Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGAM Faturrahman memasuki satu ruangan di sayap kiri kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa sore pekan lalu. Didampingi dua rekannya, dia menemui Andi Arief, anggota Staf Khusus Presiden Bidang Penanggulangan Bencana Alam. Setelah berbincang satu jam, aktivis komunitas penumpang kereta rel listrik KRL Mania ini menyerahkan tiga lembar surat ke sahibulbait. ”Ini aspirasi yang ingin kami sampaikan kepada Bapak Presiden,” kata Agam.
Surat yang mewakili suara hati 13 ribu penumpang kereta listrik itu dibuka dengan ajakan agar Presiden menumpang kereta setiap hari, dari Cikeas menuju Istana. Namun isi badan surat cukup pedas: meminta Presiden ”membina” pengelola kereta listrik Jabodetabek, PT Kereta Commuter Jakarta (KCJ), karena memberi layanan buruk dan akan memberlakukan sistem operasi tunggal Commuter Line pada 2 Juli mendatang. Dengan sigap, Andi pun berjanji menyampaikannya langsung ke Presiden.
Meski belum dilaksanakan, sistem operasi tunggal Commuter Line sudah menimbulkan kontroversi. Padahal metode ini ialah bagian dari program menggenjot jumlah penumpang kereta listrik 1,2 juta per hari, demi mengurangi beban jalan raya perkotaan, seperti Jakarta.
Dalam sistem ini, operator memangkas segmen perjalanan si kuda listrik, dari 3 kelas (ekspres, ekonomi AC, dan ekonomi non-AC) menjadi 2 (Commuter Line dan ekonomi non-AC). Kelas ekspres dan ekonomi AC dilebur menjadi Commuter Line, sedangkan ekonomi non-AC beroperasi seperti biasa. Dengan cara ini, operator yakin bisa menggenjot frekuensi perjalanan harian dari 444 menjadi 460 perjalanan karena semua kereta harus berhenti di setiap stasiun. ”Perjalanan bertambah, penumpang pun ditargetkan naik dari 400 ribu menjadi 500 ribu sehari,” kata sekretaris perusahaan PT KCJ, Makmur Syaheran.
Sebelumnya, sistem ini direncanakan berjalan pada 1 April lalu, tapi kemudian diundurkan hingga Juli. Tapi, alih-alih lancar, perkara justru muncul. Salah satu sebabnya, operator mematok ongkos kereta Commuter Line lebih mahal 70 persen dibanding ekonomi AC. Penumpang berkeberatan lantaran kualitas layanannya tak berubah. Sebagai contoh, tarif Jakarta-Bogor naik dari Rp 5.500 menjadi Rp 9.000. Dalam sistem lama, harga ini berlaku untuk kelas ekspres, yang perjalanannya lebih cepat karena tak harus singgah di semua stasiun. ”Penumpang ekonomi AC mungkin beralih ke non-AC, yang tarifnya tak berubah,” kata Agam.
Masalah lain muncul karena frekuensi perjalanan harian ekonomi non-AC dipangkas dari 160 menjadi 112 perjalanan. Perpindahan penumpang ke segmen murah ini pun tak tertampung. Ahmad Safrudin, Ketua Asosiasi Penumpang Kereta Api, menghitung ada 186.626 penumpang yang bakal tak terangkut setiap harinya atau beralih memakai kendaraan pribadi. ”Tujuan mengurai kemacetan tak tercapai. Ini hanya proyek tambal sulam,” ujarnya.
Tak cuma sistemnya, keandalan layanan pun diragukan. Tatkala simulasi sistem baru ini dilakukan pada Sabtu dua pekan lalu, KRL Mania mencatat adanya kegagalan seperti pembatalan kereta Commuter Line pagi di Depok dan keterlambatan kereta lebih dari 30 menit. Lebih parah lagi, ada temuan penumpang gelap yang biasanya bertengger di atap kereta non-AC kini sudah merambah atap kereta Commuter Line alias ekonomi AC. ”Ini fenomena baru yang menunjukkan kapasitas kereta ekonomi tak cukup,” kata Agam.
Mesti diakui, penerapan standar layanan minimum oleh pengelola KRL Jabodetabek pun masih jauh dari harapan. Padahal patokan itu sudah yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2011. Muslich Zainal Asikin, anggota tim ahli transportasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, mengatakan, dari 25 standar layanan minimum yang disyaratkan Kementerian, PT KCJ paling banyak memenuhi 10 persen. ”Padahal semuanya harus dipenuhi pada September mendatang,” kata dia.
Karena itulah agaknya Kementerian Perhubungan tak mau buru-buru menerapkan operasi tunggal ini pada 2 Juli mendatang. Menteri Perhubungan Freddy Numberi mensyaratkan adanya evaluasi serta uji coba lanjutan. ”Perlu juga sosialisasi yang baik, baru dapat diterapkan,” katanya.
Namun pengelola kereta agaknya tak mau mengendurkan jadwal. Meski mengakui masih ada keterlambatan dan jeda antarkereta yang terlalu jauh, Makmur yakin hal itu segera selesai lantaran ada tambahan armada 256 unit sehingga bisa tersedia 584 gerbong. Sedangkan untuk pemenuhan standar, jawabannya hanya satu: kenaikan ongkos. ”Hukum alam saja, jika tarif tak imbang, tak ada layanan yang baik. Kami meminta kondisi yang fair,” ujarnya.
Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo