Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gambar-gambar persegi

Seni rupa menjadi bertumbuh luas pengertiannya setelah munculnya "seni rupa indonesia baru". persegi mengadakan pameran di tim jakarta. (sr)

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI rupa menjadi bertambah luas pengertiannya setelah munculnya 'Seni Rupa Indonesia Baru'. Perbincangan tidak hanya mengenai kwalitas sehubungan dengan sejenis, tapi juga menyangkut materi penyampaian dan ide kesenian sendiri. Pameran PERSEGI baru-baru ini berada dalam daerah kontroversi itu pula, dan kiranya cukup layak kami tampilkan dua resensi yang bertentangan. Empat puluh tahun yang lalu ada Persagi -- Persatuan Ahli Gambar Indonesia. Pada 9 Desember 1976, berdirilah Persegi -- Persekutuan Seniman Gambar Indonesia di Bandung. Anggota-anggotanya berada di Bandung dan Jakarta. 28 Maret s/d 2 April barusan, mereka unjuk bulu di Ruang Pameran TIM, sembari memperingati Persagi yang sudah tiada itu. Pameran didukung oleh T. Sutanto (37 tahun), Haryadi Soeadi (39 tahun) Djodjo Gozali (31 tahun), Diddo Kusnidar (31 tahun), Priyanto Sunarto (31 tahun), Syahrinur Prinka (31 tahun), Harianto Imam Rahayu (38 tahun), Wagiono (29 tahun), Rusmadi (32tahun), Rachmat Oseng Gazali (28 tahun). Sudah diketahui, sebagian mereka juga pendukung 'Seni Rupa Baru Indonesia'. Revolusi Yang jelas terasa dalam pameran adalah: keinginan untuk memberi sentilan dengan gaya lugu dan lucu. Berdasar kenyataan sehari-hari, dikembangkanlah gambar-gambar yang mengejutkan karena memberi asosiasi sugestif dan pengalaman yang lain. Tapi karena semuanya dimulai dengan kesadaran yang tinggi, banyak gambar terasa tidak spontan-bahkan ada yang akhirnya hanya mengejar efek. Kita melihat jalan fikiran, kerangka humor pelukisnya--dengan teknik penyampaian yang tidak menjebak kita ke dalam tawa. Terasa kita dipaksa tersenyum. Beda dengan Senirupa Baru yang memberi kita sesuatu yang getir. Mereka merdeka mempergunakan materi, bebas mengekspresikan segala, keras dan memberontak--kalau perlu menjungkir-balik. Dengan sikap jiwa yang santai Persegi mencoba membuat lelucon--meskipun selain pada Sutanto dan Haryadi,kita merasa para peserta hanya memainkan keterampilan. Sutanto menunjukkan kerajinan dan kebersihan, ciri yang khas dari seniman ITB. Sementara Haryadi yang melukis di kaca--mengingatkan kita pada kaligrafi Cirebon--menunjukkan sesuatu yang tidak saja segar, tetapi sederhana dan mengharukan. Pameran disertai pula dengan sebuah surat kabar bernama Surat Kabar--terdiri dari 4 halaman. Surat kabar tiruan ini berisi artikel, potret, iklan, lagu, cerita bersambung -- sebagaimana layaknya surat kabar edisi hari Minggu. Sebuah artikel misalnya berjudul: Revolusi Isinya antara lain: "Revolusi berarti perubahan dengan cepat. Pertama: berubah, kedua: cepat!". Atau artikel Kewibawaan yang antara lain diisi oleh fikiran "Kewibawaan berasal dari kata dasar wibawa, diberi awalan ke dan akhiran an, sehingga menjadi sebuah kata benda abstrak." Sikap main-main dalam pameran kelihatannya sudah agak ketinggalan, mengingat usia dari para pendukungnya rata-rata 30 tahun. Sebagai diketahui, lembaran budaya remaja dalam majalah dan koran sekarang penuh dengan gejar membangkang, urakan atau mbeling seperti itu. Seandainya pun sikap main-main, lugu, ngeledek atau berlagak bodoh dianggap sesuatu yang tetap perlu untuk menyuntikkan "kesegaran" atau "keserbanekaan" dalam kehidupan senirupa, pameran ini masih terasa kurang. Kesegaran itu sudah didahului oleh pameran Seni Rupa Baru--sehingga terasa ini hanya buntut. Tanpa mengurangi arti pameran, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata kesegaran semata-mata tidak cukup. Lebih besar dari sekedar variasi, ada masalah kedalaman. Putu Wijaya SENI Rupa di Indonesia, sejak munculnya Seni Rupa Baru (pameran pertama 1975), memang telah meluas batasannya. Bukan hanya soal materi. Juga ide. Apa saja kini bisa menjelma karya seni rupa. Dan seni memang tidak hanya menyuguhkan hal-hal serius -merenungkan "hakikat hidup" -- tapi bisa juga santai, penuh humor atau sekedar sebagai hiasan. Seni Rupa Baru telah menyumbang sesuatu yang penting: menegaskan kembali sikap yang wajar dalam kesenian--kebutuhan mencari dan bermain-main. Dalam Pameran PERSEGI (Persekutuan Seniman Gambar Indonesia) di TIM, 28 Maret sampai dengan 2 April, sepuluh seni-rupawan- menyuguhkan gambar yang mencerminkan semangat bereksperimen dan kegembiraan main-main. Ada gambar Ikan karya Oseng Gaali. Merupakan gambar penampang lengkap dengan nama bagian-bagiannya. Cuma ada bagian yang disebut 'kamar tunggu', 'pengocok perut' dan 'lupa lagi.' Dan ini: di bawah gambar penampang ikan ada tulisan "Isi di Luar Tanggung Jawab Ikan." Masih karya Oseng, ada gambar orang berdiri di bukit-bukit runcing menggendong bentuk empat persegi, besar sekali.Judul karya ini: Damai tapi Bohong. Kemudian ada gambar Pedoman memelihara itik--untuk mendapat telur yang besar-besar dan sehat. Dalam gambar itu pula diperbandingkannya telur itik yang sehat, kurang sehat, dengan telur burung, telur cecak dan telur.... semut. Sembilan gambar Harjadi Soeadi hanya merupakan coret-coret, sedikit sekali mengandung beban cerita, tapi artistik. Demikian pula gambar-gambar bunga T. Sutanto, juga sejumlah gambar Harianto R. Yang agak "serius" adalah Kolosal karya Prinka. Ada tulisan 'Kolosal' besar, dan di bawah tulisan itu seorang anak kurus kering memamerkan sesusunan tulang rusuknya yang hendak meloncat ke luar. Dalam katalogus ada ditulis "Gambar merupakan sebuah media bebas yang sejajar dengan bentuk senirupa lainnya." Sebagian besar kita memang suka sekali mempertentangkan atau mempersoalkan kadar "derajat" seni murni dan seni pakai, atau gambar dan lukisan -- kesukaan yang pada pendapat saya hanya merugikan kegiatan kreativitas itu sendiri. Gambar, misalkan, yang biasanya hanya dibuat untuk mengiringi Sesuatu yang lain (ilustrasi cerita, penjelasan suatu karangan ilmiah dan sebagiannya) telah kurang kita nikmati keindahannya kita pandang sebagai hal kedua.Lebih lagi, selama ini gambar memang kita singkirkan dari percaturan pembicaraan seni rupa. Upaya PERSEGI untuk kembali menarik perhatian kita terhadap gambar memang bermanfaat. Apa yang disebut seni murni, bagi saya hanya upaya untuk menajamkan indera kita dalam menangkap keindahan yang terdapat dalam apa saja. Sebab karya seni murni memang sesuatu yang kita lihat sebagai hal yang telah tanggal guna-praktisnya. Gambar, ilustrasi, poster, reklame, adalah karya-karya yang lahir karena pesanan sesuatu di luar seni rupa. Tapi ternyata, perkembangan seni rupa toh sampai juga pada karya-karya yang susah atau tak ada manfaatnya dipersoalkan: apa termasuk gambar, lukisan, grafis, poster atau reklame. Seni rupa pada hakikatnya hanya merupakan upaya manusia mengatur segala sesuatu agar indah, enak dan bermanfaat bagi -- terutama -- mata. Agar dunia yang kita diami tetap membuat kita betah. Dan Pameran PERSEGI pertama ini telah berhasil memberikan itu. PERSEGI membuktikan, di tengah suasana yang sarat sensor dan larangan, ternyata kita masih bisa menyelinap dan gembira bermain. Dan apa yang bisa dilakukan seni dalam zaman seperti ini, saya kira memang itu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus