DEPARTEMEN P& K memperhitungkan 38,5 juta orang, atau 30% dari
penduduk Indonesia, masih buta huruf.
Untuk mengatasi masalah tersebut P& K sqak tahun 1975 telah
meletakkan program pemberantasannya dengan bekerjasama dengan
Unicef. Program tersebut meliputi penyediaan paket pendidikan
meliputi 100 jilid buku mulai dari Paket A 1 sampai A 100.
Isinya pengetahuan paling dasar, dari pengenalan aksara sampai
pada pengetahuan umum.
Untuk membimbing peserta Paket A1 misalnya, malahan disediakan
kertas tipis di atas halaman pelajaran, supaya murid bisa
belajar dengan menyalin pelajaran yang tertera dalam buku itu.
Bertambah naik jilidnya bertambah pula pelajaran yang bakal
didapat. Antara lain pengetahuan pertukangan dan cara bercocok
tanarn. Isi buku memang tak jauh dari lingkungan hidup penduduk,
supaya murid lebih gampang mengikutinya.
Yang jadi sasaran PaketA terutanma mereka yang berusia antara 10
dan 45 tahun, yang tak pernah sekolah atau putus sekolah dari
SD. Pelaksanaan pendidikan ini dijalankan tanpa ketentuan waktu
yang ketat seperti sekolah laimnya. Bisa saja dilaksanakan di
dangau ketika istirahat di ladang, atau malam hari menjelang
tidur. Inilah jalan pintas untuk memberantas "tiga buta" buta
aksara latin, buta bahasa Indonesia dan buta pendidikan dasar,
seperti dikatakan Menteri Daoed Joesoe dalam menyambut Hari
Aksara Internasional tanggal 1 September.
Deret Ukur
Sejak April yang lalu Direktorat Jenderal pendidikan Luar
Sekolah dan Olahraga memang menyelenggaakan Paket percobaan A1
sampai A10 di 10 daerah miskin, seperti Pasaman Barat (Sumbar),
Way Abung (Lampung), Indramayu (Jabar), Grobogan (Jateng),
Madura (Jatim), Gunung Kidul (Jateng), Gowa dan Takalar
(Sulsel), Kendari (Sulteng), Tabanan, Buleleng, Jembrana (Bali)
dan Lombok Barat (NTB).
Kelompok belajar dengan paket ini dipimpin oleh seorang pamong.
Para pamong bekerja berdasarkan program Kelompok Belajar yang
dilaksanakan dengan sistim berantai dan hasilnya, kalau mungkin,
seperti deret ukur naik. Artinya seseorang yang sudah melek
huruf diharapkan bisa memelekkan 10 orang rekannya pula. "Cara
ini ditempuh, karena petugas tehnis di lapangan sangat kurang,"
kata Anwas Iskandar, Direktur Pendidikan Masyarakat, Departemen
P&K kepada Eddy Herwanto.
Di tahun 1975, dengan biaya Rp 500 juta, berhasil ditelorkan 11
ribu pamong. Tapi setelah diatur kembali yang tinggal hanya 4
atau 5000 saja lagi. "Kini tengah dipikirkan untuk
mengikutsertakan Hansip, Koramil atau mahasiswa yang ber KKN,"
tambah Anwas.
Untuk 7 kota besar seperti Medan Bandung, Jakarta, Surabaya,
Cirebon Ujung Pandang dan Semarang, di mana program paket ini
juga dilaksanakan, tenaga pamong dan penyediaan buku mungkin tak
banyak soal, tapi buat daerah ?
Berikut ini laporan wartawan TEMPO DS Karma yang melakukan
peninjauan akhir Agustus kemarin ke Sulawesi Selatan. Sementara
Widi Yarmanto melaporkan pelaksanaan pendidikan paket di
Kramatjati, Jakarta.
Bersarung pelekat murahan dan berkopiah, Basir, 35 tahun, punya
anak 3 orang, membuka buku jilid A1. Dengan wajah berseri-seri
ia menatap halaman 18. " . . . sembilan . . . sepuluh . . . ini
gelas . . . ada 9 gelas . . . gelas siapa . . . "
Basir membaca lancar buku Program Paket A berwarna biru metalik
itu. Sementara dengan suara pelan, Liwang, 30 tahun, punya anak
10 orang, lancar pula membaca halaman satu buku jilid A2.
Dengan menumpang di rumah teman sedesa yang sedikit berada,
Basir, Liwang dan 8 nelayan lainnya, giat belajar huruf dan
angka. Mereka termasuk salah satu kelompok belajar di Desa
Galesong, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulsel.
Lepas Lohor sampai Asar setiap Selasa, Kamis dan Sabtu, para
nelayan desa yang terletak kira-kira 45 Km dari Ujung Pandang
itu, sudah ikut dalam pemberantasan buta huruf itu, sejak Mei
lalu. Mereka dibimbing oleh tutor Nurlaila, 26, tamatan SPG
tahun 1970 dan Zaenal, 21, lulusan SMEA tahun 1975.
Kegiatan di desa berpenduduk sekitar 6 ribuan dengan sekitar
seribuan buta huruf itu adalah sekelumit gambaran usaha PBH di
Sulsel berpenduduk lebih 5,5 juta dan di antaranya hampir satu
juta buta huruf, Sulsel merupakan satu di antara 6 daerah
tingkat I yang jadi sasaran Program Paket A.
Bangsawan
Di daerah Gubernur Andi Odang ini semangat kepingin melek huruf
Latin tampak tumbuh subur. Selain di Desa Galesong, Takalar,
juga tampak di Desa Bulutana, Kecamatan Tinggimoncong, Kab.
Gowa. Di desa terletak kira-kira 72 Km dari Ujung Pandang ini
sampai akhir Agustus lalu sudah terbentuk 40 kelompok belajar.
Kelompok belajar yang antara lain dibimbing tutor M. Amir T, 26,
jebolan PGA (Pendidikan Guru Agama) memilih hari-hari belajar 3
kali seminggu: Senen, Rabu dan Sabtu. Jam belajar agak longgar
tergantung keadaan kurang sibuknya para peserta kelompok.
Kelompok-kelompok itu dua kali seminggu berkumpul di suatu
tempat pertemuan, untuk bisa saling tukar pengalaman dan
fikiran. "Saya sendiri di samping mengajar juga belajar," tutur
Amir, yang juga kepala kampung setempat.
Kampung Pangajian, Desa Parigi, Kabupaten Gowa juga cepat
tumbuh. Selain 9 kelompok di kampungnya sendiri, Fatimah, 21
tahun, lulusan PGA membimbing pula beberapa kelompok di kampung
sekitarnya. Di Salotawa 7 kelompok, Asana 4 kelompok dan Jonjon
5 kelompok. "Yang sudah saya laporkan ke Kepala Desa baru 11
kelompok," tutur Fatimah. Untuk memainkan peranannya gadis ini
sedikitnya menempuh 7 km jalan kaki untuk membimbing
kelompok-kelompok itu. Ia sendiri tinggal di tepi jalan raya
kabupaten, kira-kira 60-an Km dari Ujung Pandang. Meski
keturunan bangsawan bergelar Karaeng, Fatimah tak pernah
canggung dan takut melongok kelompok-kelompoknya yang diberinya
nama pahlawan Emmy Saelan dan Hasanuddin. Kadang-kadang sampai
jam 9 malam.
Kabupaten Gowa tampaknya memang daerah termaju di Sulsel dalam
pertumbuhan kelompok belajar itu, dibanding Kabupaten Takalar
dan Kodya Ujung Pandang. Ketiga daerah tingkat II itu (di Sulsel
terdapat 21 Kabupaten dan 2 Kodya) ditetapkan Bappenas sebagai
pelaksana program Paket A yangpertama. Di Kabupaten Gowa yang
mempunyai 8 Kecamatan dan 30 desa, sampai pertengahan Agustus
lalu telah terbentuk 262 kelompok belajar, dengan jumlah peserta
2.484 (wanita 1303, laki-laki 1181).
"Menurut Bappenas daerah-daerah tersebut termasuk rawan," tutur
drs Abdul Wahab, Kepala Bidang Pendidikan Masyarakat, Kantor
Wilayah P dan K Sulawesi Selatan. Rawan karena selisih antara
jumlah penduduk dan BH begitu kecil.
Mengomentari pertumbuhan kelompok belajar di daerahnya, Bupati
Gowa rief Sirajuddin mengatakan. "Keadaan sosial ekonomi
penduduk memang seperti sudah siap untuk menerima program
pemberantasan BH ini. Sudah tak ada lagi daerah yang terisolir
seperti 10 tahun yang lalu. Penduduk sudah bertekad meninggalkan
ketinggalannya." Kaum wanita di sana pun katanya sudah mulai
berpandangan dan bersikap maju.
Adat "siri" dan "pese" yang amat menghambat kaum wanita
sekarang menurut berbagai kalangan sudah melonggar. "Tantangan
tradisi feodal sudah berkurang, kaum wanita sudah lebih bebas
bergaul dan sekarang mau berkelompok belajar," kata Kepala
Kantor Wilayah P&K Sulsel drs Andi Abubakar Punagi.
Penyediaan tenaga tutor yang terbatas dan penyediaan peralatan
belajar sudah bisa diduga menjadi halangan. Kalau tak ada, maka
bahan-bahan bacaan itu datangnya amat terlambat. Di desa Layang
yang masih terbilang masuk daerah kota Ujung Pandang sebuah
Paket A yang sampai ke sana terpaksa digotongroyongkan
pemakaiannya untuk tiga kelompok belajar. Konon pula untuk
daerah yang lebih jauh ke pedalaman seperti Jeneponto dan
Bulukumba.
Kramatjati
Populasi buta huruf di kecamatan Kramatjati 4.268 orang.
Pamongnya 364 orang. Di sini sistim paket tersebut lebih
terkenal dengan nama Kursus Pengetahuan Dasar. Untuk
menyelesaikan Paket A1 sampai A10 dirancangkan selesai dalam 144
jam.
Meskipun dirjen PLSOR Dr. W.P. Napitupulu menyarankan kelompok
belajar ini dilakukan malam hari, supaya tidak mengganggu periuk
nasi tapi pelaksanaannya ternyata disesuaikan situasi setempat.
Di kelurahan Kampung Tengah, misalnya, ada pula yang melakukan
di siang hari. Pada mulanya, malah ada yang belajar malam hari
di bawah pohon, dengan sebuah petromaks.
Pelaksanaan pendidikan ini akhirnya tergantung partisipasi
masyarakat setempat juga. "Tanpa itu mana bisa jalan," kata
wakil lurah kampung Tengah. Ada yang menyumbangkan tempat, ada
yang menyumbang bangku. Malah ada yang menyumbang baju seragam.
"Sumbangan baju seragam ini belum tentu membuat positif dalam
belajar. Tapi kalau nggak diterima, bagaimana .... Ini kan
sumbangan," katanya lagi.
Sebuah kelompok belajar terdiri dari 25 orang berkumpul di
sebuah petak berukuran 2« x 6 meter. Dindingnya bukan dari tembok
seluruhnya. Ada bagian yang dibuat dari papan dan bambu.
Lantainya asli tanah merah. Tak ada langit-langit dan beberapa
temboknya sudah ada yang miring. Kalau dilihat dan luar, tempat
kursus ini mengkhawatirkan.
Meskipun proyek percontohan ini. Dibuka resmi 1 Juli, tapi
kelompok belajar ini sudah mulai berdiri di pertengahan April.
Mereka belajar di rumah kepala RT pak Tukijo. Pakai tikar dengan
meja kecil di depannya.
Kemudian, karena warung di depannya tak terpakai, maka lebih
baik dimanfaatkan. Dan bekas warung yang miring dan
mengkhawatirkan itu sudah disulap jadi tempat belajar. Ada yang
malam dan ada pula yang siang hari. Mereka berumur dari 10 tahun
hingga 45 tahun. "Malah yang tua-tua, meski agak lambat tapi ada
kemauan belajar" kata Ny. Tukijo. Apakah ibu-ibu tak malu
dilihat anak-anak? Maka bagaikan koor mereka bersuara "Tidaak."
Salah seorang dari mereka nyeletuk "Kalau mau belajar nggak
boleh malu."
Ny. Tini puteranya sudah 3 dan yang paling besar klas I. Ia
belajar di KPD atas kemauan sendiri, di samping ada dorongan
dari suami. Kalau malam ia belajar bersama anaknya yang besar.
Sudah hampir 3 bulan ia belajar di KPD. Buku paket A1 sudah
habis dilalap. Buku paket A2 karena belum didrop jadi belum
dipelajarinya. Hitungan pertambahan dan pengurangan sudah
dikuasainya hingga seribu. Tapi perkalian baru mencapai 50.
"Kalau kali-kalian itu susah. Bikin puyeng," katanya.
Di tengah para ibu-ibu sedang belajar, tiba-tiba pintu yang
hanya tertutup kain terkuak. Muncul seorang anak kecil. Dan
langsung menangis mendekati ibunya. Ruang itu jadi sedikit gaduh
tapi tak mempengaruhi yang sedang mencari ilmu sederhana itu.
Mereka tetap menulis huruf-huruf di kertas. "Sudah biasa, memang
anak-anak," kata tutor, seorang wanita. Anak-anak yang pada
ngintip juga ada. Tapi dianggap angin lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini