Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tentang film kartini

Sjumanjaya, sutradara tentang film kartininya. (fl)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM Kartini, 21 April ini, akan diputar serempak di beberapa kota Indonesia. Sementara Sjumandjaja, sang sutradara, sudah mulai lagi dengan film baru: Fatimah. Jika ini selesai, lengkaplah trilogi Sjuman tentang wanita. Trilogi? "Ya, Miranti, Kartini dan Fatimah, tiga wanita yang berbeda," katanya sambil memandang kandang burung di rumahnya yang dihuni pungguk dan kepodang. Sjuman mengagumi Kartini. Tentang Miranti, tokoh janda dalam Kabut Sutra Ungu, sutradara itu ragu-ragu. "Apa ada wanita Indonesia seperti dia, yang masih memuja suaminya meski sudah lama meninggal?" Bisa saja ada, mengapa? "Kalau wanita seperti itu ada, kok saya tidak pernah berjumpa. Ke mana saja saya selama ini rupanya, ha, ha, ha ... " Sjuman masih tetap yang dulu - satu atau dua kelakar nakal baginya bukan tabu. Pekan lalu, pencipta Si Dul dan Si Mamad yang berusia 49 tahun itu, berbincang-bincang dengan TEMPO. Berikut petikannya: Kalau tidak salah Anda pernah punya rencana untuk memfilmkan Digul. Kenapa justru Kartini yang muncul? Digul ditolak produser. Sebagai alternatif saya tawarkan Kartini dan langsung diterima. Apa yang menggerakkan Anda untuk membuat Kartini? Konsep Anda? Waktu belajar di Rusia, saya baca Habis Gelap Terbitlah Terang. Serta-merta saya kagum pada pikiran-pikiran Kartini, yang menurut saya, mencakup tiga aspek penting: politik, pendidikan, kebudayaan. Seratus tahun lalu Kartini sudah bicara tentang kemerdekaan bangsa dan kemerdekaan individu. Tentang sistem pendidikan yang mengayomi dan peran budaya dalam mengangkat satu bangsa terjajah ke bangsa merdeka, fisik dan jiwa. Luas sekali, rasional sekali. Pikiran-pikirannya itu mengilhami gerakan perjuangan nasional, kalau tidak mau dibilang merupakan embrio dari gerakan itu sendiri. Apakah Anda tidak terlalu menyederhanakan masalah? Embrio perjuangan nasional sudah tumbuh sejak pendidikan Barat diperkenalkan pada anak pribumi di parohan kedua abad XIX. Bila Anda terpaku pada pikiran Kartini mungkin sekali karena dia lebih vokal dibandingkan tokoh-tokoh sezamannya. Barangkali saya melihatnya lebih sederhana. Namun harus diakui Kartini bisa menyerap, mencernakan, dan merumuskan pengetahuan dari Barat secara cukup tajam. Dia seorang intelektual, bukan semata-mata pejuang emansipasi wanita. Dia seorang besar dalam pikiran-pikirannya, bukan dalam tindakannya. Di sini letak beda Kartini dengan Tjut Nya' Dhien atau Christina Martha Tiahahu. Sebelum mengolah skenario, apa saja bekal Anda, di luar Habis Gelap Terbitah Terang Apakah Anda melakukan riset? Buku pegangan saya cuma satu, Kartini sebuah Biografi oleh Siti Soemandari Soeroto. Untuk pemahaman sejarah masa itu saya mempelajari beberapa disertasi orang Belanda - khususnya tentang masalah sosial ekonomi di Indonesia abad XIX. Saya tidak melakukan riset. Apa kesulitan yang Anda hadapi selama membuat Kartini? Secara fisik, Kartini pasif. Bagi saya tidak mungkin begitu saja menampilkan dia merenung-renung di kamarnya. Pandai-pandai sayalah berimajinasi. Misalnya saja, saya memilih beberapa pernyataan Kartini, dari situ saya create sebuah plot. Untuk menuangkan dalam gambar saya memilih approach monumental, bukan kolosal. Yang terakhir ini tidak mungkin, terhambat masalah teknik dan biaya. Karena itu saya tidak menampilkan rakyat banyak sebagai bagian integral dalam Kartini. Dalam pendekatan monumental ada dua hal yang bisa saya tampilkan: pikiranpikiran Kartini dan jalan hidupnya. Perlu dicatat, saya dengan sadar melakukan anachronisme dalam dua adegan. Pertama, pemunculan Dewi Sartika di sekolah Kardinah. Kedua, dialog Kardinah Sosroningrat, yang menyebut-nyebut tentang adanya rumah sakit Kardinah. Pada kenyataan sebenarnya, dua hal itu terjadi kemudian, tapi saya memunculkannya dalam film satu tahun lebih cepat. Semata-mata supaya hal yang penting itu bisa muncul. Saya tidak bermaksud memalsu sejarah, tapi sekadar memberi tekanan. Anda cenderung lamban sejak Kabul S#tera Ungu. Ritme Kartini juga lamban. Mengapa? Film pertama saya, Lewat Tengah Malam, seperti itu juga, lamban. Tapi Si Dul tidak Ritme erat kaitannya dengan jiwa cerita. Untuk masuk ke alam Jawa 100 tahun lalu, saya melakukan percobaan dengan ritme, dialog, dan warna. Supaya Kartini tidak terkesan seperti Bionic Woman atau Hawai Five 0. Untuk mencapai suasana pajeroan dan sakral, untuk menemukan satu langgam Jawa, saya tidak mungkin melakukan editing secara radikal. Pasti tidak cocok. Apalagi kalau latar belakangnya bunyi gamelan yang monoton. Anda lihat warna hijau di film itu mentah, karena saya menggunakan filter oranye. Warna-warna jadi nampak tua, seperti keluar dari foto tempo dulu. Ini tidak gampang. Untuk mencapai efek yang diinginkan kami terpaksa menggunakan empat unit lampu - biasanya paling banyak dua unit. Adegan Sosrokartono marah yang mulanya saya rencanakan terjadi sambil berdiri dan jalan mundar-mandir, kemudian dilakukan sambil tetap duduk bersila. Saya baru tahu kalau orang Jawa marah, dia tidak perlu berdiri dan menuding seperti orang Barat. Memang, orang bisa bilang kebudayaan Jawa itu statis. Saya tidak berpendapat begitu. Seperti kebudayaan lain, kebudayaan Jawa juga punya dinamika, strategi, dan drama - semua dalam ayanya sendiri. Apa missi Anda dengan film ini? Tokohnya itu sendiri sudah missi. Dia bukan tokoh khayal. Dia terlalu relevan untuk tidak difilmkan. Deskripsi lain saya kira tidak perlu, karena film yang baik bukan menjelaskan tapi mengesankan. Dan film ini tidak harus dianggap istimewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus