Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gestur-gestur yang Ambigu

Putu Sutawijaya menampilkan karya patung dari besi bekas. Sebuah fase baru dengan menampilkan gerak tubuh yang taksa.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat belas figur manusia setinggi sekitar 60 sentimeter itu tampak sibuk bergelantungan pada rumbai rumbai kawat baja yang tergantung tepat di plafon tengah hingga hampir menyentuh lantai ruang pameran Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan 17, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Rumbai rumbai itu bagai umbi dengan ujung bawah dan atas mengerucut. Tubuh tubuh yang terbuat dari potongan logam dan kawat bekas itu tersebar di sekujur tubuh umbi itu. Salah satu figur bergelantungan di ujung bawahnya. Apakah mereka sedang memanjat atau turun? Apakah mereka sedang melepaskan diri atau menyatu dengan rumbai kawat? Tak jelas benar apa yang mereka lakukan.

Ketaksaan itulah yang mencuat dari seri patung metal karya Putu Sutawijaya dalam pameran Gesticulation, yang berlangsung hingga 7 Oktober men­datang. Karya karya ini juga akan di­boyong ke pameran serupa di Bentara Bu­daya Bali pada akhir Desember nanti.

Selain instalasi besar itu, dalam pameran kali ini Putu menampilkan 15 patung kecil. Rata rata patung itu se­tinggi 1 meter dan sepanjang 1 meter. Tiap patung terdiri atas satu atau dua figur manusia, yang serupa dengan instalasi. Figur manusia itu dibangun dari keping keping besi yang disatukan dengan rajutan kawat kecil. Figur itu tanpa wajah, menjadi anonim, seperti umumnya lukisan yang diciptakan Putu. Tapi rambutnya yang terbuat dari kawat jabrik dan menegang ke belakang, melambai dengan kaku. Jari jari tangannya panjang, sehingga detail gesturnya terlihat kentara.

Patung itu tampil dalam berbagai pose. Kris Budiman, kurator pameran ini, menyebutnya sebagai gestur. Rangkaian gestur itu akan membentuk gerak. Ibarat film, dia merupakan gambar dari satu frame. Namun gambar itu berdwimakna. Kita tak dapat menentukan apakah figur itu sedang bergerak ke satu arah atau arah lainnya, karena yang tercerap hanyalah satu figur yang membeku di tengah sebuah gerakan.

Dalam Gesticulation #17, misalnya, tampak satu figur seakan sedang menarik sebuah gulungan kawat dan figur lain seakan mencabutnya. Apakah mereka sedang mengurai gulungan kawat itu atau malah memperumitnya?

Hal serupa muncul dalam patung lain. Perhatikanlah figur yang sedang meloncat dalam Gesticulation #3, figur yang sedang melakukan akrobat dengan kaki ke atas dalam Gesticulation #5, atau figur yang menerobos lubang sambil mengangkat semacam bunga dalam Gesticulation #6. Putu juga tak menggunakan judul yang naratif dalam semua karyanya ini. Ia hanya memberi nomor, hal yang membuat penonton tak dapat menangkap ”pesan” yang hendak disampaikan dan harus menafsirnya sendiri.

Menurut Putu, dia memang sedang mengeksplorasi gerakan yang ambigu. ”Bergerak terus, ingin melepaskan sesuatu, ingin bisa melepaskan keruwet­an atau malah sebaliknya, menambah ruwet,” katanya.

Sejak awal karier berkeseniannya, perupa kelahiran Tabanan, Bali, 27 November 1971 itu telah mengeksplorasi gestur tubuh manusia telanjang. Lukisan lukisannya menggambarkan berbagai pose dan kilasan gerak tubuh manusia, baik yang dinamis dan trengginas maupun yang lembut dan senyap.

Gestur gestur itu pada mulanya dia pungut dari inspirasi gerak tari sang­hyang, bagian dari upacara penolak bala di Bali yang memungkinkan sang penari menjadi trans dan bergerak melebihi gerakan yang dia kuasai dalam keadaan biasa. Namun tubuh tubuh itu bukanlah tubuh molek, tapi tubuh yang luka, tersiksa, seakan menanggung suatu beban.

Pada akhir 1990 an, perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu tak hanya menghasilkan karya dua dimensi, tapi juga karya tiga dimensi, seperti patung dari besi dan resin. Dalam pameran Legacy of Sagacity yang dikuratori Jim Supangkat di Galeri Nasional Indonesia pada 2008, Putu menampilkan sekitar sepuluh patung. Patung patung besi itu berbentuk figur manusia yang melayang, memanjat, berlarian, seakan keluar dari kanvas lukisan, memburu sesuatu yang tak pasti.

Salah satu instalasinya kala itu adalah Dancing in the Full Moon, berupa puluhan figur kecil dari resin yang mengumpul dalam struktur seperti bola yang bergelantungan. Figur figur itu seperti berkompetisi, berjuang menyelamatkan diri dan berkelahi di antara sesama.

Pameran Gesticulation mengingatkan kita pada pameran dua tahun lalu itu. Bedanya, dalam pameran kali ini Putu tidak memajang lukisan. Dia se­akan sedang menjelajah penuh pada bentuk bentuk tiga dimensi. Karya karyanya yang sekarang juga menekankan individualitas, meski tak sepenuhnya meninggalkan tubuh tubuh massal dari penjelajahannya terdahulu.

Pergeseran ini menunjukkan keberlanjutan proses kreatif dari pemenang Lukisan Terbaik Philip Morris Art Award 1999 itu. ”Saya percaya proses­ kerja itu mengalir terus, tak pernah berhenti. Yang lalu selesai, muncul yang baru. Kayak hidup. Setelah pekerjaan ini, muncul ide berikutnya,” katanya.

Pilihan medium dari besi juga menjadi catatan khusus dalam perkembangan ini, karena medium mempengaruhi tafsir atas karya. Besi adalah medium yang keras, yang tak mudah dibentuk. Dia mengumpulkan sampah besi di tempat para pemulung di sekitar Bantul, Yogyakarta, tak jauh dari studionya, Sangkring Artspace, selama sekitar setahun. Lalu dia mulai menggarapnya sekitar sepuluh bulan untuk merampungkan seluruh karyanya ini. Putu mengaku menikmati proses ini. ”Logam ini menarik, keras. Untuk membentuknya juga tidak gampang, perlu dikenteng, dipanaskan, dilas,” katanya.

Bagi Kris, pilihan medium logam ini juga mengisyaratkan kekerasan dari karya Putu. ”Namun, secara formal, dia juga melahirkan kemungkinan gestur yang lebih banyak, yang berbeda dari resin dengan teknik cetak,” katanya.

Karya karya terbaru Putu ini juga tak menunjukkan jejak budaya Bali secara kentara. Meski, menurut Karim Raslan, kolumnis Malaysia yang turut memberi catatan untuk pameran ini, karya Putu mencuatkan ketegangan antara ekspresi individual dan kebebasan personal di satu sisi dan identitas komunal yang kuat dan didukung secara penuh oleh banjar.

Konteks kultural Putu itu bisa jadi catatan kaki dari pameran ini. Beberapa karyanya mengambil teknik dari ogoh ogoh, patung raksasa Bali yang menyertai perayaan nyepi, dan unsur kain ka­fan dalam upacara ngaben, yang pada patung patung itu, menurut Kris, muncul dalam bentuk kawat yang terurai.

Namun, sebagai sebuah karya rupa, karya karya itu kini dapat dipandang sebagai hal yang berdiri sendiri. Figur figur itu tampil sebagai individu yang bercerita tentang dirinya sendiri, gesturnya sendiri, yang taksa, yang ragu, yang berjuang melawan kekerasan, yang ingin mendobrak, meloncat ke sana.

Pergeseran pergeseran ini mengisyaratkan penjelajahan baru pada proses kreatif Putu. Bagi Kris, Putu kini sedang membuka sebuah fase baru, yang merupakan kelanjutan dari fase fasenya terdahulu.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus