JURUSAN Antropologi naik gengsi. Paling tidak itulah yang
dirasakan Trisno Heri Siswanto, mahasiswa Antropologi UGM,
setelah bulan lalu jurusan yang menyimak manusia dari segi
adat-istiadat, cara hidup, dan peri laku itu dipindahkan dari
Fakultas Sastra (FS) ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) -- meski resminya baru berlaku di UI. "Selama ini saya
sering cuma menyebut nama jurusan tanpa nama fakultasnya, karena
kurang gengsi," kata Heri.
Tapi, tentu saja, bila Menteri P & K menurunkan SK perpindahan
itu, bukanlah karena masalah gengsi. "Itu sudah lama
direncanakan di zaman Pak Daoed," kata Menteri P & K Nugroho
Notosusanto. Lebih menjelaskan lagi, keterangan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Doddy Tisna Amidjaja: "Ini dalam
rangka penertiban dasar, sehingga suatu fakultas betul-betul
terdiri dari kelompok ilmu yang sama." Menurut Doddy beberapa
jurusan akan pula mengalami penertiban itu. Misalnya, jurusan
Biologi. Ada universitas memasukkan jurusan itu dalam satu
fakultas dengan jurusan Kimia, Fisika. Tapi ada juga yang
berdiri sebagai fakultas sendiri.
Bila UI memelopori pelaksanaan SK Menteri P & K itu, agaknya
karena pertama kali jurusan itu lahir di UI, tahun 1957. Dan
bila dulu dimasukkan ke FS, itu cuma soal praktis. "Sebab waktu
itu Fakultas Ilmu Sosial belum ada, dan yang paling dekat dengan
jurusan Antropologi hanyalah Fakultas Sastra, ya dimasukkan ke
situ," tutur Jopie Wangania, sekretaris jurusan Antropologi.
Selain itu, yang memelopori adanya jurusan tersebut memang
orang-orang FS-UI. Itu bermula dari kegiatan penelitian
kebudayaan di FS-UI. Penelitian yang pada mulanya meneliti
kebudayaan lewat naskah tertulis, kemudian dikembangkan untuk
juga meneliti kehidupan langsung.
Mungkin karena waktu itu kegiatan penelitian langsung di
lapangan itu sedikit berbeda dengan penelitian lewat naskah,
dipandang perlu mengadakan jurusan baru, yang kemudian disebut
jurusan Antropologi itu. Yang menjadi ujung tombak berdirinya
jurusan ini ialah Prof. GJ. Held, orang Belanda yang menjadi
dosen di FS-UI kala itu.
Tentu saja waktu itu mata kuliah jurusan ini tak banyak berbeda
jauh dengan jurusan lain di FS-UI, misalnya jurusan Sejarah dan
jurusan Arkeologi.
Tapi perkembangan kemudian lebih mendekatkan jurusan Antropologi
dengan FISIP. Tapi bagaimana prosedur pemindahannya, rupanya
belum diketemukan.
Maka sewaktu Menteri Daoed Joesoef mencoba menata kembali
perguruan tinggi, mulailah dikaji fakultas sastra itu terdiri
dari jurusan apa saja, fakultas sosial itu apa saja, dan
seterusnya. Waktu itulah Harsja, yang sudah bukan dekan FS-UI,
tapi menjadi sekretaris Eksekutif Konsorsium Antarbidang --
konsorsium di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi inilah yang
mengusulkan kepada menteri pembagian jurusan dan fakultas di
perguruan tinggi -- mengusulkan jurusan ini masuk FISIP saja.
Ternyata tak hanya didukung para dosen jurusan Antropologi tapi
malahan Dekan FISIP, Dr. Manasse Malo menyetujuinya pula.
"Perpindahan itu justru menambah kebaikan FISIP," kata dekan
FISIP itu. "Sebab ilmu sosiologi kini tak hanya didukung oleh
ilmu komunikasi, ilmu politik, dan ilmu administrasi, tapi juga
oleh antropologi." Jelasnya, gambaran sosial sebuah masyarakat
akan lebih kuat, bila tak hanya diketahui sistem politiknya,
sistem komunikasinya, dan sistem administrasinya, tapi juga
adat-istiadat, karakter, cara berpikir orang-orang dalam
masyarakat tersebut. "Bukannya selama ini kerja sama berbagai
bidang ilmu itu belum ada, cuma setelah serumah diharapkan
hasilnya lebih bagus," kata Manasse Malo pula.
Pun Prof. Dr. Koentjaraningrat, guru besar Antropologi UI,
menganggap perpindahan itu sudah sewajarnya. "Ilmu-ilmu yang
sifatnya ilmu dasar dan terapan seharusnya digabung," katanya.
Bahkan Pak Koen, demikian panggilan akrabnya, berpendapat,
fakultas sastra sebaiknya digabung saja dengan FISIP.
Di Indonesia jurusan Antropologi ada di UI, UGM, USU, Unpad,
Undip, Unud, Unhas, dan Unsrat. Kecuali di Unhas, yang telah
langsung masuk Fakultas Sosial, jurusan Antropologi bernaung di
Fakultas Sastra. Dan sejak akhir 1960-an jurusan ini terutama di
Unpad termasuk favorit. "Mudah mendapat pekerjaan," kata Dr.
Hermansoemantri pembantu dekan I FS Unpad, universitas yang
mempunyai jurusan Antropologi sejak 1963. Soalnya banyak
instansi yang membutuhkan keahlian ini, untuk mengetahui keadaan
medan masyarakat. Misalnya, di BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional). Sebelum memutuskan satu cara berkampanye di
suatu daerah, instansi itu terlebih dahulu menurunkan ahli
antropologi untuk mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan watak
masyarakat di kawasan itu. Juga dalam mengelola transmigrasi,
ahli antropologi sangat dibutuhkan.
Singkatnya, "kalau kita mau mengembangkan satu masyarakat,
terlebih dulu harus tahu profil masyarakat yang mau dikembangkan
itu," kata Harsja Bachtiar, kini dekan Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian, yang ahli dalam sejarah dan sosiologi itu. "Dan itu
membutuhkan orang antropologi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini