KENYATAANNYA tidak semua bekas ASRI bersimpati kepada Alasta.
Harsono, jebolan ASRI tahun 1975 (karena kena skors), melihat
Alasta hanya semacam perkumpulan arisan. "Saya kurang yakm
orang-orangnya mempunyai kekuatan pemikiran dalam percaturan
seni rupa Indonesia kini," katanya.
Tak boleh tidak. Dilihat dari luar, Alasta memang perkumpulan
yang bersangkut-paut dengan seni rupa dan segala urusannya.
Padahal, menurut Ketua Alasta Soetarjo (alumnus ASRI 1962, kini
pegawai Direktorat Pengembangan Kesenian), Alasta lebih
diarahkan ke perkumpulan kekeluargaan. Bermula dari pesta
perkawinan atau ulang tahun, kemudian dilanjutkan dengan arisan,
terbentuklah Alasta bulan April 1978. "Alasta pokoknya hanya
semacam badan kontak," katanya. Maksudnya menolong warga ASRI
sendiri, misalnya yang barusan datang di Jakarta mencari kerja
atau lainnya.
Lebih dari itu, menurut Soetarjo, Alasta tak akan mencampuri
urusan ASRI. Misalnya soal skorsing mahasiswa, seperti kasus
'Desember Hitam' 1974. Dalam bahasa Pramana, yang sekarang
bekerja di Sinar Harapan, Sekretaris Alasta, urusan ASRI urusan
ASRI, urusan Alasta urusan Alasta.
Padahal, melihat pamerannya saja, tentu orang akan bertanya: apa
kabar ASRI sekarang? Alasta, bagaimana pun, akan dikaitkan orang
dengan apa yang terjadi.
Satu akademi kesenian yang hidup di tengah berbagai sanggar seni
rupa, memang bisa menjadi fokus kegiatan. Dan kenyataannya,
pelajar ASRI sejak dulu sebagian besar memang anggota sanggar
ini atau itu, yang sejak zaman Seniman Indonesia Muda memang
bermunculan di Yogya. Maka bisa dimaklumi kalau Harsono
berpendapat, apa yang diperoleh dari ASRI sebetulnya praktis
hanya disiplin: kapan harus berlatih, kapan harus membaca. Tapi
secara tak langsung, memang, ketidakberesan ASRI menyebabkannya
berpikir sendiri dan mencari sendiri. Atau, dalam kalimat
Soetarjo, yang diperoleh dari SRI sedikit lebih banyak hal
dipelajari di luar dinding akademi.
Lalu apa sebetulnya yang membanggakan dari ASRI? Padahal,
seperti dikatakan Haryono, "lingkunganlah yang menghidupkan
ASRI?
Ada harapan bahwa ia bisa terbuka untuk perubahan dan
pembaharuan. Birokrasi terasa ketat. Dua dosen yang mencoba
membawa kesegaran di ASRI terpaksa hijrah ke Jakarta, karena
disingkirkan. Kegiatan berbagai sanggar, yang kini sudah tidak
model, sebetulnya bisa -- dan sudah -- diganti dengan munculnya
kelompok-kelompok mahasiswa. Mereka membentuk kumpulan
sendiri-sendiri untuk berlatih bersama berpameran bersama.
Mula-mula itu diberi angin oleh ASRI. 'Kelompok Lima', yang
beranggotakan antara lain Harsono, Bonyong, Hardi, sempat
berpameran ke pelbagai kota. Tapi, kasus 'Desember Hitam 1974'
(yang sebetulnya tak ada hubungannya dengan ASRI secara
langsung, melainkan kepada duma seni rupa Indonesia kini menurut
pandangan para seniman muda itu), telah membubarkan semuanya.
Kini lahirnya kelompok selalu dicurigai. Pimpinan Akademi
membatasi kegiatannya. Harus minta izin jika hendak mengadakan
kegiatan ke luar, misalnya, dan dengan itu mereka disuruh
menjadi anak-anak sekolah yang patuh.
Memang ASRI tidak berdiri sendiri. Ada sanggar-sanggar, di
samping kelompok-kelompok mahasiswa -- sebelum masuknya
pengekangan-pengekangan. Menarik bahwa beberapa anggota Alasta
sendiri ternyata kurang bangga terhadap nama ASRI. Lebih bangga
terhadap sanggar di mana mereka merasa mendapat gemblengan.
Alasta, lebih kurang hanya menjadi tempat pertemuan -- satu hal
yang bisa difahami di Jakarta ini, di mana waktu terasa memburu
dan pertemuan tak resmi antar rekan sulit dijadwalkan.
Hanya untuk itukah Alasta, yang pamerannya pertama ini
disponsori Direktorat Pengembangan Kesenian, dan dibuka Menteri
P & K pula? Membawa nama ASRI, tanpa mempedulikan yang terjadi?
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini