Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Persinggahan di Chittagong

Kisah kapten kapal yang terpikat janda. Menarik secara visual, tapi lemah dalam penyelesaian masalah.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Chittagong, Derniere Escale
Sutradara: Leon Desclozeaux
Pemain: Julien Maurel, Suchona, Bishwajit, Sen Gupta
Produksi 2001

Pantai Chittagong, Bangladesh, sudah di pelupuk mata ketika Kapten Paul Danvin (Julien Maurel) menambah kecepatan kapal barang berukuran raksasa. Puluhan perahu tradisional di perairan keruh itu tak membuat lelaki berdarah Prancis itu mengurangi kecepatan dalam film berjudul Chittagong, Derniere Escale, salah satu yang diputar dalam Festival Film Prancis pekan silam. Lalu nasib memutuskan sesuatu yang dramatis: baling-baling kapalnya tersangkut di dasar pantai, semua anak buah kabur, surat bukti dirinya raib dijarah, dan kapalnya menjadi santapan pemulung besi tua.

Nasib—dengan kata lain, penulis skrip atau sutradara—kemudian menggiringnya bertemu Alima (Suchona), seorang perempuan dengan kantong mata cokelat kehitaman yang ditemani anaknya, Moti, 10 tahun. Dalam kereta penumpang tujuan Dakka, mereka bertemu, bertukar senyum. Sekonyong-konyong keinginan Paul ke ibu kota sirna. Ia menguntit, memutuskan untuk mengenal perempuan yang sedang hamil itu lebih jauh. Di tengah jalan, bersama penumpang lain, Paul membantu persalinan darurat, mengubur bayi yang mati begitu menyapa dunia.

Paul, si orang asing, kini pahlawan. Di Desa Rulipara, ia disambut orang sekampung, termasuk Mohsen (Mujibur Rahman Dilu), kepala desa yang menganggapnya lelaki baik. Paul orang baik, tapi perbedaan dan benturan budaya cepat mengemuka. Puncaknya, sebuah adegan: kemarahan Mohsen kala melihat Alima membuka kerudung dan mandi di bawah pancuran air yang dipompa Paul.

Karya sutradara Leon Desclozeaux ini sederhana. Tapi, dari kebersahajaan itu Leon merekam denyut kehidupan masyarakat Bangladesh, khususnya Chittagong, secara utuh. Ia mirip dokumenter. Apalagi karakter setiap tokoh tidak menonjol dan konflik mereka kurang tereksplorasi secara optimal. Sayangnya, sutradara kelahiran Paris 54 tahun lalu ini kelewat mudah menyelesaikan konflik, sehingga ada elemen "realitas" sosial yang luput.

Kelebihan Leon memang pada visual dan bahasa simbol yang digunakan. Pada bagian akhir Paul ikut membopong Alima di depan rumah sakit. Begitu pintu dibuka, yang terhampar di depan mata mereka bukan ruang dokter, tapi pelabuhan tradisional yang porak-poranda. Sebuah gambaran kemiskinan yang menyentak. Sayang, kegemaran Leon pada bahasa visual justru mereduksi inti cerita. Konflik Paul-Mohsen dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian, seperti perahu yang mengantar Paul, Alima, dan Moti entah ke mana.

Arif Firmansyah


Leon Desclozeaux:
"Bukan Film Dokumenter"

Sosok Leon Desclozeaux bukan nama besar di kalangan sutradara, penulis skenario, dan produser di Prancis. Tapi ia dikenal sebagai penjelajah kultural: seting filmnya tersebar di mana-mana, termasuk di Tanjung Priok, Jakarta. Kepada Akmal Nasery Basral dan Arif Firmansyah dari TEMPO, ia berbicara tentang Cargo, film terbarunya, di Hotel Le Meridien Jakarta.

Banyak orang mengira Chittagong film dokumenter.

Sama sekali bukan. Cerita dalam film itu hanya kisah fiksi. Sedangkan kehidupan yang saya gambarkan memang kehidupan nyata di Bangladesh ketika saya berkunjung ke sana. Para pemulung besi tua di pinggir pantai, lalu lintas yang tidak teratur, kemiskinan, dan keseharian dalam film itu memang nyata.

Apa yang ingin Anda sampaikan lewat gambaran visual yang nyata itu?

Sebenarnya saya ingin mengisahkan Kapten Paul Danvin yang jatuh cinta pada seorang wanita bernama Alima. Keputusan Paul mengubah pikiran tidak melanjutkan ke Dakka semata-mata karena Alima yang ditemui di kereta api. Mungkin Alima cantik bagi Paul dan ia tahu perempuan itu jadi sumber kebahagiaan Moti dari gerak-geriknya. Paul tidak tertarik pada kehidupan di sana kalau bukan karena Alima.

Anda sedang membuat film Cargo dan memilih Tanjung Priok sebagai lokasi pengambilan gambar, begitu?

Betul. Film ini tentang kapal kargo yang akan dijual oleh pemiliknya. Tapi dia tidak ingin soal ini menimbulkan masalah dengan tujuh pelaut dari berbagai negara yang selama ini menjadi awak kapal. Di tengah perjalanan muncul tiga pelacur dari Thailand. Mereka menjadi pangkal persoalan.

Kenapa memilih Tanjung Priok?

Itu pelabuhan besar. Semua model kapal dari yang tradisional sampai paling modern ada. Ada yang menyarankan saya melihat Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Pengambilan gambar baru dimulai September nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus