Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eksekusi itu digelar pada suatu sore di salah satu lapangan di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Ribuan orang menjadi saksi saat sang algojo mengayunkan pedang, memenggal terpidana berusia 31 tahun. Proses peradilannya sangat cepat, hanya tiga bulan setelah si terpidana, Faisal bin Musaid, menembak mati pamannya sendiri. Paman yang ia bunuh tak lain adalah Raja Faisal, penguasa Arab Saudi pada 1964-1975.
Saat sekarat, Raja Faisal sempat meminta keluarganya memaafkan keponakan yang menembaknya sepulang dari Amerika Serikat itu. Dengan maaf, pemuda bangsawan itu tak perlu dieksekusi. Hampir seluruh keluarganya bersedia memenuhi itu, kecuali satu. ”Bin Faisal, anak Raja Faisal,” kata Said Aqil Siradj, Ketua Umum Nahdlatul Ulama.
Said, yang hampir 14 tahun tinggal di Arab Saudi untuk menempuh pendidikan S-1 sampai S-3, mengungkapkan hal itu untuk menggambarkan hukum kisas (qishas)—pembalasan; dibayar dengan nyawa untuk pembunuhan—diberlakukan di Arab Saudi. Hukuman inilah yang membuat Ruyati, warga Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sana, dipancung pada 18 Juni lalu.
Arab Saudi menerapkan hukuman mati dengan alasan hukum syariah (dalam Al-Quran, ketentuan untuk ini ditetapkan dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179, juga Al-Maidah ayat 45). ”Dalam Al-Quran juga jelas, orang yang membunuh harus dibunuh,” kata Said. Hukum ini sudah diterapkan di Arab sebelum kedatangan Islam. Tujuannya: memberi efek pencegahan bagi yang lain. ”Kisas itu bisa menghidupkan (menyelamatkan) orang banyak,” kata Said, menjelaskan mengapa Islam mengizinkan hukuman mati.
Di wilayah Indonesia yang menerapkan sebagian hukum syariah, Aceh, kisas tidak diberlakukan meski hukuman lain, seperti cambuk, dijalankan. Muslem Ibrahim, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (semacam MUI daerah) Aceh, mengatakan wilayah Serambi Mekah tak bisa melakukan hukum kisas karena belum sanggup.
Hukum yang diterapkan pemerintah Arab Saudi, menurut Muslem, sesuai dengan hukum Islam. ”Kita juga harus menghormati ketentuan hukum di negeri orang, tidak bisa intervensi,” katanya.
Hukuman kisas di Arab Saudi dilakukan di depan umum dengan cara sangat kuno, yang sudah ditinggalkan di hampir seluruh wilayah dunia: memenggal kepala.
Sebenarnya bagaimana melaksanakan hukuman mati, menurut Aqil, tak dijelaskan dalam Al-Quran. Jadi tidak mesti pancung. Pancung merupakan bentuk hukuman mati yang selama ribuan tahun dianggap paling tak menyakitkan. Di Eropa bahkan kemudian ditemukan metode penggal kepala yang lebih efisien, seperti menggunakan pisau Guillotine.
Baru belakangan muncul cara lain untuk melaksanakan hukuman mati, yang menghindarkan terpidananya berada dalam keadaan mengerikan setelah eksekusi—yakni kepala terpisah dari badan. Yang paling populer adalah tembak mati atau kursi listrik. Iran, yang juga menyatakan menggunakan syariah Islam, tidak menggunakan metode pancung. ”Iran pakai tembak,” kata Said.
Tapi Said memandang hukuman kisas tidak mesti diterapkan terus-menerus. Ia mengutip pendapat ulama terkenal abad ke-14 asal Spanyol, As-Syatibi. Dalam kitab Al-Muwafaqat, As-Syatibi mencontohkan, jika ada 10 pencuri dan sembilan di antaranya bertobat setelah satu orang dipotong tangannya, tak perlu sembilan orang itu juga dipotong tangannya.
”Makanya Imam Ghazali membagi kejahatan itu dalam empat grade,” kata Said. Dari yang cuma ikut-ikutan sampai yang terberat adalah orang yang memang suka membunuh. Yang ringan bisa dibebaskan saja. ”Tapi, kalau ia tidak membunuh tak bisa tidur,” kata Said, ”ini tidak layak diberi kesempatan hidup.”
Ia menjelaskan syariah adalah untuk antisipasi jika ada kasus luar biasa. Ia menambahkan dengan contoh, ”Nabi Muhammad belum pernah melaksanakan hukuman mati.” Selain itu, kalaupun sampai harus dilakukan eksekusi, putusannya harus melalui proses pengadilan yang sangat valid dan komprehensif.
Proses pengadilan di Arab Saudi itulah yang dikritik Ketua Majelis Tarjih Pengurus Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar. ”Indikasi (buruknya kualitas) itu kuat mengingat selama ini hukum kisas di Saudi belum terkodifikasikan dalam undang-undang baku seperti KUHP (di Indonesia),” katanya.
Karena tidak ada kodifikasi, menurut Syamsul, hakim di negara kaya minyak itu tidak punya panduan detail yang berfungsi sebagai landasan vonis kisas. ”Akibatnya, banyak hakim yang kurang kompeten mudah menjatuhkan vonis pada satu kasus dugaan pembunuhan dengan bekal penafsirannya sendiri atas Al-Quran, hadis, dan pandangan ulama yang berbeda-beda,” katanya.
Di samping itu, dalam sistem hukum Arab Saudi, tak ada lembaga yang memberi bantuan hukum bagi tersangka. ”Di sana tidak ada LBH, tidak ada ormas,” kata Said. Bagi warga setempat, masih ada sistem pembelaan yang sering berlaku, yakni bantuan kabilah alias suku asal tersangka. ”Misalnya imam masjid suku setempat bilang si A itu orang baik,” kata Said.
Dengan sistem ini, posisi buruh Indonesia di Arab Saudi yang terbelit kasus pembunuhan menjadi sangat lemah karena tak mendapat bantuan suku setempat. ”Sekarang TKW, siapa yang mengungkap (persoalan sampai sebenar-benarnya)? Siapa yang membela? Pemerintah sini? Tidak bisa. Pemerintah sini kirim pengacara? Tidak bisa,” kata Said.
Itu sebabnya, Syamsul mengatakan banyak orang sulit meyakini pembantu rumah tangga seperti Ruyati sengaja melakukan pembunuhan di tanah rantau. Padahal, dalam hukum pidana Islam, kata Syamsul, kisas hanya berlaku jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja. ”Bukan karena terdesak atau terancam,” katanya. ”Jika ada bukti yang bisa membuat hakim ragu sedikit saja bahwa terdakwa sengaja membunuh, atau meragukan terdakwa benar telah membunuh, vonis kisas dianjurkan tidak dijatuhkan.”
Selain itu, Said merasa pengadilan Arab Saudi membedakan diyat (tebusan) yang mesti dibayar pelaku pembunuhan, antara orang setempat dan warga asing. ”Kalau orang luar membunuh orang Arab Saudi, 100 unta nilainya,” katanya. ”Makanya itu sekarang yang (sekitar) Rp 4,5 miliar (untuk Darsem).”
Kalau warga Arab yang membunuh orang asing, kata Said, diyat-nya, jika keluarga korban setuju, paling besar Rp 1 miliar. Sepuluh tahun lalu Sri Ngatin dibunuh dalam keadaan hamil setelah diperkosa. Orang tua Ngatin hanya mendapat diyat Rp 250 juta. Sedangkan tahun lalu, misalnya, ahli waris seorang pembantu wanita yang tewas di Arab Saudi—hanya disebut Js binti SP dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri—mendapat santunan Rp 120 juta saja. Ia tewas karena seorang anak kerabat tuannya, yang baru berusia sembilan tahun, tak sengaja menembaknya.
Jika ahli waris tak memaafkan, seperti keluarga Kikim Komalasari, pembantu rumah tangga asal Cianjur yang dibunuh dan dibuang ke tempat sampah tahun lalu di Arab Saudi, bekas majikannya akan dipancung.
Nur Khoiri, Adi Warsidi (Banda Aceh), Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo