GANDHI
Pemain: Ben Kingsley, Martin Sheen, Rohini Hattangady, Candice
Bergen
Skenario: John Briley
Sutradara: Richard Attenborough
SEBUAH epik harus berhenti sebelum bohong. Film Gandhi karya
Richard Attenborough beruntung: ia punya bahan yang mudah untuk
jadi epik yang baik. Sebabnya tentu saja tokoh Gandhi sendiri.
Tokoh sentral film ini dengan jelas layak untuk dipuja banyak
orang, tanpa kontroversi. Kekuatan yang dilawannya - misalnya
kekerasan, penjajahan dan fanatisme dengan sonder bimbang bisa
kita kutuk ramai-ramai.
Dengan kata lain, kita bisa mengunggulkannya tanpa banyak risiko
jadi tukang ngibul yang membual tentang seorang pahlawan.
Penulis George Orwell, yang menilai Gandhi dengan kritis, toh
mengakuinya: dosa sang Mahatma secara keseluruhan, jika
dionggokkan jadi satu, tetap akan merupakan timbunan kecil.
Kini tinggal soal bagaimana bercerita tentang orang yang amat
lurus seperti garis geometri ini tanpa menyebabkan para penonton
menguap. Banyak cerita sukses pahlawan dalam perlawanan, tapi
ceritanya sendiri sering gagal melawan bosan.
Gandhi Attenborough tidak. Saya kebetulan berkesempatan menonton
film ini tiga kali- Saya tak akan berkeberatan buat menontonnya
untuk kali yang keempat.
Rahasianya mungkin tak terletak dalam kerangka cerita. Skenario
yang disusun John Briley, yang anehnya memenangkar salah satu
dari 8 Oscar untuk film ini bukanlah skenario yang bagus.
Beberapa bagian terlampau pendek - misalnya dalan melukiskan
perdebatan yang penting, dan pedih, tentang perlu tidaknya India
dibagi dua (yang satu buat orang Islam). Beberapa bagian teramat
panjang, melodramatis pula. misalnya, ketika ramai-ramai para
perusuh di Calcutta meletakkan senjata di depan sang "Bapu" yang
berpuasa.
Malah kita ragu perlukah sebenarnya beberapa menit kita disuruh
melihat adegan Gandhi dengan Margaret Bourke-White, wartawan
foto Life yang dimainkan dengan jeleknya oleh Candice Bergen.
Lalu kenapa tidak jemu? Film Gandhi saya kira tetap memukau
hanya karena ini tentang Gandhi: sebagai tokoh, ia tak
henti-hentinya mempesona, dengan seluruh katanya, gerak matanya,
perubahan raut mukanya, sikap tubuhnya, senyumnya, leluconnya,
kesedihannya. Dia adalah contoh yang arang, bagaimana seorang
bisa Jadi heroik tapi tak jadi teatral. Kian teatral satu tokoh,
kian tak meyakinkan dia. Dan Gandhi 100% meyakinkan.
Mungkin juga ia tak membosankan karena orang yang begitu mulia
ini, tak menyebabkan orang lain di sekitarnya nampak keji. Ia
warna putih, yang dengan enak bergelimang tengan warna-warni
indah, di sekitarnya.
Untunglah, Richard Attenborough - seperti juga wartawan Louis
Fischer, yang bukunya tentang Gandhi telah mengilhaminya - tetap
memelihara warna-warni itu. Dan dia ditolong Ben Kingsley.
Aktor berayah India beribu Inggris itu ia lihat pertama kali
dalam pementasan Nicholas Nickleby di London. Attenborough
dengan segera menariknya buat berperan sebagai Gandhi. Meskipun
Kingsley yang di panggung sejak umur 19 itu belum pernah main
film. Meskipun Sir Richard harus menolak dana dari Hollywood -
yang konon menuntut agar peran Gandhi dimainkan oleh (masya
Allah) Richard Burton.
Apa yang dihasilkan Kingsley memang ternyata satu sosok yang tak
monoton: Gandhi yang bermata tulus tapi dengan secercah
kecerdikan. Gandhi yang setengah takut menghadapi kekerasan
polisi di Afrika Selatan. Gandhi di Champaran yang sedih, tapi
setengah bingung, menyaksikan penderitaan petani. Gandhi yang
melucu. Gandhi yang menahan airmata ketika berpisah dengan
Charles Andrews, pendeta muda itu. Gandhi yang berbicara, tanpa
retorik, tentang kemerdekaan India, dan tiba-tiba sempat menyapa
anak kecil untuk mengurusi soal kambing.
Tanpa Kingsley, apa jadinya dengan film ini? Konon Nehru pernah
berkata: "Jangan didewa-dewakan Gandhi - ia manusia yang
terlampau agung." Kata-kata itu diucapkannya kepada
Attenborouh, ketika ia memberitahu niatnya, lebih dari 20 tahun
yang lalu, untuk membuat film tentang sang Mahatma. Kingsley-lah
yang menerlemahkannya dengan efektif: hasil suatu seni akting
dalam artinya yang sederhana, yakni imitasi kenyataan,
sekaligus intensifikasi kehidupan.
Maka jika ada cacat dasar film ini bukanlah dalam pendekatannya
sebagai epik, yang menghindar dari analisa kejiwaan - sebab
Gandhi nampaknya memang lebih suatu sukma, roh, dan bukan
psyche. Cacat dasar film ini, menurut hemat saya, ialah karena
perspektifnya.
Attenborough seorang Inggris. Ia bicara kepada orang Barat. Ia
tak bercerita dari pandangan seorahg India atau Dunia Ketiga
tentang Gandhi.
Mungkin itulah sebabnya, pemaparan pandangan Gandhi dalam film
ini dilakukan lewat dialog dengan orang-orang Barat (terutama
wartawan) yang menemuinya. Mungkin itu pula sebabnya dialog Ali
Jinnah dengan Gandhi serta Nehru mengenai perlu tidaknya orang
Islam memisahkan diri dalam satu tanah air lain - suatu soal
kesetiaan kepada bangsa atau agama tak cukup digarap oleh
Attenborough. Ia mungkin tak merasakan urgensi, dan kepedihan,
soal seperti ini - yang memang bukan problem besar seorang
Barat.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini