Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kembali ke individu dan hotel ...

Islam di indonesia adalah agama yang menyebar secara bebas ke berbagai kelompok sosial-politik dengan atau tanpa bendera islam, dan di masa orde baru terpaksa muncul dalam wujud apa adanya.

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEWAT seorang khatib, seperti yang diciptakan oleh imajinasi Syu'bah Asa -- yang menyatakan kehidupan agama Islam di Tanah Air semakin berkembang dan bagus -- serta potret Cak Nur muda tahun 1972 dan potret dirinya yang semakin matang pada 1977, TEMPO (14 Juni 1986) menghadirkan Islam Indonesia dalam fase perkembangan baru. Sebuah Islam yang lahir tanpa imbauan politik sebuah Islam yang damai dan tenteram. Atau seperti ucapan Cak Nur sendiri, yaitu sebuah Islam yang bukan cuma milik golongan tertentu. Pada hemat saya, kalimat Cak Nur terakhir di atas merupakan kunci dari seluruh wawancaranya. Setidak-tidaknya, sepanjang yang saya ketahui, Islam yang semacam itulah yang dikehendaki Cak Nur sebelumnya. Sebuah Islam yang terdistribusikan secara bebas ke berbagai kelompok sosial-politik di Indonesia, dengan atau tanpa bendera Islam. Dan inilah mungkin yang menjadi inti slogan yang pernah dilontarkan enam belas tahun yang lalu: Islam Yes, Partai Islam No. Dengan slogan itu terbersit suatu anggapan bahwa Islam sebelumnya telah terlalu dipolitisasikan. Dan, sebagai konsekuensinya, makna tunggal slogan itu adalah depolitisasi Islam. Sebuah Islam tanpa ambisi politik. Dan Islam masa Orde Baru adalah Islam dalam ekspresinya yang baru pula. Kita tidak hanya menyaksikan tumbuhnya gairah kerohanian Islam yang meluap di berbagai universitas besar dan di kalangan orang-orang kota terpelajar, tetapi juga di dalam birokrasi pemerintahan. Berbagai bentuk kegiatan keagamaan, umrah dan ibadat haji, tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat yang secara konvensional memang telah melaksanakannya, melainkan juga di kalangan artis dan bintang film. Kita tahu, Jenny Rachman pun tidak tertinggal menjadi hajah. Dan Golkar, partai "sekuler" yang oleh Bill Liddle pernah dicatat sebagai partai yang hendak menghapuskan pengaruh politik Islam dalam Pemilu 1977, kini, oleh posisi struktural yang dimilikinya, jauh lebih Islam dibandingkan PPP. Walaupun merasa sangat tidak terlalu berkompeten dalam masalah ini, saya berusaha memberanikan diri untuk berpendapat bahwa perkembangan -- lepas dari penilaian positif atau negatif -- Islam masa Orde Baru ini merefleksikan "kelelahan intelektual". Sejalan dengan analisa sosiologis Weber, yang lebih menekankan pendekatan pluralisme sebab atas timbulnya sebuah fenomena tertentu, saya percaya bahwa kelelahan intelektual ini bukanlah satu-satunya sebab yang mendorong timbulnya bentuk keislaman dewasa ini. Namun, dengan beberapa alasan yang bisa dikemukakan, setidak-tidaknya, kelelahan intelektual itu bisa ditempatkan sebagai variabel independen yang mempengaruhi corak penampilan Islam secara lebih menonjol. Dan, dalam perspektif ini, beberapa hal yang pokok bisa dijelaskan. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa Islam masa Orde Baru adalah puncak dari "distransformasi" -- kalau istilah ini benar intelektualisasi Islam. Dalam arti bahwa sumber-sumber intelektual Islam yang selama ini ditimba dari Timur Tengah -- sejak awal abad ke-20 -- telah mengalami kekeringan. Dan berbarengan dengan munculnya Orde Baru, kita menyaksikan pula munculnya dua hal pokok: transformasi kaum menengah terpelajar yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan ekonomis serta perubahan alam pemikiran intelektual masyarakat secara keseluruhan. Kedua hal pokok itu saling mengait dan sekaligus memberikan andil tersendiri terhadap penampilan Islam. Bagaimana mencari hubungan antara ketiga hal di atas tentu saja masih merupakan masalah besar. Namun, saya cenderung berpendapat bahwa untuk sebagian besar, gerakan-gerakan Islam yang terjadi sejak zaman penjajahan -- khususnya dalam tahun 1910-an ke atas sampai masa pra-Orde Baru dimotivasi oleh obsesi intelektual. Ini bisa terjadi karena pada masa itu, kontak intelektual antara Islam di sini dan pangkal atau sumbernya di Timur Tengah semakin meningkat. Di Timur Tengah sendiri telah berkembang anggapan atau pemikiran bahwa Barat telah berdosa besar atas kehancuran kekuatan peradaban dan politik Islam. Kehancuran Islam Timur Tengah yang nyaris total itu menyentak perasaan anti-Barat yang kuat. Tetapi yang lebih penting, berdasarkan fakta-fakta historis dan dukungan elemen-elemen ajaran Islam, berbagai ide tentang sistem masyarakat, politik, dan sistem kenegaraan tandingan dibangkitkan, untuk melawan pengaruh kekuasaan Barat. Inilah yang menjadi pangkal obsesi intelektual Islam yang kemudian tertransmisikan ke Indonesia: bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang lengkap, sama seperti yang dimiliki Barat. Gerakan-gerakan ini menjadi kuat di Indonesia, bukan saja karena ia mempunyai obsesi intelektual yang relatif jelas -- dan dengan demikian relatif mempunyai ideologi dan tujuan -- seperti yang terutama terlihat pada Sarekat Islam dan kemudian Masyumi, akan tetapi juga karena Islam nyaris merupakan satu-satunya sarana yang efektif mewadahi pergerakan nasional dalam arti yang hampir sebenarnya. Transformasi masyarakat yang masih kuat tertarik ke "belakang" turut memperbesar peran gerakan Islam. Massa Indonesia, yang relatif lebih mengenal alam pemikiran Islam daripada alam pemikiran Barat, tentu saja lebih melihat Islam sebagai ideologi alternatif. Dan sebagai konsekuensinya, ide-ide komunis ataupun nasionalisme sekuler merupakan barang yang masih asing di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, kita melihat adanya kaitan yang logis antara obsesi intelektual Islam tertentu dan corak transformasi masyarakat Indonesia. Pengaruh Islam di satu pihak dikukuhkan oleh adanya obsesi intelektual untuk menciptakan suatu sistem masyarakat tandingan dari apa yang diperlihatkan Barat di sini. Dan di pihak lain, kenyataan bahwa masih terbatasnya komunikasi intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia, baik pada masa penjajahan maupun beberapa saat setelah kemerdekaan -- sekali lagi, karena transformasi masyarakat masih terkait ke "belakang" -- telah mengakibatkan kurangnya berakar beberapa ideologi sekuler. Puncak demam obsesi intelektual Islam terlihat dengan nyata pada usaha beberapa partai Islam menjadikan agama ini sebagai dasar negara dalam perdebatan di Konstituante. Saya sebutkan sebagai puncak, karena setelah itu nyata sekali terlihat tanda-tanda kelelahan intelektual Islam. Konsentrasi intelektualnya, yang terlalu besar untuk mewujudkan obsesi tersebut, melenyapkan peluangnya untuk memikirkan dan memahami persoalan yang lebih riil yang dihadapi bangsa. Masalah strategis telah bergeser dan tidak lagi terpancang pada apakah negara harus berdasarkan Islam atau Pancasila. Melainkan pada gagasan dan tindakan apa yang harus diambil untuk memecahkan kemandekan politik dan kenegaraan dalam realitas yang lebih kongkret. Agaknya, perangkat intelektual Islam yang ditransmisikan dari Timur Tengah ini tidak terlalu siap menghadapi munculnya masalah strategis yang mendadak ini. Dan sebagai akibatnya, bukan Islam yang tampil ke depan, melainkan Soekarno, kaum militer, dan kemudian diikuti oleh PKI. Dan sementara kalangan Islam masih sibuk dengan isu Piagam Jakarta, tiga kekuatan yang muncul di atas telah sibuk dengan persoalan bagaimana mempertahankan kekuasaan, mengambil peran dalam kekuasaan, dan merebut kekuasaan. Dengan demikian, oleh perkembangan-perkembangan baru itu, obsesi intelektual Islam, walau masih cukup terasa, mulai tergusur dari kenyataan-kenyataan kongkret. Kelelahan intelektual ini semakin terasa ketika semakin disadari bahwa sumber intelektual Timur Tengah menjadi kering, sementara bersamaan dengan itu, kemunculan Orde Baru membawa pula masalah-masalah baru yang -- sekali lagi -- berada di luar wawasan intelektual Islam. Keringnya sumber intelektual Timur Tengah, mandeknya perkembangan intelektual di dalam negeri telah menyebabkan Islam tidak mengambil peran yang berarti -- kecuali sebagai ujung tombak dalam memukul PKI dalam pembangunan Orde Baru. Lahirnya Orde Baru bukan saja membawa serta pemikiran dan tantangan baru secara nasional -- yang mengakibatkan obsesi intelektual Islam semakin kehilangan dasarnya -- tetapi juga diikuti oleh perubahan-perubahan penting di dalam tubuh masyarakat Islam sendiri. Sebagai akibat meluasnya perguruan-perguruan tinggi selama masa kemerdekaan, generasi baru Islam yang terdidik di dalamnya telah muncul sebagai lapisan kaum menengah baru -- dalam pengertiannya yang luas. Walau secara religius mereka tersosialisasikan ke dalam Islam, secara intelektual lebih tersosialisasikan ke dalam alam pemikiran sekuler. Dengan demikian, dalam posisinya yang semacam itu, bukan saja komitmennya pada obsesi intelektual Islam semula semakin berkurang, tetapi juga latar belakang pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki menawarkan janji-janji ekonomis pada derajat tertentu, yang terwadahi di dalam alam pembangunan Orde Baru. Kaum menengah baru terpelajar ini tidak hanya terbatas pada mereka yang secara konsisten tetap menyatakan dirinya santri, melainkan juga mereka yang menyatakan dirinya secara langsung atau tidak -- bebas dari cap Islam. Dengan demikian, daya imbau obsesi intelektual Islam menjadi tidak menarik. Baik di kalangan generasi mudanya sendirinya yang merupakan bagian terbesar penduduk yang beragama Islam maupun di kalangan nasional yang lebih luas. Munculnya berbagai gagasan-gagasan yang lebih praktis dalam masa Orde Baru semakin mengambil wilayah-wilayah yang sebelumnya didominasi oleh ide Islam. Dan konsentrasinya, yang terlalu besar untuk mewujudkan obsesinya di masa lampau, menimbulkan kelelahan intelektual. Dalam kelelahan intelektual yang semacam inilah, Islam di masa Orde Baru terpaksa muncul dalam wujud apa adanya. Jalan terbaik yang harus ditempuh adalah suatu kompromi terhadap keadaan yang tidak ikut dibentuknya. Sebuah Islam yang terkembalikan kepada individu-individu sebuah Islam yang terdistribusikan secara meluas, bahkan sampai ke Hotel Mandarin. Saya kira, saya sependapat dengan Cak Nur, bahwa perkembangan inilah yang kita inginkan. Tapi, kalau boleh numpang tanya, setelah semua orang bertakwa dan bersujud sepanjang hari, lalu mau apa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus