Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Siang, Malam, Memberantas BH

Program pemberantasan buta huruf di Indonesia dilaksanakan departemen P & K bekerjasama dengan Unicef, untuk memberantas "tiga buta": buta aksara latin, buta bahasa Indonesia & buta pendidikan dasar. (pdk)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEPARTEMEN P& K memperhitungkan 38,5 juta orang, atau 30% dari penduduk Indonesia, masih buta huruf. Untuk mengatasi masalah tersebut P& K sqak tahun 1975 telah meletakkan program pemberantasannya dengan bekerjasama dengan Unicef. Program tersebut meliputi penyediaan paket pendidikan meliputi 100 jilid buku mulai dari Paket A 1 sampai A 100. Isinya pengetahuan paling dasar, dari pengenalan aksara sampai pada pengetahuan umum. Untuk membimbing peserta Paket A1 misalnya, malahan disediakan kertas tipis di atas halaman pelajaran, supaya murid bisa belajar dengan menyalin pelajaran yang tertera dalam buku itu. Bertambah naik jilidnya bertambah pula pelajaran yang bakal didapat. Antara lain pengetahuan pertukangan dan cara bercocok tanarn. Isi buku memang tak jauh dari lingkungan hidup penduduk, supaya murid lebih gampang mengikutinya. Yang jadi sasaran PaketA terutanma mereka yang berusia antara 10 dan 45 tahun, yang tak pernah sekolah atau putus sekolah dari SD. Pelaksanaan pendidikan ini dijalankan tanpa ketentuan waktu yang ketat seperti sekolah laimnya. Bisa saja dilaksanakan di dangau ketika istirahat di ladang, atau malam hari menjelang tidur. Inilah jalan pintas untuk memberantas "tiga buta" buta aksara latin, buta bahasa Indonesia dan buta pendidikan dasar, seperti dikatakan Menteri Daoed Joesoe dalam menyambut Hari Aksara Internasional tanggal 1 September. Deret Ukur Sejak April yang lalu Direktorat Jenderal pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga memang menyelenggaakan Paket percobaan A1 sampai A10 di 10 daerah miskin, seperti Pasaman Barat (Sumbar), Way Abung (Lampung), Indramayu (Jabar), Grobogan (Jateng), Madura (Jatim), Gunung Kidul (Jateng), Gowa dan Takalar (Sulsel), Kendari (Sulteng), Tabanan, Buleleng, Jembrana (Bali) dan Lombok Barat (NTB). Kelompok belajar dengan paket ini dipimpin oleh seorang pamong. Para pamong bekerja berdasarkan program Kelompok Belajar yang dilaksanakan dengan sistim berantai dan hasilnya, kalau mungkin, seperti deret ukur naik. Artinya seseorang yang sudah melek huruf diharapkan bisa memelekkan 10 orang rekannya pula. "Cara ini ditempuh, karena petugas tehnis di lapangan sangat kurang," kata Anwas Iskandar, Direktur Pendidikan Masyarakat, Departemen P&K kepada Eddy Herwanto. Di tahun 1975, dengan biaya Rp 500 juta, berhasil ditelorkan 11 ribu pamong. Tapi setelah diatur kembali yang tinggal hanya 4 atau 5000 saja lagi. "Kini tengah dipikirkan untuk mengikutsertakan Hansip, Koramil atau mahasiswa yang ber KKN," tambah Anwas. Untuk 7 kota besar seperti Medan Bandung, Jakarta, Surabaya, Cirebon Ujung Pandang dan Semarang, di mana program paket ini juga dilaksanakan, tenaga pamong dan penyediaan buku mungkin tak banyak soal, tapi buat daerah ? Berikut ini laporan wartawan TEMPO DS Karma yang melakukan peninjauan akhir Agustus kemarin ke Sulawesi Selatan. Sementara Widi Yarmanto melaporkan pelaksanaan pendidikan paket di Kramatjati, Jakarta. Bersarung pelekat murahan dan berkopiah, Basir, 35 tahun, punya anak 3 orang, membuka buku jilid A1. Dengan wajah berseri-seri ia menatap halaman 18. " . . . sembilan . . . sepuluh . . . ini gelas . . . ada 9 gelas . . . gelas siapa . . . " Basir membaca lancar buku Program Paket A berwarna biru metalik itu. Sementara dengan suara pelan, Liwang, 30 tahun, punya anak 10 orang, lancar pula membaca halaman satu buku jilid A2. Dengan menumpang di rumah teman sedesa yang sedikit berada, Basir, Liwang dan 8 nelayan lainnya, giat belajar huruf dan angka. Mereka termasuk salah satu kelompok belajar di Desa Galesong, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulsel. Lepas Lohor sampai Asar setiap Selasa, Kamis dan Sabtu, para nelayan desa yang terletak kira-kira 45 Km dari Ujung Pandang itu, sudah ikut dalam pemberantasan buta huruf itu, sejak Mei lalu. Mereka dibimbing oleh tutor Nurlaila, 26, tamatan SPG tahun 1970 dan Zaenal, 21, lulusan SMEA tahun 1975. Kegiatan di desa berpenduduk sekitar 6 ribuan dengan sekitar seribuan buta huruf itu adalah sekelumit gambaran usaha PBH di Sulsel berpenduduk lebih 5,5 juta dan di antaranya hampir satu juta buta huruf, Sulsel merupakan satu di antara 6 daerah tingkat I yang jadi sasaran Program Paket A. Bangsawan Di daerah Gubernur Andi Odang ini semangat kepingin melek huruf Latin tampak tumbuh subur. Selain di Desa Galesong, Takalar, juga tampak di Desa Bulutana, Kecamatan Tinggimoncong, Kab. Gowa. Di desa terletak kira-kira 72 Km dari Ujung Pandang ini sampai akhir Agustus lalu sudah terbentuk 40 kelompok belajar. Kelompok belajar yang antara lain dibimbing tutor M. Amir T, 26, jebolan PGA (Pendidikan Guru Agama) memilih hari-hari belajar 3 kali seminggu: Senen, Rabu dan Sabtu. Jam belajar agak longgar tergantung keadaan kurang sibuknya para peserta kelompok. Kelompok-kelompok itu dua kali seminggu berkumpul di suatu tempat pertemuan, untuk bisa saling tukar pengalaman dan fikiran. "Saya sendiri di samping mengajar juga belajar," tutur Amir, yang juga kepala kampung setempat. Kampung Pangajian, Desa Parigi, Kabupaten Gowa juga cepat tumbuh. Selain 9 kelompok di kampungnya sendiri, Fatimah, 21 tahun, lulusan PGA membimbing pula beberapa kelompok di kampung sekitarnya. Di Salotawa 7 kelompok, Asana 4 kelompok dan Jonjon 5 kelompok. "Yang sudah saya laporkan ke Kepala Desa baru 11 kelompok," tutur Fatimah. Untuk memainkan peranannya gadis ini sedikitnya menempuh 7 km jalan kaki untuk membimbing kelompok-kelompok itu. Ia sendiri tinggal di tepi jalan raya kabupaten, kira-kira 60-an Km dari Ujung Pandang. Meski keturunan bangsawan bergelar Karaeng, Fatimah tak pernah canggung dan takut melongok kelompok-kelompoknya yang diberinya nama pahlawan Emmy Saelan dan Hasanuddin. Kadang-kadang sampai jam 9 malam. Kabupaten Gowa tampaknya memang daerah termaju di Sulsel dalam pertumbuhan kelompok belajar itu, dibanding Kabupaten Takalar dan Kodya Ujung Pandang. Ketiga daerah tingkat II itu (di Sulsel terdapat 21 Kabupaten dan 2 Kodya) ditetapkan Bappenas sebagai pelaksana program Paket A yangpertama. Di Kabupaten Gowa yang mempunyai 8 Kecamatan dan 30 desa, sampai pertengahan Agustus lalu telah terbentuk 262 kelompok belajar, dengan jumlah peserta 2.484 (wanita 1303, laki-laki 1181). "Menurut Bappenas daerah-daerah tersebut termasuk rawan," tutur drs Abdul Wahab, Kepala Bidang Pendidikan Masyarakat, Kantor Wilayah P dan K Sulawesi Selatan. Rawan karena selisih antara jumlah penduduk dan BH begitu kecil. Mengomentari pertumbuhan kelompok belajar di daerahnya, Bupati Gowa rief Sirajuddin mengatakan. "Keadaan sosial ekonomi penduduk memang seperti sudah siap untuk menerima program pemberantasan BH ini. Sudah tak ada lagi daerah yang terisolir seperti 10 tahun yang lalu. Penduduk sudah bertekad meninggalkan ketinggalannya." Kaum wanita di sana pun katanya sudah mulai berpandangan dan bersikap maju. Adat "siri" dan "pese" yang amat menghambat kaum wanita sekarang menurut berbagai kalangan sudah melonggar. "Tantangan tradisi feodal sudah berkurang, kaum wanita sudah lebih bebas bergaul dan sekarang mau berkelompok belajar," kata Kepala Kantor Wilayah P&K Sulsel drs Andi Abubakar Punagi. Penyediaan tenaga tutor yang terbatas dan penyediaan peralatan belajar sudah bisa diduga menjadi halangan. Kalau tak ada, maka bahan-bahan bacaan itu datangnya amat terlambat. Di desa Layang yang masih terbilang masuk daerah kota Ujung Pandang sebuah Paket A yang sampai ke sana terpaksa digotongroyongkan pemakaiannya untuk tiga kelompok belajar. Konon pula untuk daerah yang lebih jauh ke pedalaman seperti Jeneponto dan Bulukumba. Kramatjati Populasi buta huruf di kecamatan Kramatjati 4.268 orang. Pamongnya 364 orang. Di sini sistim paket tersebut lebih terkenal dengan nama Kursus Pengetahuan Dasar. Untuk menyelesaikan Paket A1 sampai A10 dirancangkan selesai dalam 144 jam. Meskipun dirjen PLSOR Dr. W.P. Napitupulu menyarankan kelompok belajar ini dilakukan malam hari, supaya tidak mengganggu periuk nasi tapi pelaksanaannya ternyata disesuaikan situasi setempat. Di kelurahan Kampung Tengah, misalnya, ada pula yang melakukan di siang hari. Pada mulanya, malah ada yang belajar malam hari di bawah pohon, dengan sebuah petromaks. Pelaksanaan pendidikan ini akhirnya tergantung partisipasi masyarakat setempat juga. "Tanpa itu mana bisa jalan," kata wakil lurah kampung Tengah. Ada yang menyumbangkan tempat, ada yang menyumbang bangku. Malah ada yang menyumbang baju seragam. "Sumbangan baju seragam ini belum tentu membuat positif dalam belajar. Tapi kalau nggak diterima, bagaimana .... Ini kan sumbangan," katanya lagi. Sebuah kelompok belajar terdiri dari 25 orang berkumpul di sebuah petak berukuran 2« x 6 meter. Dindingnya bukan dari tembok seluruhnya. Ada bagian yang dibuat dari papan dan bambu. Lantainya asli tanah merah. Tak ada langit-langit dan beberapa temboknya sudah ada yang miring. Kalau dilihat dan luar, tempat kursus ini mengkhawatirkan. Meskipun proyek percontohan ini. Dibuka resmi 1 Juli, tapi kelompok belajar ini sudah mulai berdiri di pertengahan April. Mereka belajar di rumah kepala RT pak Tukijo. Pakai tikar dengan meja kecil di depannya. Kemudian, karena warung di depannya tak terpakai, maka lebih baik dimanfaatkan. Dan bekas warung yang miring dan mengkhawatirkan itu sudah disulap jadi tempat belajar. Ada yang malam dan ada pula yang siang hari. Mereka berumur dari 10 tahun hingga 45 tahun. "Malah yang tua-tua, meski agak lambat tapi ada kemauan belajar" kata Ny. Tukijo. Apakah ibu-ibu tak malu dilihat anak-anak? Maka bagaikan koor mereka bersuara "Tidaak." Salah seorang dari mereka nyeletuk "Kalau mau belajar nggak boleh malu." Ny. Tini puteranya sudah 3 dan yang paling besar klas I. Ia belajar di KPD atas kemauan sendiri, di samping ada dorongan dari suami. Kalau malam ia belajar bersama anaknya yang besar. Sudah hampir 3 bulan ia belajar di KPD. Buku paket A1 sudah habis dilalap. Buku paket A2 karena belum didrop jadi belum dipelajarinya. Hitungan pertambahan dan pengurangan sudah dikuasainya hingga seribu. Tapi perkalian baru mencapai 50. "Kalau kali-kalian itu susah. Bikin puyeng," katanya. Di tengah para ibu-ibu sedang belajar, tiba-tiba pintu yang hanya tertutup kain terkuak. Muncul seorang anak kecil. Dan langsung menangis mendekati ibunya. Ruang itu jadi sedikit gaduh tapi tak mempengaruhi yang sedang mencari ilmu sederhana itu. Mereka tetap menulis huruf-huruf di kertas. "Sudah biasa, memang anak-anak," kata tutor, seorang wanita. Anak-anak yang pada ngintip juga ada. Tapi dianggap angin lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus