Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tapi, Untuk Apa Alasta

Keluarga besar asri yogya di jakarta (alasta) pertama kali mengadakan pameran di tim, jakarta. disponsori direktorat pengembangan kesenian, dibuka menteri p & k. dikritik eksistensinya oleh para anggota. (sr)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENYATAANNYA tidak semua bekas ASRI bersimpati kepada Alasta. Harsono, jebolan ASRI tahun 1975 (karena kena skors), melihat Alasta hanya semacam perkumpulan arisan. "Saya kurang yakm orang-orangnya mempunyai kekuatan pemikiran dalam percaturan seni rupa Indonesia kini," katanya. Tak boleh tidak. Dilihat dari luar, Alasta memang perkumpulan yang bersangkut-paut dengan seni rupa dan segala urusannya. Padahal, menurut Ketua Alasta Soetarjo (alumnus ASRI 1962, kini pegawai Direktorat Pengembangan Kesenian), Alasta lebih diarahkan ke perkumpulan kekeluargaan. Bermula dari pesta perkawinan atau ulang tahun, kemudian dilanjutkan dengan arisan, terbentuklah Alasta bulan April 1978. "Alasta pokoknya hanya semacam badan kontak," katanya. Maksudnya menolong warga ASRI sendiri, misalnya yang barusan datang di Jakarta mencari kerja atau lainnya. Lebih dari itu, menurut Soetarjo, Alasta tak akan mencampuri urusan ASRI. Misalnya soal skorsing mahasiswa, seperti kasus 'Desember Hitam' 1974. Dalam bahasa Pramana, yang sekarang bekerja di Sinar Harapan, Sekretaris Alasta, urusan ASRI urusan ASRI, urusan Alasta urusan Alasta. Padahal, melihat pamerannya saja, tentu orang akan bertanya: apa kabar ASRI sekarang? Alasta, bagaimana pun, akan dikaitkan orang dengan apa yang terjadi. Satu akademi kesenian yang hidup di tengah berbagai sanggar seni rupa, memang bisa menjadi fokus kegiatan. Dan kenyataannya, pelajar ASRI sejak dulu sebagian besar memang anggota sanggar ini atau itu, yang sejak zaman Seniman Indonesia Muda memang bermunculan di Yogya. Maka bisa dimaklumi kalau Harsono berpendapat, apa yang diperoleh dari ASRI sebetulnya praktis hanya disiplin: kapan harus berlatih, kapan harus membaca. Tapi secara tak langsung, memang, ketidakberesan ASRI menyebabkannya berpikir sendiri dan mencari sendiri. Atau, dalam kalimat Soetarjo, yang diperoleh dari SRI sedikit lebih banyak hal dipelajari di luar dinding akademi. Lalu apa sebetulnya yang membanggakan dari ASRI? Padahal, seperti dikatakan Haryono, "lingkunganlah yang menghidupkan ASRI? Ada harapan bahwa ia bisa terbuka untuk perubahan dan pembaharuan. Birokrasi terasa ketat. Dua dosen yang mencoba membawa kesegaran di ASRI terpaksa hijrah ke Jakarta, karena disingkirkan. Kegiatan berbagai sanggar, yang kini sudah tidak model, sebetulnya bisa -- dan sudah -- diganti dengan munculnya kelompok-kelompok mahasiswa. Mereka membentuk kumpulan sendiri-sendiri untuk berlatih bersama berpameran bersama. Mula-mula itu diberi angin oleh ASRI. 'Kelompok Lima', yang beranggotakan antara lain Harsono, Bonyong, Hardi, sempat berpameran ke pelbagai kota. Tapi, kasus 'Desember Hitam 1974' (yang sebetulnya tak ada hubungannya dengan ASRI secara langsung, melainkan kepada duma seni rupa Indonesia kini menurut pandangan para seniman muda itu), telah membubarkan semuanya. Kini lahirnya kelompok selalu dicurigai. Pimpinan Akademi membatasi kegiatannya. Harus minta izin jika hendak mengadakan kegiatan ke luar, misalnya, dan dengan itu mereka disuruh menjadi anak-anak sekolah yang patuh. Memang ASRI tidak berdiri sendiri. Ada sanggar-sanggar, di samping kelompok-kelompok mahasiswa -- sebelum masuknya pengekangan-pengekangan. Menarik bahwa beberapa anggota Alasta sendiri ternyata kurang bangga terhadap nama ASRI. Lebih bangga terhadap sanggar di mana mereka merasa mendapat gemblengan. Alasta, lebih kurang hanya menjadi tempat pertemuan -- satu hal yang bisa difahami di Jakarta ini, di mana waktu terasa memburu dan pertemuan tak resmi antar rekan sulit dijadwalkan. Hanya untuk itukah Alasta, yang pamerannya pertama ini disponsori Direktorat Pengembangan Kesenian, dan dibuka Menteri P & K pula? Membawa nama ASRI, tanpa mempedulikan yang terjadi? Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus