Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Battle Hymn of the Tiger Mother
Penulis: Amy Chua
Penerbit: Bloomsbury
Edisi: I, 2011
Tebal: 237 hlm
Nilai Sophia Chua-Rubenfeld, gadis Amerika Serikat yang bulan lalu lulus sekolah menengah atas, hampir semuanya ”A”. Ia memang cemerlang. Saat temannya di taman kanak-kanak belajar berhitung satu sampai sepuluh, ia sudah mampu berhitung penambahan, pengurangan, sampai pembagian. Saat remaja lainnya hanya menonton American Idol, ia memainkan Romeo and Juliet, concerto karya Sergei Prokofiev, dengan piano di Carnegie Hall, gedung konser paling bergengsi di Amerika.
Ingin anak seperti Sophia? Tentu saja. Tapi apakah kita mau meniru cara orang tua Sophia, Amy Chua dan Jed Rubenfeld, mendidik anak? Belum tentu. Amy Chua, sang ibu yang keturunan imigran Cina-Filipina, mendidik anaknya sangat keras dan ekstrem. Menurut Chua, inilah yang membuat keturunan Asia Timur atau India di Amerika sangat bagus prestasi sekolahnya.
Chua menceritakan caranya mendidik yang bisa dibilang ”brutal” dalam buku Battle Hymn of the Tiger Mother. Buku ini masuk daftar buku terlaris versi koran The New York Times. Popularitas, kontroversi, dan pengaruh buku ini membuat majalah Time menjadikannya bahan laporan utama pada akhir Januari dan memasukkan Chua dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia tiga bulan kemudian.
Teknik mengasuh ala Chua dimulai dari konsep dasar. Ia membuat dua kategori pendidikan anak: model Barat yang sangat longgar dan model Cina yang sangat ketat. Tapi sejak awal ia memperingatkan kategori ini sangat longgar. Menurut dia, ada orang Barat atau India atau mana pun yang masuk kategori orang tua Cina. Ada pula yang sebaliknya, orang tua keturunan Cina tapi sangat longgar dalam mendidik anak.
Chua, misalnya, ingat bagaimana seorang kenalannya, orang kulit putih, menyebut dirinya orang tua yang keras. Temannya itu meminta anaknya berlatih piano 30 menit setiap hari. Paling lama satu jam. Bagi orang tua Cina, menurut Chua, meminta anak berlatih sejam sangat gampang. Yang susah adalah membuatnya berlatih melewati dua atau tiga jam.
Ia memang gila-gilaan dalam mendidik anak. Urusan berlatih piano untuk Sophia atau biola untuk anak keduanya, Louisa atau biasa dipanggil Lulu, tak hanya soal lamanya. Ia memaksa anaknya berlatih bahkan saat berlibur ke luar kota atau luar negeri. Sebagai pengajar di Fakultas Hukum Yale University, begitu pula suaminya, yang berdarah Yahudi, penghasilannya memang memungkinkan keluarganya berlibur ke berbagai pelosok dunia.
Bukan hal yang mudah membuat anak berlatih seperti itu. Kadang harus diancam. Saat sedang berada di Xi’an, Cina, Chua memaksa anaknya berlatih dua jam pada dinihari sebelum mengizinkan mereka menikmati terakota yang terkenal itu. Kadang terjadi pertengkaran hebat. ”Saya tidak tahu bagaimana anak-anakku nanti, 20 tahun lagi, mengingat kejadian-kejadian itu,” kata Chua.
Tidak hanya dalam soal musik. Chua menghendaki kesempurnaan dalam hal apa pun. Saat Lulu berusia empat tahun dan Sophia tujuh tahun, mereka menghadiahi Chua kartu ulang tahun. Tapi, ”Kartu itu tidak layak masuk kotak kartuku,” kata Chua. Sophia beralasan tak sempat membuat karena berlatih piano. Chua memotong, ”Ya, bangun lebih pagi!” Mereka terpaksa membuat kartu lagi yang lebih baik.
Untuk pelajaran matematika, Chua memastikan kedua putrinya lebih maju dua tahun dari pelajaran sekolah. Di kelas lima sekolah dasar, Sophia kalah cepat berhitung perkalian dari bocah keturunan Korea dalam ulangan setiap Jumat. Yang dilakukan Chua? Selama sepekan setiap malam Sophia mesti menyelesaikan 2.000 soal perkalian dan Chua memegang stopwatch untuk memastikan kecepatannya sesuai dengan yang diinginkan. Setelah itu, Sophia selalu paling cepat berhitung di kelasnya.
Namun cara pengasuhan itu tak sepenuhnya berhasil untuk Lulu. Dari awal Lulu dianggap selalu memberontak. Semula dia diajari piano seperti kakaknya, kemudian diganti biola agar tak terjadi persaingan.
Dari awal Lulu sangat jago musik. Ia tak sedisiplin kakaknya, sangat sulit diatur. Tapi, di pentas, ia tak pernah membuat kesalahan seperti yang dilakukan Sophia. Ia kalah dalam presisi teknis dibanding Sophia, tapi setara dalam urusan style. Dalam usia 11 tahun, ia bahkan sudah menjadi concert master. Walau demikian, lewat sejumlah pertengkaran keras, Chua akhirnya mengalah. Biola, yang sebenarnya disukai Lulu, ditinggalkan dan diganti tenis.
Meski memberontak, dalam ukuran keluarga ”normal”, Lulu masih berprestasi bagus. Di tenis, ia maju pesat. Pelajaran lain tetap bagus. Tapi, tetap saja, Chua merasa gagal karena tak bisa mengendalikan Lulu sepenuhnya.
Chua menggunakan pendekatan keras terhadap anaknya karena kecemasan, yang umum dalam keluarga imigran. Biasanya generasi pertama bekerja sangat keras dan berjiwa sangat hemat. Ayah Chua misalnya, yang datang sebagai imigran dan kemudian menjadi ilmuwan di UCLA untuk bidang teori chaos.
Imigran mendidik anaknya, seperti Chua, dengan keras dan anak-anak itu akan berprestasi bagus di bidang apa pun yang mereka minati. Mereka biasanya masuk kampus top dan cenderung menjadi profesional bergaji bagus, seperti pengacara, dokter, bankir, atau pembawa acara televisi. Keberhasilan karena pendidikan keras ini juga disertai modal sehingga peluang anak-anak ini makin besar.
Sedangkan generasi ketiga, seperti Sophia dan Lulu, menikmati kekayaan orang tua dan kakeknya. Orang tua mereka banyak yang tak keras mendidik. Prestasi mereka akan turun. Begitu Sophia lahir, Chua sudah berjanji: ”Saya tidak akan membiarkan ini terjadi.”
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo