulang rusuknya yang hendak meloncat
ke luar.
Dalam katalogus ada ditulis "Gambar merupakan sebuah media bebas
yang sejajar dengan bentuk senirupa lainnya." Sebagian besar
kita memang suka sekali mempertentangkan atau mempersoalkan
kadar "derajat" seni murni dan seni pakai, atau gambar dan
lukisan -- kesukaan yang pada pendapat saya hanya merugikan
kegiatan kreativitas itu sendiri. Gambar, misalkan, yang
biasanya hanya dibuat untuk mengiringi Sesuatu yang lain
(ilustrasi cerita, penjelasan suatu karangan ilmiah dan
sebagiannya) telah kurang kita nikmati keindahannya kita pandang
sebagai hal kedua.Lebih lagi, selama ini gambar memang kita
singkirkan dari percaturan pembicaraan seni rupa.
Upaya PERSEGI untuk kembali menarik perhatian kita terhadap
gambar memang bermanfaat. Apa yang disebut seni murni, bagi saya
hanya upaya untuk menajamkan indera kita dalam menangkap
keindahan yang terdapat dalam apa saja. Sebab karya seni murni
memang sesuatu yang kita lihat sebagai hal yang telah tanggal
guna-praktisnya. Gambar, ilustrasi, poster, reklame, adalah
karya-karya yang lahir karena pesanan sesuatu di luar seni rupa.
Tapi ternyata, perkembangan seni rupa toh sampai juga pada
karya-karya yang susah atau tak ada manfaatnya dipersoalkan: apa
termasuk gambar, lukisan, grafis, poster atau reklame. Seni rupa
pada hakikatnya hanya merupakan upaya manusia mengatur segala
sesuatu agar indah, enak dan bermanfaat bagi -- terutama --
mata. Agar dunia yang kita diami tetap membuat kita betah. Dan
Pameran PERSEGI pertama ini telah berhasil memberikan itu.
PERSEGI membuktikan, di tengah suasana yang sarat sensor dan
larangan, ternyata kita masih bisa menyelinap dan gembira
bermain. Dan apa yang bisa dilakukan seni dalam zaman seperti
ini, saya kira memang itu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini