Demi mengamankan neraca pembayaran, Presiden Soeharto tidak hanya meminta agar BUMN menahan diri, tapi supaya kita waspada dalam menggunakan pinjaman luar negeri. SETELAH menggelinding hampir satu bulan, isu proyek-proyek besar mencapai klimaksnya dalam pidato Presiden Soeharto yang diucapkan di depan sidang paripurna DPR RI, Jumat 16 Agustus pekan silam. Pidato kenegaraan tersebut, tampaknya, melontarkan peringatan keras tentang satu hal: bahwa realisasi proyek-proyek raksasa dikhawatirkan bisa mengancam perekonomian negara. Berkaitan dengan itu ditegaskan, agar bersikap waspada terhadap penggunaan pinjaman komersial luar negeri, yang akhir-- akhir ini jumlahnya sangat meningkat untuk membiayai proyek-proyek besar. "Pengelolaan pinjaman komersial perlu dilakukan lebih bijaksana," demikian Presiden, "sehingga tidak menimbulkan tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia ." Apa yang disebut pengelolaan pinjaman komersial bisa ditafsirkan macam-macam. Seorang teknokrat berpendapat bahwa proyek-proyek besar tidak perlu dijadwalkan kembali seperti yang pernah terjadi pada tahun 1980-an. "Proyeknya disetujui saja, tapi pencarian dananya harus digilir," ujarnya sambil menambahkan, "Mekanisme untuk itu sedang diolah." Pejabat tersebut menambahkan, dana dari luar negeri itu terbatas. Jika banyak proyek besar kita lantas memburu dana terbatas itu, para bankir luar negeri bisa cemas melihat In- donesia. Pak Harto sendiri mengatakan, jangan sampai terjadi kesimpangsiuran dalam memasuki pasar modal internasional. "Dan supaya beban pembayaran kembali pinjaman tersebut tetap dalam batas kemampuan ekonomi Indonesia," kata Presiden. Di sini terkesan adanya kekhawatiran bahwa, selain bisa menimbulkan tekanan pada neraca pembayaran, pinjaman komersial juga cenderung melebihi batas kemampuan ekonomi kita. Jika hal ini sampai terjadi, seorang pakar mengingatkan bukan mustahil Indonesia akan terancam bangkrut, seperti yang dialami beberapa negara Amerika Latin. Tentu, soal bangkrut tidak disebut dalam pidato kenegaraan, tapi Presiden tidak lupa mengingatkan, "Dana yang ada seyogianya tidak digunakan hanya untuk membiayai proyek-proyek besar. Proyek-proyek sedang dan kecil ... perlu memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan dana yang tersedia. Saya juga minta agar perusahaan-perusahaan milik negara mengkaji ulang rencana investasi mereka secermat-cermatnya." BUMN yang nyata-nyata sudah meluncurkan proyek besar -- sering disebut juga megaproject -- adalah Pertamina. Seperti yang dikatakan Direktur Pengolahan Pertamina, Dr.Ir. Tabrani Ismail, dewasa ini BUMN itu sedang mengerjakan lima proyek raksasa, yakni Exor I di Balongan. RCC (Residual Catalytic Cracking) di Cilacap, Arun Aromatic Complex di Arun, LNG Train F di Bontang, dan Musi Upgrading di Sumatera Selatan. Namun, di luar raksasa lima itu, daftar keinginan atau wishing list menurut istilah Menteri Keuangan J.B. Sumarlin kepada TEMPO, menunjukkan sejumlah besar proyek mega lainnya, sebagian milik swasta. Nilai semua proyek besar itu mungkin mencapai US$ 70 milyar. Atau, seperti dikatakan oleh pejabat lain, paling tidak US$ 40-an milyar. Proyek Pertamina saja, total mencapai US$ 30-an milyar. Pembayaran kembali dana pinjaman untuk proyek-proyek tersebut bisa membuat defisit transaksi berjalan membengkak dan mengganggu neraca pembayaran. Harap maklum, defisit transaksi berjalan kita sekarang sudah US$ 3,7 milyar (angka berdasarkan lampiran pidato Pak Harto). Padahal, defisit pada periode sebelumnya (1989-1990) baru US$ 1,59 milyar. Tampaknya, tak ada pilihan yang lebih tepat, kecuali Pemerintah harus mengantre proyek-proyek besar itu, baik yang milik BUMN maupun swasta. Caranya? Kalau suatu proyek belum selesai, proyek lainnya ditolak dulu, seperti yang diungkapkan oleh seorang pejabat Ekuin. Proyek Exor III, misalnya, memang sudah disetujui, tapi izin pencairan dananya belum sekarang. Atau dalam bahasa Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, proyek itu, "Disesuaikan kembali dengan jadwal prioritasnya." Masalahnya, proyek-proyek besar itu tak seluruhnya milik Pertamina sehingga pengaturannya tak semudah pada 1980-an, ketika banyak proyek dijadwalkan kembali. Yang lebih mengkhawatirkan adalah, proyek-proyek swasta itu akan mengandalkan pasar dalam negeri, yang berarti penerimaannya rupiah -- padahal dana investasinya sebagian diperoleh dari pasar uang internasional. Ambil contoh olefin Chandra Asri, yang punya proyeksi produksi 850 ribu ton/tahun. Lebih dari separuhnya adalah untuk menutup kebutuhan dalam negeri sekitar 450 ribu ton/tahun. Katakanlah kelak kalau sudah berproduksi, Indonesia tidak perlu mengimpor olefin hingga tiap tahun bisa menghemat devisa US$ 1 milyar. Namun, itu pun, kalau semuanya lancar (lihat Berburu Dana buat Olefin). Kalau tidak, jangankan melaba, proyek itu harus lebih dahulu membayar cicilan utang dan bunga atas modal yang dipinjamnya. Ini berarti, devisa kita akan lari lebih banyak. Jika pemilik proyek kekurangan devisa, Bank Indonesia jelas terpaksa turun tangan, dan cadangan kita akan tersedot. Sekarang saja, sebelum proyek-proyek besar itu berjalan dan harus mencicil pinjamannya, cadangan devisa kita sudah terpakai US$ 263 juta untuk ikut menutup defisit transaksi berjalan yang berjumlah US$ 3,7 milyar tersebut. Kalau semua proyek raksasa itu disetujui dan selama lima atau enam tahun pertama belum produktif, neraca pembayaran kita akan memperoleh beban di luar batas. Defisit transaksi berjalan mungkin akan melonjak sampai US$ 7 milyar pada tahun fiskal sekarang. Itulah yang membuat kita semua khawatir, kata pakar ekonomi Iwan Jaya Aziz. Dalam ekonomi makro kita, ada empat hal yang menentukan, yakni laju pertumbuhan, APBN, neraca pembayaran, dan inflasi. "Sekarang ini, yang paling berat memperoleh beban adalah neraca pembayaran," kata Iwan. Untuk itu, ada dua penyebabnya. Pertama, keadaan ekonomi dunia yang belum pulih dan laju pertumbuhan ekspor nonmigas yang di bawah 10%. Padahal dua tahun lalu, 1988-1989, pertumbuhan ekspor nonmigas 34%. Tekanan kedua datang dari impor nonmigas, yang sekarang sudah US$ 19,4 milyar -- periode sebelumnya US$ 14,8 milyar. Sementara itu, pinjaman swasta (dari luar negeri) totalnya sudah US$ 1,3 milyar atau naik lima kali lipat dibanding 1989-1990 (jumlahnya US$ 0,2 milyar). Bahkan, jumlah pemasukan modal swasta sekarang ini, sebanyak US$ 3,6 milyar, sudah melampaui angka bantuan proyek yang diterima pemerintah (US$ 3,3 milyar). "Tapi saya lihat, persoalan sekarang ini bersifat akut, jangka pendek," kata Iwan Jaya. Ada empat cara mengatasi defisit transaksi berjalan tersebut, yakni meningkatkan investasi asing, off shore loan, memanfaatkan bantuan IGGI, dan menggunakan cadangan devisa. Kalau melihat gelagat para teknokrat, situasi yang menekan neraca pembayaran tersebut akan dilokalisir menjadi persoalan jangka pendek. "Untuk menangani itu, para teknokrat tampaknya akan menggunakan cadangan devisa," kata Iwan. Cadangan devisa di BI sekarang sekitar US$ 10 milyar, relatif masih aman, berkat Gebrakan Sumarlin II. Sejalan dengan itu, para pemilik proyek besar, BUMN ataupun swasta, sudah harus mempertimbangkan anjuran Pak Harto, yakni menangguhkan proyek mereka. Sementara itu, biarkan pengusaha menengah dan kecil memanfaatkan dana-dana yang tersedia, satu hal yang juga sudah dianjurkan oleh Presiden. Mohamad Cholid, Bambang Aji, dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini