Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 26 Agustus diperingati sebagai hari kelahiran ke-59 Wiji Thukul. Mengingat perjuangannya sebagai salah seorang tokoh reformasi, kilas hidupnya telah diangkat ke dalam sebuah film layar lebar. Judul filmnya meminjam salah satu judul puisi yang ditulis oleh Wiji Thukul, yaitu Istirahatlah Kata-kata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Istirahatlah Kata-kata yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen ini rilis pada 2016, pasca 18 tahun jatuhnya rezim Soeharto. Film ini memang dirilis secara terbatas dan dibuat untuk mengkritik kentalnya budaya militer Orde Baru. Dilansir dari asianmoviepulse.com, Noen juga membawa konsep dengan gaya art-house yang berbeda pada film umumnya. Selain itu tempo alur film ini pun terbilang cukup lambat dan disertai minim dialog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut jurnal berjudul Signifikansi Otoritarianisme dalam Film Adaptasi Puisi Wiji Thukul Istirahatlah Kata-Kata (2021), gaya penceritaan tokoh dalam film ini dinarasikan melalui puisi-puisinya, seperti puisi Tanpa Judul, Kemerdekaan, Apa Guna, dan lain sebagainya. Rangkaian dari berbagai puisi itu selanjutnya memberikan makna resistensi otoritarianisme terhadap tokoh tersebut
Diceritakan bahwa saat itu rezim Soeharto telah memegang kekuasaan selama lebih dari 30 tahun di Indonesia. Kondisi ini berkali-kali membuat matinya tubuh demokrasi dalam negeri, seperti menuduh penyair menjadi salah satu biang keladi masalah negara.
Film Biopik Wiji Thukul: Istirahatlah Kata-kata
Film ini mencerminkan kisah pelarian Wiji Thukul saat menjadi “buron” rezim Orde Baru. Ia mencoba bertahan dari gempuran ancaman akibat aksi penyampaian kata-kata ketika terjadi kerusuhan di Jakarta pada Juli 1996. Akhirnya ia dikambing hitamkan sebagai provokator, sampai melakukan pengasingan dari rumahnya di Solo ke Pontianak selama delapan bulan.
Ia harus hidup dengan orang asing dan tanpa istrinya yang bernama Sipon beserta kedua anaknya. Sementara itu, di Solo, istrinya, Sipon, hidup dalam pengawasan terus menerus.
Rasa takut dan cemas dihadirkan selama Wiji bertahan hidup. Sampai ketika ia dibantu menemukan pekerjaan serabutan, sambil terus menulis tentang perlawanan rezim Orde Baru.
Adapun beberapa adegan humor disajikan dalam film ini, terlepas dari penokohan Wiji yang merasa kesepian dari rasa kesendiriannya. Misalnya seperti adegan tentara bermain bulu tangkis dan reaksi Wiji terhadap spanduk acara di luar gedung.
Secara ringkas, tiga hal fokus yang ditonjolkan dari film ini. Pertama, Noen ingin menggambarkan nasib dari seorang aktivis yang menjadi buronan. Kedua, menghadirkan situasi dan keindahan Kota Pontianak. Ketiga, memperlihatkan perjuangan Wiji Thukul dari segala bahaya dan rintangan.
Disebutkan dalam laman hollywoodreporter.com, penonton yang tidak mengetahui konteks sosial pada film ini akan mudah untuk menyelam dan terlibat dengan gejolak internal di Indonesia. Misalnya, dalam memahami konteks tindakan keras kediktatoran Soeharto terhadap intelektual dan pembangkang pada Juli 1996. Hal ini disebabkan karena penyajian film dengan tempo lambat.
Film Istirahatlah Kata-kata memenangi sejumlah penghargaan yang salah satunya didapat dari Jogja Asian Film Festival. Lalu pemeran Wiji Thukul, Gunawan Maryanto juga ikut menyumbangkan penghargaan sebagai Pemeran Utama Pria Favorit di Usmar Ismail Award 2017.
FATHUR RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.