Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hikayat Gambang Kromong: Akulturasi Tionghoa dan Betawi yang Bermula di Tangerang

Alat musik sukong dan tehyan bukti akulturasi di Indonesia yang kini dikenal sebagai gambang kromong. Pertama kali muncul di Tangerang pada 1880.

12 Februari 2025 | 19.59 WIB

Alat musik Gambang Kromong yang dipamerkan di Museum Nasional Indonesia bertajuk "Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara", Gambir, Jakarta Pusat,  10 Februari 2025. TEMPO/Ihsan Reliubun
Perbesar
Alat musik Gambang Kromong yang dipamerkan di Museum Nasional Indonesia bertajuk "Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara", Gambir, Jakarta Pusat, 10 Februari 2025. TEMPO/Ihsan Reliubun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pameran percampuran budaya Tionghoa dan Nusantara di Museum Nasional Indonesia memamerkan berbagai jenis peralatan, seperti mangkok, piring, busana, arsitektur, kuliner, bahasa, seni, peralatan musik, hingga peralatan kepercayaan. Di sebuah ruangan terpampang dua alat musik: sukong dan tehyan. Alat musik gesek berwarna cokelat itu dipajang dengan gambang, gong, ningnong, dan kromong atau umumnya dikenal dengan nama Gambang Kromong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut anggota tim kurator pameran Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara, Karamina, mengatakan sukong dan tehyan pertama kali muncul di Tangerang, Banten, 1880. "Biasanya dipakai memadukan gamelan Jawa dengan alat musik gesek dari Tiongkok," kata dia di ruang pameran, Senin malam, 10 Februari 2025.

Asal Mula Disebut Gambang Kromong

Karamina mengatakan, saat dimainkan di Indonesia, biasanya dalam pertunjukan gamelan, sukong dan tehyan akan memunculkan musik dengan nuansa ala Cina. "Yang membuat suara musik ala Cina muncul, itu alat musik geseknya," tutur dia.

Tak hanya suara gesekan dua alat musik itu. Nada suara alat musik itu cenderung memunculkan cengkok bernuansa Tiongkok atau Cina. Peralatan itu acap kali dimainkan oleh masyarakat Indonesia, baik Jawa atau Betawi yang kini dikenal dengan Gambang Kromong.

Dalam catatan pameran, musik Gambang Kromong dikenal sejak 1880, ketika Bek Teng Tjoe, kepala kampung komunitas Tionghoa di Tangerang, Banten, menyajikan alat musik tersebut untuk menyambut tamu. Gambang Kromong merupakan hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi yang sering dimainkan sebagai hiburan pada acara pernikahan, khitan, dan perayaan lainnya.

Peralatan musik Gambang Kromong terdiri atas gambang, kromong, gendang kecrek, ningnong, kemong, sukong, dan tehyan. Ansambel musik ini mengiringi lirik sederhana yang menggambarkan kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya Gambang Kromong kerap dipadu dengan teater Lenong Betawi.

"Dulu, yang bisa main gamelan orang Jawa, yang bisa main sukong dan tehyan, orang Tionghoa, lama-lama jadi berbaur," kata Karamina di ruang pameran bertajuk "Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara", itu.

Direktur Eksekutif Museum dan Cagar Budaya Esti Nurjadin mengatakan pameran yang baru dibuka itu mengajak kita merenungkan perjalanan panjang, interaksi, adaptasi, dan integrasi masyarakat Tionghoa di Nusantara. "Sebuah kisah yang telah berlangsung selama ribuan tahun," kata dia, Senin malam, 10 Februari 2025.

Pembauran Masyarakat Pendatang dengan Nusantara

Menurut dia, Nusantara merupakan wilayah strategis di persimpangan dunia. Ia menjadi tempat bertemunya berbagai peradaban. Sejak awal Masehi, masyarakat Tionghoa datang ke Kepulauan Nusantara sebagai pedagang. "Mencari penghidupan dan berbagi pengetahuan," tutur dia.

Esti menjelaskan, kedatangan masyarakat pendatang seiring berbaur dengan masyarakat Nusantara atau Indonesia. Kedatangan mereka turut membentuk khazanah budaya Indonesia. Misalnya, salah satu kata yang dikenal saat ini kata "kongsi".

Menurut Esti, kongsi berasal dari bahasa Hokkian, yaitu "gongsi". Kata ini tidak terbatas pada makna "kerja sama" atau kolaborasi. Ia memiliki makna lebih luas dan dalam. Kongsi melambangkan semangat kebersamaan dan persaudaraan.

Semangat itu terjalin antara masyarakat Tionghoa dan Nusantara selama berabad-abad. Mulai dari perjuangan kemerdekaan, perkembangan seni, arsitektur, hingga kuliner. "Akulturasi ini telah memperkaya identitas bangsa kita," ucap dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus