Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gandhi dan sir richard

Sutradara: richard attenborough skenario: john briley pemain: ben kingsley, martin sheen, rohini hattang resensi oleh: goenawan mohamad. (fl)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GANDHI Pemain: Ben Kingsley, Martin Sheen, Rohini Hattangady, Candice Bergen Skenario: John Briley Sutradara: Richard Attenborough SEBUAH epik harus berhenti sebelum bohong. Film Gandhi karya Richard Attenborough beruntung: ia punya bahan yang mudah untuk jadi epik yang baik. Sebabnya tentu saja tokoh Gandhi sendiri. Tokoh sentral film ini dengan jelas layak untuk dipuja banyak orang, tanpa kontroversi. Kekuatan yang dilawannya - misalnya kekerasan, penjajahan dan fanatisme dengan sonder bimbang bisa kita kutuk ramai-ramai. Dengan kata lain, kita bisa mengunggulkannya tanpa banyak risiko jadi tukang ngibul yang membual tentang seorang pahlawan. Penulis George Orwell, yang menilai Gandhi dengan kritis, toh mengakuinya: dosa sang Mahatma secara keseluruhan, jika dionggokkan jadi satu, tetap akan merupakan timbunan kecil. Kini tinggal soal bagaimana bercerita tentang orang yang amat lurus seperti garis geometri ini tanpa menyebabkan para penonton menguap. Banyak cerita sukses pahlawan dalam perlawanan, tapi ceritanya sendiri sering gagal melawan bosan. Gandhi Attenborough tidak. Saya kebetulan berkesempatan menonton film ini tiga kali- Saya tak akan berkeberatan buat menontonnya untuk kali yang keempat. Rahasianya mungkin tak terletak dalam kerangka cerita. Skenario yang disusun John Briley, yang anehnya memenangkar salah satu dari 8 Oscar untuk film ini bukanlah skenario yang bagus. Beberapa bagian terlampau pendek - misalnya dalan melukiskan perdebatan yang penting, dan pedih, tentang perlu tidaknya India dibagi dua (yang satu buat orang Islam). Beberapa bagian teramat panjang, melodramatis pula. misalnya, ketika ramai-ramai para perusuh di Calcutta meletakkan senjata di depan sang "Bapu" yang berpuasa. Malah kita ragu perlukah sebenarnya beberapa menit kita disuruh melihat adegan Gandhi dengan Margaret Bourke-White, wartawan foto Life yang dimainkan dengan jeleknya oleh Candice Bergen. Lalu kenapa tidak jemu? Film Gandhi saya kira tetap memukau hanya karena ini tentang Gandhi: sebagai tokoh, ia tak henti-hentinya mempesona, dengan seluruh katanya, gerak matanya, perubahan raut mukanya, sikap tubuhnya, senyumnya, leluconnya, kesedihannya. Dia adalah contoh yang arang, bagaimana seorang bisa Jadi heroik tapi tak jadi teatral. Kian teatral satu tokoh, kian tak meyakinkan dia. Dan Gandhi 100% meyakinkan. Mungkin juga ia tak membosankan karena orang yang begitu mulia ini, tak menyebabkan orang lain di sekitarnya nampak keji. Ia warna putih, yang dengan enak bergelimang tengan warna-warni indah, di sekitarnya. Untunglah, Richard Attenborough - seperti juga wartawan Louis Fischer, yang bukunya tentang Gandhi telah mengilhaminya - tetap memelihara warna-warni itu. Dan dia ditolong Ben Kingsley. Aktor berayah India beribu Inggris itu ia lihat pertama kali dalam pementasan Nicholas Nickleby di London. Attenborough dengan segera menariknya buat berperan sebagai Gandhi. Meskipun Kingsley yang di panggung sejak umur 19 itu belum pernah main film. Meskipun Sir Richard harus menolak dana dari Hollywood - yang konon menuntut agar peran Gandhi dimainkan oleh (masya Allah) Richard Burton. Apa yang dihasilkan Kingsley memang ternyata satu sosok yang tak monoton: Gandhi yang bermata tulus tapi dengan secercah kecerdikan. Gandhi yang setengah takut menghadapi kekerasan polisi di Afrika Selatan. Gandhi di Champaran yang sedih, tapi setengah bingung, menyaksikan penderitaan petani. Gandhi yang melucu. Gandhi yang menahan airmata ketika berpisah dengan Charles Andrews, pendeta muda itu. Gandhi yang berbicara, tanpa retorik, tentang kemerdekaan India, dan tiba-tiba sempat menyapa anak kecil untuk mengurusi soal kambing. Tanpa Kingsley, apa jadinya dengan film ini? Konon Nehru pernah berkata: "Jangan didewa-dewakan Gandhi - ia manusia yang terlampau agung." Kata-kata itu diucapkannya kepada Attenborouh, ketika ia memberitahu niatnya, lebih dari 20 tahun yang lalu, untuk membuat film tentang sang Mahatma. Kingsley-lah yang menerlemahkannya dengan efektif: hasil suatu seni akting dalam artinya yang sederhana, yakni imitasi kenyataan, sekaligus intensifikasi kehidupan. Maka jika ada cacat dasar film ini bukanlah dalam pendekatannya sebagai epik, yang menghindar dari analisa kejiwaan - sebab Gandhi nampaknya memang lebih suatu sukma, roh, dan bukan psyche. Cacat dasar film ini, menurut hemat saya, ialah karena perspektifnya. Attenborough seorang Inggris. Ia bicara kepada orang Barat. Ia tak bercerita dari pandangan seorahg India atau Dunia Ketiga tentang Gandhi. Mungkin itulah sebabnya, pemaparan pandangan Gandhi dalam film ini dilakukan lewat dialog dengan orang-orang Barat (terutama wartawan) yang menemuinya. Mungkin itu pula sebabnya dialog Ali Jinnah dengan Gandhi serta Nehru mengenai perlu tidaknya orang Islam memisahkan diri dalam satu tanah air lain - suatu soal kesetiaan kepada bangsa atau agama tak cukup digarap oleh Attenborough. Ia mungkin tak merasakan urgensi, dan kepedihan, soal seperti ini - yang memang bukan problem besar seorang Barat. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus