LIMA malam berturut-turut, sejak tanggal 26 Agustus, penonton di
TIM disuguhi ludruk Trisula Dharma dari Madiun. Ludruk yang
bernaung di bawah Kopasgat AURI ini mampu mengocok penonton,
tapi tidak berhasil dalam soal mengumpulkan jumlah penonton.
Imam Santoso pimpinan ludruk yang juga menjadi pemain inti
memang menyadari: "Waktu kita memang kurang tepat. Peminat
ludruk dari Jawa Tengah dan Timur sedang pulang berlebaran.
Padahal merekalah yang kita harapkan akan nonton," ujarnya
sedih.
Uang yang masuk minim, "Tapi kami dapat pengalaman yang luar
biasa. Kami main di kota dengan penonton yang terpilih" kata
Imam. Sambutan penonton dirasanya sangat baik. Akrab dan
komunikatif. Pantat-pantat tak pernah tergeser dari bangku,
sampai tontonan selesai. 5 malam berturut-turut dipentaskan
Siluman Naga Hijau, Syarip Tambak Yoso, Warok Suromenggolo,
Hantu di Atas Becak dan terakhir Sawunggaling.
Tari 'Ngremo' yang menjadi ciri ludruk, tetap muncul, di samping
ciri yang lain humor, kidung, laki-laki berdandan wanita.
Orang bilang ludruk tanpa ngremo ibarat makan tanpa garam.
Gerakan yang dipentingkan hanya leher, tangan dan kaki, dengan
badan yang tetap tegak. Lain dengan tari Jawa di mana
lekak-lekuk badan dipentingkan.
Apa sebenarnya tari ngremo? Memang banyak tarsiran yang muncul.
Ada yang mengatakan ibarat seorang bayi yang baru lahir, maka
yang bisa digerakkan adalah tangan, kaki dan leher.
Tafsiran lain gerakan pemuda yang dinamis, penuh tanggung jawab
menyambut tantangan hidup. Adapun kelima jari yang membuka,
ditafsirkan pula sebagai sifat orang Jawa yang terbuka. Tari ini
dimaksudkan sebagai pembuka menyilakan penonton menikmati.
Kalau teater rakyat macam Miss Tjitjih dan Srimulat selalu
mempertentangkan yang baik dan yang buruk dengan kemenangan yang
baik, ludruk sama saja. Yang berjiwa busuk pasti akan dicaci.
Begitu jugalah yang terjadi di TIM pada malam ludrukan itu.
Segala yang jahat berakhir. Hanya scdikit cacad dari segi
penampilannya. Kita, yang ingin mendengar logat Jawa Timuran
yang medok, hanya disuguhi gado-gado. Logat Jatim tak utuh
meskipun, tukang kocok perut seperti "Klowor" dan "Timbul" tak
mengecewakan.
Perkembangan ludruk sekarang pesat. Tak kurang dari 100 unit
ludruk ada di Jawa Timur saat ini. Tapi ludruk Trisula Dharma
yang sudah berusia 12 tahun paling lama bertahan. Perkumpulan
ludruk ini, persisnya ada di Magetan. Tak mempunyai gedung
sendiri. Hidupnya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.
Masuk ke desa-desa sampai jauh di pelosok Jatim.
Mengapa tak menetap saja? "Pertama tak punya gedung sendiri.
Kedua, netap itu repot. Kita bisa kehabisan bahan cerita.
Akibatnya penonton bisa bosan" kata Imam Santoso, 38 tahun, yang
juga guru SD. Karena ia guru, tentu saja ia harus membagi waktu.
Ia mengajar di siang hari, malamnya main. Kalau main ke luar
kota, terpaksa pekerjaan diserahkan pada wakilnya.
Seluruh Jatim sudah terjelajah. Jateng baru sebagian. Pernah
main di Bandung 4 kali. Kalau di TIM karcisnya berharga Rp 750,
Rp500, Rp 300, di desa dan kecamatan tanda masuk cuma Rp 25,
berdiri. Dengan karcis Rp 25 ludruk ini bisa bertahan 1 bulan.
Kalau sedang terjun ke desa-desa, rombongan yang berjumlah 75
orang, dipersilakan cari pondokan sendiri-sendiri. "Penduduk
malah senang menerima kami. Mereka senang kalau kami bisa
menetap di rumahnya" kata Syamsul Arifin, 32 tahun, salah
seorang pemain.
Kalau tak numpang di rumah penduduk, penghasilan mana cukup.
Pendapatan mereka minim. Mereka selalu mengharap karcis terjual.
Begitu selesai pertunjukan, mereka berkumpul, membagi uang dan
membicarakan pentas-kalau masih ada waktu.
Semalam bisa terima Rp 400, Rp 500, lebih besar atau juga lebih
kecil. "Malah bisa pula tidak, karena hujan sehingga tidak main"
kata Imam. Bila hujan, kalau ada uang kas, uang itulah yang
dibagi.
Pernah, ketika rombongan main di Sragen sedang musim hujan,
penonton tidak nongol sampai 2 hari. "Selama 2 hari itu kami
tidak makan. Betul-betul ini menyedihkan, tapi untungnya
ro.mbongan kami tetap kompak" cerita Imam.
Satu atau dua orang dari rombongan ini memang ada yang pergi.
"Bukan lari ke grup ludruk yang lain, tapi ganti profesi" kata
Imam. Ini grup, berusaha untuk supel. Kalau ada yang pergi,
datang lagi, diterima dengan terbuka. Grup ini juga berusaha
menampung mereka yang terlantar dari satu profesi. Menejemen
terbuka. Siapa saja boleh kontrol pemasukan dan pengeluaran uang
grup. "Barangkali, ini yang membuat kami bisa bertahan" kata
Imam dengan bangga.
Seorang pemain yang bernama Anwar alias An Wan (masih keturunan
Cina) mengaku masuk ke Trisula Dharma karena pingin cari duit
banyak. Dengan gayanya yang banci ia mengatakan "Di sini bisa
menyalurkan seni yang sudah jadi bakat saya". Anwar, 27 tahun,
keluaran SMA. Sejak kecil, karena merasa punya sifat kewanitaan
ia terjun ke ludruk. "Dari dulu memang lembeng (mirip wanita)
gini kok mas" katanya. Anwar serba bisa. "Sholat pun tak pernah
ditinggalkannya" kata Imam.
Akademi Ludruk
Hampir 50% dari mereka yang terjun ke ludruk dan memerankan
wanita pasti tidak beres. Artinya mereka betul-betul mempunyai
sifat kewanitaan. "Sering kami beritahu pada mereka, supaya
selesai main kembali seperti lelaki, tapi hasilnya kecil. Ludruk
yang baik, harus menjaga kesenian aslinya. Wanita di pentas,
tapi lelaki di luar" kata Imam.
Penghasilan yang kecil banyak gangguannya. Imam mengeluh, di
samping pendapatan kecil, pajak tontonan yang ditarik besar.
Menurut kebiasaan, pembagian hasil adalah sebagai berikut. Kalau
rombongan dibawa oleh suatu panitia, 25% hasil masuk ke panitia,
sisanya dibagi sesama anggota. Sama rasa, sama rata Pembagian
dilakukan setelah dipotong pajak tontonan 23%. 10% untuk
pengelola, Kopasgat dan juga untuk izin bermain. Izin bermain
kadangkala sampai Rp 20.000.
Banyak orang di Jatim beranggapan bahwa ludruk sebelah timur
kali Brantas lebih bisa diandalkan. Imam sebagai warga ludruk
yang di sebelah barat Brantas berusaha menghilangkan gambaran
jelek ini. "Saya juga ingin supaya ludruk yang saya pimpin
seperti ketoprak Pantibudoyo di Tulungagung" katanya. Kehidupan
ketoprak itu juga berkeliling. Awaknya lebih 200 orang. Mereka
mempunyai panggung yang bisa diangkat-angkat. Dengan 3 bus plus
5 truk semua perlengkapan dibenahi. Rombongan mempunyai semacam
sekolah keliling tingkat Taman Kanak-kanak, menurut lokasi
bermain. Kalau penghasilan semalam kurang dari « juta rupiah bisa
bangkrut" cerita Imam.
Imam selalu berusaha membuat pemainnya mapan. Ini membutuhkan
pendidikan. Ia menyadari, pemainnya kurang pengetahuan. Malah
ada yang buta huruf. "Pemain kami ini semangat ada, tapi kemauan
untuk meningkatkan mutu kurang," ujarnya. Kalau lagi demam
ngomong pentas, terus-terus yang diomongin pentas. Tapi sekali
malas, pentas tak pernah digubris. "Barangkali kalau ada akademi
ludruk, kehidupan ludruk tak begini" kata Syamsul Arifin
nimbrung.
Mengenai pertunjukan di Jakarta agak menyedihkan. Bayangkan
saja. Menurut kalkulasi panitia yang membawa mereka, bisa
mengeruk uang 1 « juta. Dapat 40% dari itu saja sudah untung.
Kenyataannya yang ditarik hanya 10%. Itupun harus dibagi antara
TIM dan panitia sponsor. Sedangkan pengeluaran sponsor untuk
akomodasi saja tiap harinya sudah Rp 78 ribu. Untuk honor pemain
Rp 100 ribu semalam. Walhasil panitia malah tekor. Bagaimana
tidak tekor, kalau uang yang masuk tiap malam hanya sekitar Rp
150 ribu.
"Kita yang harapin di Jakarta bisa bawa oleh-oleh jadi buyar"
kata salah seorang pemain. Imam, tak bisa apa-apa. Ketika
disediakan kendaraan untuk keliling kota, rombongan yang baru ke
Jakarta sekali itu, ingin ke Taman Mini. Begitu sampai di sana,
rombongan hans membayar Rp 7.500. "Mana kita ada uang? Honor
main belum dibayar" kata Imam. Diturunkan menjadi Rp 5000, toh
masih tetap tak mampu. Walhasil rombongan hanya sampai di pintu
gerbang. Mereka pulang ke TIM dengan perasaan gundah.
"Betul-betul saya nelongso" kata Imam melihat anak buahnya. Tapi
mau apa lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini