PAMERAN keluarga ASRI di Jakaru buru-baru ini mengingatkan kita
pada keadaan akademi di Yogya itu sekarang. Berikut ini dua buab
tulisan, sebuah resensi pameran dan sebuah penilaian latar
belakang, plus wawancara dengan salahseorang tokoh.
KEGIATAN kekeluargaan dalam kesenian memang menyebabkan
seniman kelas kakap bisa bersanding satu deret dengan yang teri.
Menyenangkan juga. Hanya saja sebuah pameran yang didukung
beramai-ramai oleh seniman bermacam kaliber, sebagaimana yang
diselenggarakan oleh Keluarga Besar ASRI di Jakarta (15 s/d 20
Agustus, Ruang Pameran TIM), mendorong kita mengambil keputusan
juga. Hanya untuk mengatakan apakah pameran itu meyakinkan atau
tidak.
Komik
Dari tujuh puluhan keluarga ASRI yang tinggal di Jakarta, yang
ditumpahkan serentak dalam dinding pameran yang meliputi
lukisan, ilustrasi, disain, patung, foto karikatur, kulit buku,
ukiran kayu dan sketsa, tidak ada kesan yang mendalam. Beberapa
buah nama seperti Mulyadi W., Syahwil, Irsam BA, Soedarso,
Kusnadi, Amat Mattheus, Muryoto, Abdulrachman, Abbas Alibasya,
hanya menjadi tonjolan-tonjolan kecil, karena yang dipamerkan
juga bukan puncak-puncak karya mereka.
ASRI memang telah mencetak (atau paling tidak menyebarkan benih
pada) banyak orang. Hasil penyemalan itu melanjutkan kegiatan di
berbagai sektor kehidupan di Ibukota. Ada yang tinggal dalam
penerbitan, ada yang berjuang dalam film dan ada yang tetap
bertahan sebagai pelukis. T api penyebaran itu pada dasarnya
tetap dapat dikembalikan kepada api yang pernah merela terima,
yang agaknya menjadi sumber ASRI sampai sekarang. Akrab pada
alam, pribumi, langkah-langkah kecil, dan lugu.
Dalam pameran juga terdapat banyak lukisan yang memperlihatkan
bahwa teristiwa ini tidak disertai seleksi artistik. Lebih
merupakan pameran nama, sederet tiang-tiang bekas yang pernah
menopang ASRI. Memang seorang Syahwil misalnya memanfaatkan
kesempatan ini dengan 2 buah kanvas hitam putih yang dikerjakan
tahun 1978. Ia kembali menyulut kekuatannya dalam membuat
sketsa, padahal selama ini ia lebih banyak diam dan bekerja
untuk hal-hal yang kurang ada hubungannya dengan lukisan.
Seandainya momen ini dimanfaatkan bersama-sama, seperti
dikerjakan Syahwil, kita mungkin akan mendapat kesan yang lain.
Bukan hanya statistik, tapi ekspresi.
Yang ada sekarang lebih merupakan dokumentasi, inventarisasi,
kartu nama dari masing-masing anggota keluarga. Masing-masing
menunjukkan alamat mereka. Bahwa seorang Pramono ternyata
bekerja di Sinar Harapan dan membuat gambar Keong. Bahwa Dwi
Koen tetap melukis kartun, Mulyadi W. melukis dengan gaya
dekoratif yang naif, Irsam tetap dengan motif-motif ornamentik,
Abbas Alibasyah juga tetap dengan ornamen tradisionil dan
sebagainya. Karenanya tidak perlu diherankan sebuah lukisan
Soenarto Pr, Mattheus dan Sudarso misalnya, berkumpul
bersama-sama dengan lukisan komik Yan Mintaraga dan sampul untuk
jamu Nyonya Meneer. Tidak berarti jelek.
Hanya sementara itu, beberapa orang yang mustinya penting
ditunjukkan seperti Danarto, Hardyono, Hardi, Arsono, Harsono
dan sebagainya, tidak sempat dijumpai. Jadi kalau toh pameran
ini hanya menitikberatkan orang-orangnya, ternyata toh kurang
lengkap. Peristiwa kekeluargaan dari apa yang menamakan dirinya
ALASTA (Keluarga Besar ASRI Yogya di Jakarta) ini,
setidak-tidaknya bisa tertolong kalau ada seleksi. Memang
sepantasnya ditingkatkan dalam kegiatan yang akan datang.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini