KRAMER vs. KRAMER
Sutradara-Penulis Skenario: Robert Benton
INILAH cerita dari suatu masa, dari suatu tempat. Masa itu tahun
70-an. Tempat itu Amerika Serikat. Sepasang suami-istri terlibat
dalam masalah sosial yang memuncak: masalah makna perkawinan,
khususnya bagi seorang perempuan.
Tahun 70-an didahului dengan dengus dan desakan gerakan
pembebasan wanita. Seorang Indonesia yang takjub kenapa gerakan
semacam ini harus timbul di Amerika Serikat -- yang wanitanya
tak pernah dipingit -- mungkin perlu melihat kenyataan ini: di
Amerika Serikat, diskriminasi terhadap wanita dalam pekerjaan
memang ada. Tapi yang lebih menyengat adalah keterbatasan gerak,
begitu seorang gadis jadi seorang istri.
Joanna Kramer (dimainkan oleh Meryl Streep) adalah wanita yang
semacam itu. Ia sebenarnya pernah punya karier yang baik. Tapi
begitu menikah dengan Ted (dimainkan oleh Dustin Hoffmann),
kesempatan itu tak mungkin terus. Pintu bagi Joanna terbatas
luasnya untuk hidup sebagai dirinya sendiri, bukan hanya sebagai
Nyonya Ted Kramer atau ibu dari Billy (Justin Henry).
Dan seorang istri di Amerika tak memiliki satu previlese yang
dipunyai para istri kelas menengah Indonesia: Joanna tak punya
babu. Ia harus mencuci, mengepel, memasak, mendidik anak,
melayani suami, me-anu dan me-itu sendiri. Di Indonesia,
seorang istri dengan satu atau dua babu bisa bebas -- seperti
bebasnya orang Yunani kuno dalam mengembangkan diri karena
ditolong budak-budak. Di Amerika Serikat, itu tak mungkin.
Joanna Kramer pada suatu hari menyadari: ia tak bisa
mengembangkan dirinya secara penuh.
Kesenian Yang Jujur
Dan terbanglah ia, dari seorang suami yang sukses. Ted seorang
periklanan yang kerepotan besarnya adalah tentang pekerjaannya
sendiri yang mengasyikkan.
Apa yang diketahuinya tentang keresahan istrinya? Apa yang
diketahuinya tentang anaknya? Cintanya besar kepada keluarga,
dan ia tak pernah menyeleweng. Tapi itulah: Joanna telah menjadi
hanya bayangan yang terbongkok-bongkok. Setelah sore itu ia
sadar Joanna tak akan kembali kepadanya, fakta kemudian
kelihatan: Ted bahkan tak bisa menyiapkan sarapan sederhana
untuk Billy dan dirinya sendiri.
Angka perceraian di Amerika Serikat akhir-akhir ini memang
seperti angka inflasi. Film Benton ini adalah film dengan
masalah aktual bagi hadirin yang di dekatnya dan tak
mengherankan bila di AS ia mendapat sambutan hangat (bukan
sekedar berupa hadiah). Tapi bahwa kita di Indonesia bisa
menontonnya dengan keharuan, menunjukkan bahwa Kramer vs. Kramer
sanggup melintasi masalah yang bermula dari suatu tempat, dari
suatu waktu.
Sebabnya barangkali sederhana saja film ini adalah sebuah
kesenian yang jujur dan bersungguh-sungguh. Ia jujur dalam arti
lurus, tanpa pretensi, tanpa berpolemik, tanpa akrobat dan tanda
seru. Tak ada teknik-teknik yang mengejutkan, yang suka dibahas
bertele-tele dengan istilah angker (misalnya, "dramaturgi Anu")
oleh kritikus ketengan. Adegan-adegan yang terpenting bahkan
hanya terdiri dari wajah-wajah para aktor. Set tak banyak
beranjak dari dalam rumah.
Dibandingkan dengan The Champ, yang juga berkisah tentang
seorang bapak, seorang anak dan seorang ibu yang berpisah dari
mereka, Kramer vs. Kramer jauh dari sikap mencari air mata. Ia
bukan film India tentang anak tiri. Dengan bahasa kamera yang
bernada rendah, mengikuti sebuah cerita yang tidak kompleks,
penyutradaraan dan skenario Benton setia menangkap apa yang
subtil: cinta, rasa hormat, enggan, kesedihan, sesal, perubahan
sikap.
Dengan Dustin Hoffmann, Meryl Streep dan Justin Henry,
pendekatan semacam itu menghasilkan sebuah pertunjukan seni
peran yang mempesonakan. Hoffmann sebagai Ted pelan-pelan, tanpa
bicara banyak, berkembang dari seorang yang mengurus rumah
tangga secara terpaksa dan bingung, menjadi seorang yang hanya
punya Billy di pusat hatinya. Simpati kita jatuh kepadanya. Di
adegan sarapan di akhir film, sebelum berpisah dengan anaknya,
Hoffmann cukup hanya berdiam, kemudian memeluk Billy sembari
memejamkan mata beberapa detik -- tapi kita tahu bagaimana
perasaannya.
Dan Meryl Streep. Dengan gerak air muka saja, lewat-kamera jarak
sedang (jarak yang lebih dekat akan terasa terlalu sengaja), di
sidang pengadilan itu segala masa lalu, cita-cita dan rasa
cintanya kepada anak tampil. Dia bukan hanya seorang wanita yang
mau mementingkan dirinya sendiri. Ia bahkan masih menghormati
Ted adegan terbagus di sini ialah ketika mereka -- yang
berlawanan dalam perkara berebut anak itu -- saling mencuri
pandang, senyum, malu, atau frustrasi.
Tapi kekaguman kita terbesar tentu kepada Justin Henry. Anak
yang ditemukan Benton dari sebuab sekolah di New York, di antara
200 anak lain yang dites, belum pernah main film apa pun
sebelumnya. Dia dipilih justru karena itu, di samping karena
dalam hidup sehari-hari, ia mesra dengan bapaknya. Dalam Kramer
vs. Kramer, dialah pusat konflik yang bisa diselesaikan secara
formal lewat hukum, tapi tak terpecahkan secara moral. Sebab
kita tak tahu, siapakah yang harus disalahkan -- kecuali keadaan
yang menyebabkan perpisahan terjadi dan cinta jadi terganggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini