Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Harapan buyar di jakarta

Pertunjukan ludruk trisula dharma dari madiun tgl 26-08-1978 di tim, jakarta, kurang dipadati penonton. (ter)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Harapan buyar di jakarta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
LIMA malam berturut-turut, sejak tanggal 26 Agustus, penonton di TIM disuguhi ludruk Trisula Dharma dari Madiun. Ludruk yang bernaung di bawah Kopasgat AURI ini mampu mengocok penonton, tapi tidak berhasil dalam soal mengumpulkan jumlah penonton. Imam Santoso pimpinan ludruk yang juga menjadi pemain inti memang menyadari: "Waktu kita memang kurang tepat. Peminat ludruk dari Jawa Tengah dan Timur sedang pulang berlebaran. Padahal merekalah yang kita harapkan akan nonton," ujarnya sedih. Uang yang masuk minim, "Tapi kami dapat pengalaman yang luar biasa. Kami main di kota dengan penonton yang terpilih" kata Imam. Sambutan penonton dirasanya sangat baik. Akrab dan komunikatif. Pantat-pantat tak pernah tergeser dari bangku, sampai tontonan selesai. 5 malam berturut-turut dipentaskan Siluman Naga Hijau, Syarip Tambak Yoso, Warok Suromenggolo, Hantu di Atas Becak dan terakhir Sawunggaling. Tari 'Ngremo' yang menjadi ciri ludruk, tetap muncul, di samping ciri yang lain humor, kidung, laki-laki berdandan wanita. Orang bilang ludruk tanpa ngremo ibarat makan tanpa garam. Gerakan yang dipentingkan hanya leher, tangan dan kaki, dengan badan yang tetap tegak. Lain dengan tari Jawa di mana lekak-lekuk badan dipentingkan. Apa sebenarnya tari ngremo? Memang banyak tarsiran yang muncul. Ada yang mengatakan ibarat seorang bayi yang baru lahir, maka yang bisa digerakkan adalah tangan, kaki dan leher. Tafsiran lain gerakan pemuda yang dinamis, penuh tanggung jawab menyambut tantangan hidup. Adapun kelima jari yang membuka, ditafsirkan pula sebagai sifat orang Jawa yang terbuka. Tari ini dimaksudkan sebagai pembuka menyilakan penonton menikmati. Kalau teater rakyat macam Miss Tjitjih dan Srimulat selalu mempertentangkan yang baik dan yang buruk dengan kemenangan yang baik, ludruk sama saja. Yang berjiwa busuk pasti akan dicaci. Begitu jugalah yang terjadi di TIM pada malam ludrukan itu. Segala yang jahat berakhir. Hanya scdikit cacad dari segi penampilannya. Kita, yang ingin mendengar logat Jawa Timuran yang medok, hanya disuguhi gado-gado. Logat Jatim tak utuh meskipun, tukang kocok perut seperti "Klowor" dan "Timbul" tak mengecewakan. Perkembangan ludruk sekarang pesat. Tak kurang dari 100 unit ludruk ada di Jawa Timur saat ini. Tapi ludruk Trisula Dharma yang sudah berusia 12 tahun paling lama bertahan. Perkumpulan ludruk ini, persisnya ada di Magetan. Tak mempunyai gedung sendiri. Hidupnya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Masuk ke desa-desa sampai jauh di pelosok Jatim. Mengapa tak menetap saja? "Pertama tak punya gedung sendiri. Kedua, netap itu repot. Kita bisa kehabisan bahan cerita. Akibatnya penonton bisa bosan" kata Imam Santoso, 38 tahun, yang juga guru SD. Karena ia guru, tentu saja ia harus membagi waktu. Ia mengajar di siang hari, malamnya main. Kalau main ke luar kota, terpaksa pekerjaan diserahkan pada wakilnya. Seluruh Jatim sudah terjelajah. Jateng baru sebagian. Pernah main di Bandung 4 kali. Kalau di TIM karcisnya berharga Rp 750, Rp500, Rp 300, di desa dan kecamatan tanda masuk cuma Rp 25, berdiri. Dengan karcis Rp 25 ludruk ini bisa bertahan 1 bulan. Kalau sedang terjun ke desa-desa, rombongan yang berjumlah 75 orang, dipersilakan cari pondokan sendiri-sendiri. "Penduduk malah senang menerima kami. Mereka senang kalau kami bisa menetap di rumahnya" kata Syamsul Arifin, 32 tahun, salah seorang pemain. Kalau tak numpang di rumah penduduk, penghasilan mana cukup. Pendapatan mereka minim. Mereka selalu mengharap karcis terjual. Begitu selesai pertunjukan, mereka berkumpul, membagi uang dan membicarakan pentas-kalau masih ada waktu. Semalam bisa terima Rp 400, Rp 500, lebih besar atau juga lebih kecil. "Malah bisa pula tidak, karena hujan sehingga tidak main" kata Imam. Bila hujan, kalau ada uang kas, uang itulah yang dibagi. Pernah, ketika rombongan main di Sragen sedang musim hujan, penonton tidak nongol sampai 2 hari. "Selama 2 hari itu kami tidak makan. Betul-betul ini menyedihkan, tapi untungnya ro.mbongan kami tetap kompak" cerita Imam. Satu atau dua orang dari rombongan ini memang ada yang pergi. "Bukan lari ke grup ludruk yang lain, tapi ganti profesi" kata Imam. Ini grup, berusaha untuk supel. Kalau ada yang pergi, datang lagi, diterima dengan terbuka. Grup ini juga berusaha menampung mereka yang terlantar dari satu profesi. Menejemen terbuka. Siapa saja boleh kontrol pemasukan dan pengeluaran uang grup. "Barangkali, ini yang membuat kami bisa bertahan" kata Imam dengan bangga. Seorang pemain yang bernama Anwar alias An Wan (masih keturunan Cina) mengaku masuk ke Trisula Dharma karena pingin cari duit banyak. Dengan gayanya yang banci ia mengatakan "Di sini bisa menyalurkan seni yang sudah jadi bakat saya". Anwar, 27 tahun, keluaran SMA. Sejak kecil, karena merasa punya sifat kewanitaan ia terjun ke ludruk. "Dari dulu memang lembeng (mirip wanita) gini kok mas" katanya. Anwar serba bisa. "Sholat pun tak pernah ditinggalkannya" kata Imam. Akademi Ludruk Hampir 50% dari mereka yang terjun ke ludruk dan memerankan wanita pasti tidak beres. Artinya mereka betul-betul mempunyai sifat kewanitaan. "Sering kami beritahu pada mereka, supaya selesai main kembali seperti lelaki, tapi hasilnya kecil. Ludruk yang baik, harus menjaga kesenian aslinya. Wanita di pentas, tapi lelaki di luar" kata Imam. Penghasilan yang kecil banyak gangguannya. Imam mengeluh, di samping pendapatan kecil, pajak tontonan yang ditarik besar. Menurut kebiasaan, pembagian hasil adalah sebagai berikut. Kalau rombongan dibawa oleh suatu panitia, 25% hasil masuk ke panitia, sisanya dibagi sesama anggota. Sama rasa, sama rata Pembagian dilakukan setelah dipotong pajak tontonan 23%. 10% untuk pengelola, Kopasgat dan juga untuk izin bermain. Izin bermain kadangkala sampai Rp 20.000. Banyak orang di Jatim beranggapan bahwa ludruk sebelah timur kali Brantas lebih bisa diandalkan. Imam sebagai warga ludruk yang di sebelah barat Brantas berusaha menghilangkan gambaran jelek ini. "Saya juga ingin supaya ludruk yang saya pimpin seperti ketoprak Pantibudoyo di Tulungagung" katanya. Kehidupan ketoprak itu juga berkeliling. Awaknya lebih 200 orang. Mereka mempunyai panggung yang bisa diangkat-angkat. Dengan 3 bus plus 5 truk semua perlengkapan dibenahi. Rombongan mempunyai semacam sekolah keliling tingkat Taman Kanak-kanak, menurut lokasi bermain. Kalau penghasilan semalam kurang dari « juta rupiah bisa bangkrut" cerita Imam. Imam selalu berusaha membuat pemainnya mapan. Ini membutuhkan pendidikan. Ia menyadari, pemainnya kurang pengetahuan. Malah ada yang buta huruf. "Pemain kami ini semangat ada, tapi kemauan untuk meningkatkan mutu kurang," ujarnya. Kalau lagi demam ngomong pentas, terus-terus yang diomongin pentas. Tapi sekali malas, pentas tak pernah digubris. "Barangkali kalau ada akademi ludruk, kehidupan ludruk tak begini" kata Syamsul Arifin nimbrung. Mengenai pertunjukan di Jakarta agak menyedihkan. Bayangkan saja. Menurut kalkulasi panitia yang membawa mereka, bisa mengeruk uang 1 « juta. Dapat 40% dari itu saja sudah untung. Kenyataannya yang ditarik hanya 10%. Itupun harus dibagi antara TIM dan panitia sponsor. Sedangkan pengeluaran sponsor untuk akomodasi saja tiap harinya sudah Rp 78 ribu. Untuk honor pemain Rp 100 ribu semalam. Walhasil panitia malah tekor. Bagaimana tidak tekor, kalau uang yang masuk tiap malam hanya sekitar Rp 150 ribu. "Kita yang harapin di Jakarta bisa bawa oleh-oleh jadi buyar" kata salah seorang pemain. Imam, tak bisa apa-apa. Ketika disediakan kendaraan untuk keliling kota, rombongan yang baru ke Jakarta sekali itu, ingin ke Taman Mini. Begitu sampai di sana, rombongan hans membayar Rp 7.500. "Mana kita ada uang? Honor main belum dibayar" kata Imam. Diturunkan menjadi Rp 5000, toh masih tetap tak mampu. Walhasil rombongan hanya sampai di pintu gerbang. Mereka pulang ke TIM dengan perasaan gundah. "Betul-betul saya nelongso" kata Imam melihat anak buahnya. Tapi mau apa lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus