Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG 206 di pojok lantai dua Gedung Spinindo, Jakarta, gelap dan tertutup rapat. Diintip dari kaca pintu, ruangan itu hanya berisi dua meja kerja dan dua sofa kecil lengkap dengan meja tamu. Poster film Scream 4, Limitless, dan Source Code berderet memenuhi dinding sebelah kiri.
Ketiga film buatan Amerika Serikat tersebut sedang tayang di bioskop. Adalah PT Amero Mitra Film, salah satu importir film milik Grup 21, yang mendatangkannya dalam dua bulan terakhir. Tapi bukan Amero si empunya ruangan, melainkan PT Omega Film. ”Sekitar Februari mereka sudah di sini,” kata Andi Yusuf, Manajer Gedung Spinindo, Rabu pekan lalu.
PT Omega Film? Perusahaan anyar ini belakangan menjadi perbincangan hangat di salah satu media sosial dalam negeri. Dikabarkan bahwa film-film bikinan anggota Motion Picture Association of America (MPAA) akan masuk lagi ke Indonesia dalam waktu dekat melalui perusahaan ini. Banyak yang berkomentar gembira lantaran sudah empat bulan film Hollywood tak beredar di bioskop dalam negeri.
Tapi tak sedikit yang menganggapnya sebagai kabar buruk. Nama Omega Film tak pernah terdengar kiprahnya di bisnis perfilman. Selama dua dekade lebih, impor film buatan studio MPAA hanya dilakukan oleh Grup 21. Dugaan pun mengerucut: Omega bagian dari Grup 21.
Berdasarkan akta perusahaan, Omega Film didirikan pada 17 Januari lalu dengan notaris Ilmiawan Dekrit S. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan pendiriannya dua hari kemudian. Berbisnis di bidang perfilman—dari produksi film hingga ekspor dan impor film—Omega didirikan Syaiful Atim dan Ahmad Fauzi, yang masing-masing menyetor modal Rp 550 juta. Keduanya berbagi peran sebagai direktur dan komisaris perseroan.
Dihubungi melalui telepon rumahnya, Kamis malam pekan lalu, Syaiful membantah. ”Saya freelancer,” katanya seraya menutup telepon dan tak mengangkat lagi panggilan dari Tempo. Tapi siang harinya Tempo sempat mendatangi rumah Syaiful di alamat yang tertera dalam akta pendirian perusahaan: Pondok Aren Indah Blok B 4/8 RT 005 RW 007, Tangerang, Banten. Rumah bercat cokelat terang itu bergarasi dan bagian belakangnya bertingkat. Di kompleksnya, Syaiful juga menjadi ketua rukun tetangga.
Siti, istri Syaiful yang menerima Tempo di balik pagar, mengatakan suaminya bekerja di Grup 21 sejak pertengahan 1980-an. Di kelompok usaha yang dulunya dikendalikan Sudwikatmono (adik sepupu mantan presiden Soeharto) dan Benny Suherman lewat Grup Subentra itu Syaiful mulai bekerja sebagai sopir pribadi, kurir surat, hingga akhirnya menjadi anggota staf bagian umum. Selain orang lama, ”Bapak sakit-sakitan, makanya ditempatkan di kantor saja di Jalan Wahid Hasyim sana,” ujar Siti. Kantor Grup 21 memang hanya berbeda nomor saja dengan kantor Omega di jalan itu.
Namun Siti tak tahu soal PT Omega Film. Dia hanya pernah mendengar suaminya akan diangkat sebagai direktur di kantor baru. Terbayang enaknya menjadi direktur. ”Tapi Bapak bilang hanya formalitas, namanya saja dicantumkan,” katanya. Menurut Tri Rudi Anitio, Komisaris PT Camila Internusa Film—importir film yang juga milik Grup 21—Omega Film memang didirikan Grup 21. Syaiful diangkat karena tergolong orang lama. ”Itu kan perusahaan disiapkan dulu, nama bisa siapa saja. Nanti kan tinggal diganti,” kata Anitio di kantornya.
Sumber Tempo membisikkan, Omega didirikan tak lama setelah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melayangkan tagihan pada 12 Januari lalu kepada tiga perusahaan importir Grup 21, yakni PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film. Hasil audit Bea dan Cukai menemukan ketiganya kurang membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor periode 2008-2010. Nilai piutang plus dendanya mencapai lebih dari Rp 310 miliar.
Omega pun disiapkan untuk melanjutkan peran sebagai importir jika ketiga perusahaan tersebut diblokir atau bermasalah secara hukum. Apalagi tagihan Bea dan Cukai harus dibayar paling lambat 12 Maret lalu. Batas waktu terlampaui, Grup 21 tak sanggup membayar. Bea dan Cukai membekukan sementara impor ketiga perusahaan. Hingga kini baru Amero yang diizinkan lagi karena membayar piutang pokok sekitar Rp 13 miliar dalam proses banding di Pengadilan Pajak.
Ternyata rencana Grup 21 sedikit meleset karena studio-studio MPAA keburu menghentikan distribusi filmnya ke Indonesia sejak 17 Februari 2011. Mereka tak setuju model penghitungan tarif baru seperti yang dihasilkan dalam audit Bea dan Cukai terhadap ketiga importir Grup 21. Walhasil, Omega nganggur. Padahal lisensi impornya sudah lumayan lengkap. Angka pengenal impor—salah satu syarat impor—dari Kementerian Perdagangan diperoleh pada 9 Februari, sepekan sebelum MPAA menghentikan impor filmnya.
Anitio tak menampik Omega didirikan karena pemblokiran impor terhadap Camila dan Satrya. Singkat kata, perusahaan ini memang disiapkan untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu tarif baru impor film yang sedang dikaji pemerintah keluar dan MPAA setuju mendistribusikan filmnya lagi. ”Kalau diizinkan, tinggal dipakai,” katanya.
Munculnya nama Omega Film menarik perhatian Kementerian Keuangan. Kecurigaan perusahaan ini sebagai akal-akalan Grup 21 untuk melanjutkan bisnisnya sudah terendus beberapa waktu lalu. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang P. Brodjonegoro mengaku mendengar adanya perusahaan baru ini. ”Mereka kan mengajukan permohonan izin ke Bea-Cukai,” kata Bambang, yang juga menjadi ketua tim tarif, Jumat dua pekan lalu.
Sumber Tempo di Kementerian Keuangan mengungkapkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo kesal ketika mendengar laporan Grup 21 mendirikan perusahaan impor baru. ”Kalau benar, itu namanya nakal,” ujar sumber itu menirukan perkataan Agus. Kementerian menilai industri distribusi film impor sudah tak sehat karena cenderung dikuasai satu grup. Apalagi Grup 21 juga menguasai sekitar 500 dari 600-an layar bioskop di Indonesia.
Praktek inilah yang diyakini menghambat ekspansi pembangunan gedung bioskop di daerah-daerah. Investor yang ingin membuka bioskop mengundurkan diri karena harus menggantungkan nasibnya pada pasokan film laris dari Grup 21. Yang bikin masygul para petinggi di Kementerian Keuangan, Omega disinyalir hanyalah salah satu kendaraan baru yang disiapkan Grup 21. Ada lima lagi perusahaan impor film lainnya yang juga sedang mengajukan permohonan izin. Mereka antara lain PT Vista Film, PT Fortune Film, PT Sierra Film, PT Megaworld Film, dan PT Legacy Film. Empat yang terakhir berkantor di gedung yang sama dengan Omega Film. Adapun alamat Vista Film berbeda nomor saja.
Anitio mengakui semua perusahaan impor film itu didirikan grupnya. Seperti halnya di Omega, lima perusahaan tersebut dipimpin oleh karyawan-karyawan Grup 21. ”Apa kami tidak boleh mendirikan perusahaan lagi?” katanya.
Rencananya, masing-masing akan berbisnis impor film dengan setiap anggota MPAA jika pemerintah merealisasi rencana mengizinkan produser asing, terutama enam studio besar di Amerika, membuka kantor perwakilan distribusi di Indonesia. Keenam studio itu antara lain Paramount Pictures, Walt Disney, Sony Pictures, Twentieth Century Fox, Universal Studios, dan Warner Bros. Tapi Anitio menolak jika langkah ini dianggap langkah mempertahankan dominasi Grup 21. ”Jika MPAA mau menunjuk pihak lain, silakan,” ujarnya.
Naga-naganya, Grup 21 harus mencari cara lain. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono berjanji akan mengecek para importir baru tersebut, karena setiap perusahaan harus mengantongi nomor identitas kepabeanan yang dirilis lembaganya. ”Kalau juragan-juragannya sama dengan yang lama, ya, tidak boleh,” katanya.
Agoeng Wijaya, Ayu Cipta (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo