DI Filipina, wartawan Demosthenes Dingcong ditembak mati di
rumahnya, Koresponden harian Bulletin Today itu dibunuh (5
Desember 1980) karena membongkar kasus korupsi 1,3 juta pesos
(Rp 108 juta) di Universitas Negeri Mindanao, Marawi, 784 km
sebelah tenggara Manila. Dua tentara yang mengaku dibayar untuk
membunuhnya telah mengungkapkan latar belakang peristiwa tadi.
Mereka menyerahkan diri kepada pejabat militer.
Kekerasan sesungguhnya tidak hanya menimpa diri Dingcong. Di
Prancis, dua wartawan tahun lalu dibantai teroris karena
dianggap akan menyingkapkan identitas mereka. Begitu juga
kelompok teroris Brigade Merah, Italia, telah menghabisi riwayat
wartawan Walter Tobagi yang tengah mengumpulkan bahan untuk
penulisannya. Kewartawanan, demikian International Press
Institut, yang berpusat di London, kini menjadi suatu profesi
yang luar biasa berbahaya. "Semakin banyak wartawan
internasional kelak akan dibunuh dipenjarakan, diculik, disiksa
dan diganggu," kata IPI ketika menutup laporan tahun 1980. IPI
merupakan suatu organisasi bebas, beranggotakan 2000 orang
(wartawan dan penerbit) dari 70 negara yang tidak mewakili
kepentingan negara dan perusahaannya.
Penangkapan dan ancaman mati lanjut IPI, merupakan dua bentuk
gangguan yang sering diderita para wartawan di Afrika. Di
Uganda, misalnya, banyak wartawan menjadi sasaran ancaman mati
dari pamflet tak dikenal yang diedarkan dl Kampala. Bahkan di
Zambia dan Republik Afrika Tengah, para wartawan -- termasuk
yang mewakili Reuter dan AP -- telah ditangkapi.
Berlian Bolcassa
Tapi ancaman paling serius terhadap kemerdekaan pers dan
keselamatan wartawan menjalankan profesinya terjadi di Afrika
Selatan. Di sana terdapat lebih 100 undang-undang yang membatasi
kemerdekaan pers. Prospek kemerdekaan pers di negara apartheid
itu memang suram, sekalipun pemerintah menyatakan sebaliknya.
"Kini semakin sulit menyusun daftar negara yang mempunyai
kebebasan pers," tulis IPI. Hanya kurang dari 20 negara di
dunia, menurut penilaian lembaga itu, masih punya pers bebas
sebenarnya.
Bahkan di negara yang punya tradisi demokrasi kuat seperti
Prancis dan Italia, sambung IPI, juga tampak meningkat kontrol
dan pengawasan pemerintah terhadap pers. Serangan terburuk yang
dialami pers di Prancis adalah tuntutan pemerintah terhadap Le
Monde. Koran berpengaruh ini, karena serangkaian artikelnya yang
mengritik sejumlah keputusan pengadilan, dituduh merusakkan
kekuasaan sendi peradilan. "Juga terdapat berbagai usaha
pemerintah Prancis membungkam pers yang mengungkapkan bahwa
Presiden Valery Giscard d'Estaing menerima sejumlah berlian dari
Kaisar Bokassa," lanjut IPI.
Semakin Sulit
Di Asia, menurut IPI, pers Korea Selatan menderita cukup parah
di bauah program pembersihan pemerintah. Sedikitnya 172 koran
dibreidel, dan 400 di antara 1.200 redaktur serta wartawan
kehilangan pekerjaan karena harus "melancarkan pembersihan diri
sendiri." IPI juga mengungkapkan bahwa banyak redaktur
berpengaruh di Korea Selatan tak punya lagi kesempatan bekerja
di koran, radio maupun televisi.
Sementara itu pemerintah Taiwan semakin keras mengekang
kehidupan pers oposisi. IPI mengungkapkan bahwa setidaknya
delapan anggota pimpinan majalah politik Formosa -- yang sudah
dibreidel -- dipenjarakan. Mereka dituduh berusaha menumbangkan
pemerintah dengan mensponsori pawai Hari Asasi Manusia. Taipeh
jua membreidel majalah oposisi Asian "karena memutarbalikkan
pemberitaan yang bisa merusakkan moral publik."
Dalam 12 bulan terakhir ini, menurut IPI, juga keadaan buruk
menimpa kebebasan pers di Australia. Antara lain dicatatnya
serangkaian tindakan kekerasan fisik dan ancaman terhadap
wartawan. Menurut Colin McKay, Sekretaris Pelaksana Dewan Pers
Australia, 40% kasus terhadap ancanlan kebebasan pers justru
datang dari lembaga peradilan.
IPI menyatakan puas dengan pengenduran sensur pers di Polandia.
"Sekarang," lapornya, "jenis artikel yang tak mungkin muncul di
masa lalu terlihat hampir setiap hari di media massapolan dia."
Pejabat Cekoslowakia dan Jerman Timur bahkan telah menyita
sejumlah koran resmi Polandia yang dianggap berisi tulisan
subversif.
"Tapi suatu hal sudah pasti: tugas wartawan menjadi makin sulit
dan berbahaya," demikian kesimpulan IPI. Setiap tahun, kata
Ranald Macdonald, Ketua IPI (1978-80), semakin banyak saja
wartawan dipenjarakan atau disiksa, diculik atau dibunuh karena
mereka menulis atau mengudarakan sesuatu yang tak disukai
pemerintah maupun teroris. Macdonald, yang juga penerbit harian
The Age, Australia, mengungkapkan kenyataan tersebut di depan
wartawan RRC di Peking, Desember lalu.
Sering dalam tiap perdebatan, sambung Macdonald, pihak
pemerintah mengemukakan pendapat bahwa setiap wartawan
seharusnya tidak melaporkan atau mengomentari sesuatu yang
menyebabkan negerinya tak baik dipandang. Memang pemerintah
berusaha memerangi kemiskinan, ketidakadilan di masa lalu, dan
kebodohan. "Tapi tidaklah realistis melarang wartawan mengritik
pemerintah," kata Macdonald. "Larangan itu sama saja dengan
menganggap bahwa seseorang di pemerintahan tak akan pernah
membuat kesalahan."
Macdonald juga menilai sangat buruk membiarkan masyarakat tidak
tahu fakta dan motivasi di belakang suatu keputusan pemerintah.
"Ketidaktahuan merupakan musuh terbesar wartawan dan, tentu
juga, masyarakat," sebutnya. "Masyarakat dengan sistem informasi
lemah adalah masyarakat sakit."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini