Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teka-teki, Silang, Pendapat | ||
Karya | : | Isa Perkasa |
Tempat | : | Koong Gallery, Hotel Gran Melia |
Sejumlah karya potlot Isa Perkasa dipamerkan hingga akhir Juni 2000 di Koong Gallery, Jakarta. Menampilkan 20 gambar bertarikh 2000, dengan judul "Teka-teki, Silang, Pendapat", pameran ini adalah bagian dari rangkaian pameran lima perupa muda Bandung di Koong Gallery yang berlangsung hingga 10 Agustus 2000 nanti. Empat di antaranya adalah penerima penghargaan Phillip Morris tingkat nasional dan ASEAN. Pameran yang mengherankan karena tema begini bisa dipajang di lingkungan hotel berbintang.
Karya Isa Perkasa, 36 tahun, adalah politisasi gambar. Dalam karya hitam-putihnya yang mirip gambar komik minus teks, tersembunyi sebuah "agenda atau cita-cita politik". Gambar Kronik Negeri Minyak Tanah adalah contohnya. Karya ini terdiri atas tiga gambar: tokoh berbaju batik, dilucuti tanpa pantalon, berpeci, memegang semangka, dan menyetrika bendera. Pada latar belakang, Isa menampilkan sebuah meja berkaki sepatu tentara, beralas bendera nasional, kambing hitam, Superman, drum-drum minyak. Tikus-tikus berkeliaran di bawah kolong meja. Dan pada gambar ketiga, tampak selembar daun pisang menutup sesuatu (jenazah?). Ada sosok lelaki Jawa dengan keris, belangkon, dan surjan pada salah satu gambar.
Dalam gambar-gambar Isa, sosok dan benda berjejal dalam sebuah tempat atau ruang temaram multitafsir, terpisah dari dunia lain yang senyap, pedas, dan silau (dari sana terkadang berkelebat tokoh Superman berbendera Amerika, kambing hitam, atau tangan menembak).
Tak mudah menebak yang "nyata" dan yang "simbolis" dalam karya Isa: keduanya menyuruk ke idiom metaforis. Isa berupaya menciptakan simbol baru (setrika, semangka, dan daun pisang kering), tapi ia juga bernafsu menghidupkan yang sudah klise (tikus-tikus, kambing hitam, bendera, dan burung garuda).
Gambar berjudul Mengadili Jawa adalah gambar Isa yang menarik kendati simbolnya meluber ke mana-mana. Sekali lagi karyanya menunjukkan berbaurnya simbol dan kenyataan dalam bahasa metaforis: seorang Jawa yang diadili, bertelanjang dada, bersarung keris di punggung, mengenakan belangkon dan kaca mata, dengan laku sembah di hadapan sidang majelis yang berkesan konyol (lihatlah, salah seorang di antaranya memberikan kode di bawah meja). Tokoh Gatotkaca berkelebat dari langit, mengacungkan keris, dan seorang berkepala gundul menutup matanya sambil menyorongkan wayang Rahwana. Buah semangka bergelantungan dan sosok anak-anak dalam ember menodongkan pistol di antara tikus-tikus.
Relasi sintaksis simbol dalam kebanyakan karya Isa sering terasa melompat-lompat. Isa seakan tak pernah merasa cukup bekerja dengan satu atau dua simbol, yang beroperasi secara efektif dan terfokus. Pertama, ini membuat karyanya cenderung sibuk hanya memproduksi simbol, dan muatan sosial politiknya menjadi mirip utopi. Yang kedua, kritik sosial politik dalam karyanya cenderung melebar dan mengandung gagasan dan cerita serupa dalam semua gambarnya. Mungkinkah "pancaroba Indonesia" adalah bagian dari "kebingungan seniman" merumuskan kritik yang menukik dalam karya mereka?
Isa memperhatikan rinci setiap gambarnya. Teknik arsir gambarnya tertib, dingin, dan rapi: teknik realisme potret atau alam benda. (Ingatlah gambar-gambar Satyagraha dan Arahmaiani yang kental dan ekspresif serta Agus Suwage dan Agung Kurniawan yang ironis.)
Kekosongan dan kehitaman, oleh arsir yang tekun, tebal, dan bertumpuk-tumpuk, menciptakan suasana tertekan sehingga seolah semua sosok dalam gambarnya tak bisa lagi keluar dari "akuarium ruang sosial politik" yang hitam dan gosong. Itulah simbol yang justru tidak direkayasa Isa. Simbol inilah yang memberikan kekuatan pada gambarnya.
Hendro Wiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo