Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adam Yudhistira
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seekor singa meringkuk di atas rerumputan, terbingkai di dalam poster yang tergantung di dinding, menatap tajam pada sesosok perempuan yang tengah duduk di ruang interogasi. Perempuan itu adalah Hellena Andersen. Sudah hampir satu jam dia berada di sana, menunggu kepastian dengan kondisi tangan dan kaki diborgol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hellena memperhatikan tiap penjuru ruangan dan segera menyadari betapa tua gedung itu. Dia bisa merasakan residu kejahatan menempel kokoh di sekujur dinding dan lantai ubin, seolah-olah dosa penjahat-penjahat lama yang pernah diinterogasi di ruangan itu merembes melewati celah yang tercipta pada retakan di lantainya.
Perhatian perempuan itu baru teralihkan ketika di belakangnya terdengar suara derit pintu. Seorang lelaki paruh baya langsung duduk di hadapannya tanpa perlu repot-repot bertanya apakah dia keberatan atau tidak. Hellena pun bersikap sama. Dia tak peduli.
"Sepertinya hari ini saya sedang sial," ucap lelaki itu membuka percakapan. Dia merogoh kantong kemeja dan mengeluarkan sebungkus rokok lalu menawarkannya sebatang kepada Hellena.
Perempuan itu menggeleng. "Saya tidak merokok," jawabnya dengan suara datar.
"Oh, maaf," ucap lelaki itu sambil memasukkan kembali bungkus rokoknya ke dalam kantong. "Sebenarnya saya tak pernah suka berurusan dengan perempuan, tapi hari ini saya diminta menggali beberapa keterangan tambahan dari Anda. Apakah Anda sudah siap, Nyonya Andersen?"
Hellena mengangguk, menegakkan badan, bermaksud merenggangkan tulang punggungnya yang terasa pegal akibat duduk terlalu lama. Lelaki paruh baya berkepala botak itu membuka selembar map dan membiarkan foto-foto di dalamnya berserakan di atas meja.
"Ini adalah foto-foto hasil perbuatan Anda tadi malam," ucap lelaki itu tenang. Dia menjentikkan abu rokok ke lantai, lalu menambahkan, "Saya yakin Anda bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
Mendengar kalimat itu, dagu Hellena terangkat sedikit dan matanya berkilat. "Selama ini saya hidup dengan hantu," ujarnya dengan suara meninggi. "Hantu itu mengganggu saya sepanjang waktu."
"Saya harap Anda bekerja sama dengan baik," ucap lelaki itu sambil melihat jam tangan. "Saya tak punya waktu mendengarkan omong kosong. Percuma saja berpura-pura gila. Tingkah seperti itu tak akan menyelamatkan Anda."
"Tapi saya mengatakan yang sebenarnya," jawab Hellena hampir menangis. "Saya tidak membunuhnya. Saya hanya membunuh hantu yang bersemayam di tubuhnya."
"Oh ayolah, itu alasan yang menggelikan." Lelaki itu tertawa lebar. "Hantu yang kausebut itu sekarang masih berada di kamar mayat. Dokter dan tim forensik sudah memastikan bahwa penyebab kematiannya adalah luka tikaman di dada dan di leher."
"Brengsek!" maki Hellena kesal dan terdengar putus asa. "Harus berapa kali saya katakan, saya tidak membunuhnya. Saya membunuh hantu!"
"Baiklah, saya mengerti," jawab lelaki itu tenang dan tersenyum. Dia berdiri sambil melumat rokoknya ke atas meja lalu meninggalkan Hellena tanpa bicara. Tak berapa lama kemudian, seorang lelaki berseragam masuk dan memapahnya keluar dari ruang interogasi.
Hellena ternyata dibawa ke sebuah ruangan lain yang lebih sempit. Sebagian dinding ruangan itu dipasangi terali besi. Lampu bohlam lima watt berpendar redup di atas kepalanya. Aroma pesing tercium di seluruh penjuru, menjadi sambutan tak menyenangkan atas kedatangannya sebagai penghuni baru.
Segera setelah masuk ke ruangan itu, Hellena langsung merasakan dampak buruk sebuah sel isolasi. Perempuan itu mencengkeram kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Dia yakin foto wajahnya sekarang telah terpampang di halaman pertama koran-koran dan kisah tragisnya dijadikan tajuk utama berita-berita di televisi.
Hellena merasa terjebak dan kehabisan cara untuk membuat orang-orang itu percaya. Dia berkeras hanya membunuh sesosok hantu yang telah bertahun-tahun mengganggunya. Di persidangan nanti, sang jaksa pasti mengetuk palu dan menyatakan dirinya bersalah atas pembunuhan tingkat dua terhadap manusia, bukan sesosok hantu seperti yang dipercayainya.
Satu hari yang lalu, sebelum seregu polisi membawanya ke dalam penjara, perempuan itu tengah berada di halaman rumahnya, merasa linglung dan hilang kemampuan berpikir. Sekujur tangannya berlumuran darah. Aroma anyir meruap ke rongga penciuman, membuat otot perutnya mendadak kejang dan menimbulkan rasa mual yang hebat.
Perempuan itu membungkuk, mencoba memuntahkan seluruh isi perut, tetapi yang keluar hanya angin dan juntaian ludah kental menjijikkan. Dia memejamkan mata dan merasa sangat yakin, hantu yang bertahun-tahun mengganggunya itu sudah mati. Hellena menyeringai senang. Dia berhasil memenangi pertarungan dengan gemilang.
Perihal hantu tersebut, dia masih ingat tatapan mata jahat itu saat pertama kali Hugo memperkenalkannya. Tatapan itu menyiratkan kebencian yang dalam. Bahkan bertahun-tahun setelah pernikahannya dengan Hugo, Hellena tak pernah melihat tatapan bersahabat di mata hantu itu.
Sebenarnya, Hellena sudah pernah bicara pada Hugo tentang permasalahannya, tetapi lelaki itu hanya diam. Dia juga mengatakan bahwa perilaku baik yang ditunjukkan sang hantu hanya tipuan, kedok palsu yang sangat mengerikan. Tetapi Hugo selalu menyangkal dan berkata bahwa semua baik-baik saja. Dia dan sang hantu hanya butuh sedikit waktu untuk menjadi akrab. Tapi meskipun sudah memasuki tahun ke lima, kata-kata Hugo tak kunjung menjadi kenyataan.
Keberadaan hantu itu selalu terasa asing bagi Hellena. Dia terlalu pintar menutup diri, jauh dan tak terjangkau. Menurutnya, sang hantu hanya menyamar menjadi manusia. Hal-hal asing dan menakutkan itu bergolak di balik matanya yang hampir tak pernah bercahaya. Setiap bertatapan, Hellena menemukan keheningan di sana. Di kedalaman jiwanya sudah ada sesuatu yang mengancam.
Mulanya, Hellena berkata pada dirinya sendiri bahwa pemikiran itu terlalu mengada-ada. Sosok yang dia sebut hantu tersebut tidak berbeda dari anak-anak lelaki lain. Memang dia pendiam, selalu menyendiri, namun perempuan itu tertipu. Hantu itu memang memiliki bakat alami hebat dalam berbohongseolah-olah dia memiliki dua kutub di dalam tubuhnya yang dihuni dua kepribadian berbeda.
Selama ini, Hellena selalu berusaha bersikap baik, tetapi dia tak pernah tahu siapa atau apa sesungguhnya yang berada di dalam tubuh sang hantu. Satu tahun belakangan, Hellena merasakan perubahan drastis pada diri sang hantu. Hantu itu menunjukkan rasa ketertarikan yang aneh pada dirinya, mencuri-curi kesempatan untuk menyentuhnya, dan sejauh yang Hellena tahu, itu kerap dilakukannya saat dia sedang sendirian di rumah.
Ada rasa lapar menakutkan di dalam diri hantu itu. Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang ganjil dan diselimuti misteri. Kesimpulan itulah yang membuat Hellena membujuk Hugo untuk mengirim hantu itu pergi. Sekali waktu, permintaannya dipenuhi. Hantu itu dititipkan ke sekolah asrama lalu tinggal dengan ibu kandungnya, tapi dia kembali lagi dengan membawa nafsu yang lebih besar.
Hellena mengira, tumbuh dewasa akan menyembuhkannya dari apa pun itu yang telah mengubahnya menjadi sesosok hantu. Tetapi hantu itu sangat kuat dan tak terkalahkan. Sepanjang hari Hellena tersiksa, hidup seatap dengan pemangsa.
Hingga puncaknya terjadi malam ituHellena menyebutnya malam paling terkutukHugo sedang tidak berada di rumah. Lelaki yang berprofesi sebagai karyawan swalayan itu sedang mendapat giliran shift malam. Dan seperti malam yang sudah-sudah, jika suaminya tak di rumah, Hellena mengunci diri di kamar. Namun entah bagaimana, saat dia tengah tertidur, hantu itu sudah berada di atas tubuhnya, mencoba memaksanya takluk di bawah todongan sebilah pisau.
Hellena merasa kaku saat tangan hantu itu menyusuri tiap lekuk tubuhnya, lalu meremas hati kecil merah muda di dadanya. Sebuah suara di kepalanya menjerit, sementara tangan itu tetap di sana dan terus meremas, seolah yang dia genggam adalah jantungnya sendiri.
Selama detik-detik menakutkan itu terjadi, Hellena betul-betul tak ingin melihat, namun tak berani pula untuk berpaling. Hantu itu mendorongnya, menindih tubuhnya dengan pisau yang terus menempel di urat leher. Pisau itu berhasil menciptakan rasa takut yang sangat dingin. Puncak rasa takut itu berhasil melumpuhkan seluruh tenaganya.
Hellena tak memiliki keberanian untuk melawan. Meski baru berusia enam belas tahun, tubuh sang hantu sudah setara dengan tubuh lelaki dewasa. Tubuh mungil Hellena dibuatnya tak berdaya. Lengan kekar itu berhasil menguasainya dengan sempurna.
Makhluk jahat itu menekan lutut Hellena sedikit lebih kuat sebelum membukanya. Tetapi tidak, dia tak boleh melakukannya, demikian jerit dalam hati Hellena. Kekuatan itu muncul bagai sebuah mukjizat, dalam diam memintanya melakukan perlawanan.
Perempuan itu berguling dan menendang hingga tubuh hantu itu terjengkang. Hellena berhasil merebut pisau dari tangan sang hantu. Dia mengacung-acungkannya ke depan. Hellena merasa kuat dan berkuasa ketika wajah hantu itu menunjukkan ketakutan, tapi sesuatu di dalam dirinya menginginkan lebih. Hellena menjerit histeris lalu melompat ke depan.
Kilatan-kilatan putih berpendar seiring pisau di tangannya menciptakan danau merah di lantai kamar. Hellena merasa lega dan tertawa gembira. Perempuan itu merasakan perubahan sifat yang mencengangkan. Dia menyukai warna merah darah yang membasahi gaun tidurnya. Dia menyukai rasa lembut dan bunyi daging tercabik saat dia mengayunkan pisau. Dia menyukai sensasi jahat yang merebak di dadanya saat hantu itu berpindah ke tubuhnya.
Adam Yudhistira saat ini bermukim di Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerita pendek, cerita anak, esai, puisi, dan ulasan buku yang dia tulis telah tersiar di berbagai media massa cetak dan daring. Ia mengelola taman baca untuk anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Ia juga aktif di komunitas sastra Pondok Cerita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo